HeadlineIqro'

Melawan Dengan Humor

RASINAH ABDUL IGIT

Konon, untuk lebih menghilangkan kesan “kering” di platform digital, dibuatlah emoticon atau emoji, gambar-gambar lucu untuk menghadirkan suasana hati dan pikiran pengguna.

Kata-kata mungkin dianggap kurang terlalu kuat mewakili perasaan, maka dibuatlah gambar rupa. Emoji yang paling laku adalah emoji gratis bulet-bulet warna kuning yang bertebaran di facebook dan WhatsApp. Ada yang ketawa, ketawa terpingkal-pingkal, sedih, cemberut, menangis, berkedip. Tinggal pilih. Ada juga emoji bunga, kopi, gambar dua bola mata (entah apa artinya) dan masih banyak lagi. Bagi pengguna medsos, kata-kata yang selalu dipuja sastrawan seperti kurang lengkap mendukung performa “ingin ditau” mereka.

Yang paling laris adalah emoji tertawa. Saya sendiri kalau mau tertawa di Facebook, selain memakai kata-kata, juga pakai gambar. Kata-kata yang saya pakai sering beda-beda. Kadang “hahaha”, kadang pakai gaya seniman Sujiwo Tejo “heuheuheu”, sesekali pakai “wkwkwkwk” , atau yang paling tinggi kelucuannya pakai “hhhhhh”. Kamu biasa pakai yang mana?

Tertawa itu gambaran jiwa. Orang yang pura-pura tertawa meski hatinya sedang galau, pada akhirnya akan seneng beneran. Itu namanya teknik “menipu keadaan”. Misalnya, kamu pura-pura aja senang dan bahagia di medsos, nanti akan ada temanmu yang ikut bahagia saat membacanya, lama-lama makin banyak yang baca dan ikut bahagia, lama-lama kamu terdesak untuk tidak boleh pura-pura bahagia, lalu akhirnya jadi bahagia beneran. Keren kan? Ketimbang memposting yang sedih-sedih mulu. Mana ada orang yang mau menerima bagian kesedihan kita, kecuali orang-orang dekat. Yang lain mah biasanya sekedar basa-basi saja. Hhhh..

Tapi ngomong-ngomong soal emoticon, ada semacam peningkatan eskalasi rasa akhir-akhir ini. Apa karena ini juga momen politik ya? Coba tengok orang-orang itu, kalau sudah benci, bencinya benci sekali. Kalau udah cinta, cintanya daleeeem sekali. Apa ini tren atau bagaimana? Sikap proporsionalitas jadi hilang. Bukankah cinta dan benci disajikan secara proporsional saja? Kata orang, hati itu sifatnya bolak-balik, orang yang awalnya benci, bisa jadi suatu saat akan benci. Orang yang awalnya benci, suatu hari nanti kadang jadi cinta. Jadi yang biasa-biasa saja.

Keanehan yang lain itu kalau kita tertawa bahagia tapi orang lain menganggapnya olokan. Saya sering begitu lo, mblo. Sengaja tulis “wkwkwk” di akhir kalimat postingan, eh disangka ngolok. Pernah saya memutuskan tidak lagi pakai “wkwkwk” atau “hehehe”, tapi ndak bisa-bisa. Mau pakai emoji ketawa juga sama. Apalagi saat bahas Pilpres, ketawa jadi sensitif. Alamat dianggap ngolok atau sinis. Hadeuh, sebegitu daruratkah kondisi humor kita?

Tapi soal ini saya mau bicara serius. Saya memotret sejumlah gejala perlawanan terhadap watak humoris kita? Ya, ini erat kaitannya dengan kekuasaan. Jika kau banyak membaca, maka akan kau dapatkan pengulangan-pengulangan sempurna dimana ketakutan, kegalauan, keresahan dan kemarahan adalah alat-alat canggih dalam rangka mencapai kekuasaan. Itu sebabnya terjadi pergulatan hebat antara “keceriaan dan keberanian ” dan “kesusahan dan ketakutan” di setiap ajang politik.

Jika anda jeli, anda akan menemukan betapa sedang terjadi proses pabrikasi ketakutan yang hebat di negeri ini. Orang ditakuti bahwa negeri ini nggak berumur panjang dengan kondisinya yang ada saat ini. Orang dibuat resah dengan informasi-informasi bohong bahwa sebagian saudara kita tidak bisa makan. Orang dibuat tercekam oleh aksi-aksi heboh yang sudah direncanakan sebelumnya.

Ada yang dikabarkan kena bogem padahal operasi plastik. Pada kondisi tertentu hingga tibanya puncak gawe politik nanti, situasi mencekam dan menakutkan akan terus diproduksi. Dia jadi alat kekuasaan. Persis seperti kata Donald Trump yang pernah disampaikan oleh Bob Woodward : “Kekuasaan yang sesungguhnya – sebenarnya saya tidak ingin menggunakan kata ini- adalah ketakutan”. Wow…Trump kamu tau? Dia adalah simbol politisi kekinian yang berhasil meraih kekuasaan lewat jualan “ketakutan-ketakutan”.

Trump tentu saja belajar dari para penguasa-penguasa sejarah yang sukses lewat jalan ini. Hitler misalnya. Kekuasaannya awet oleh sistem ketakutan yang dibangunnya. Trump tentu saja melahap banyak literatur filsafat yang menegaskan bahwa ketakutan adalah bagian dari eksistensi manusia. Emosi pertama yang diterima manusia sewaktu lahir adalah ketakutan. Sebagai bayi, manusia sudah dicekam ketakutan. Secara radikal manusia bergantung pada orang tuanya. Dalam ketakutan, bayi merasa secara naluriah, ia akan mati jika tidak bisa menguasai orang tuanya untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam perjalannnya, manusia mengarah pada kematian dan peniadaan diri, dua simbol ketakutan. ( Ini mengutip pembahasan filsuf terpandang, Marta Nussbaum). Maka dengan bahasa politik yang agak berlebihan, Nussbaum bilang, manusia mengawali hidupnya bukan dengan demokrasi, melainkan monarki.

Jika ketakutan adalah eksistensial, maka tentu ia bisa diperalat untuk jalan kekuasaan. Bergerilialah para demagog memperburuk keadaan supaya orang saling curiga, saling memarahi, saling memusuhi. Lahirlah kebencian. Lahirlah provokasi. Lahirlah “ratu adil”, lahirlah pahlawan yang dianggap bisa menyelesaikan kemelut itu. dan siapa dia?? Hehehehe…

Mari melawan semuanya dengan satu kata : Humor!

*Wartawan dan Guyoner Social Media

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button