HeadlineIqro'

Pelajaran Besar dari Kampung Kecil

“Orang mati itu menghadap Tuhan yang sama juga, jangan lagi kuburan dipisah-pisahkan, karena urusan keduniaan mereka sudah selesai,” cetus Haji Abdul Hamid (tetua Mbawa), suatu saat ketika berbincang dengan penulis.

Dr. Abdul Wahid

Di tengah masyarakat Muslim Bima, Nusa Tenggara Barat, hidup juga sebuah masyarakat “lain”. Kita sebut lain dalam tanda petik karena mereka orang Bima juga tetapi tidak monolitik seperti umumnya masyarakat Bima yang mayoritas Muslim. Mereka hidup berdampingan dengan penganut agama lain, yakni Nasrani dari tradisi Katolik dan Protestan. Kepenganutan tradisi budaya yang beragam inilah yang membuat mereka dianggap liyan (lain).

Karena hidup dalam lingkungan sosial-budaya-agama yang tidak monolitik maka mereka punya cara beragama dan berbudaya yang khas masyarakat plural, menyimpan banyak sisi unik. Mereka hidup damai dalam suasana guyub, karena mereka dilahirkan dengan identitas yang sama berdasarkan garis keturunan (etnisitas). Hanya identitas agama yang membuat mereka berbeda. Tetapi perbedaan agama tidak menyurutkan mereka untuk menyatu. Bahkan dengan keragaman itu akhirnya mereka menjadi tahu dan menerapkan cara hidup harmonis.

Mbawa nama kampung tempat komunitas ini hidup. Letaknya di pegunungan Donggo, wilayah sebelah barat teluk Bima. Di jajaran kampung-kampung Donggo, Mbawa berada di sisi selatan dataran tinggi itu, persis di kaki gunung Doro Leme – salah satu puncak gunung tertinggi di Bima selain Soromandi dan Lambitu. Kampung Mbawa terdiri dari beberapa dusun, antara satu dengan yang lain dipisah oleh tegalan, lembah dan bukit, serta hutan tutupan negara. Udara sejuk mengitari kampung. Dari kejauhan rumah-rumah penduduk berjejeran menumpuk seperti pemukiman di atas awan.

Dou Mbawa adalah sebutan bagi penghuni kampung ini. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang seketurunan, sisanya adalah pendatang dari luar. Garis keturunan itu kemudian membelah diri ke dalam dua jalur (rafu), yakni Rafu Winte dan Rafu Guli. Pembelahan ini semata-mata untuk mengatur peran-peran adat yang mereka anut supaya tidak terjadi perebutan kekuasaan budaya yang liar. Yang satu menjadi ketua adat – disebut Ncuhi – dan yang lain melapisnya dalam peran menjaga situs-situs adat. Tidak ada pertentangan besar di antara mereka selain riak-riak kecil yang segera bisa mereka pupus sambil berkumpul minum kopi (doho kaboro) baik dalam rangka ritual maupun rutinitas harian.

Dinamika baru muncul ketika entitas (orang dan budaya) dari luar masuk. Islam yang coba datang pertama kali, sejak era kesultanan, khususnya saat Sultan Salahuddin (1917-1951), sultan Bima terakhir, berkuasa. Tetapi tidak banyak da’i yang dikirim ke sana mampu menembus katup kampung berupa lembah-lembah terjal dan medan yang berat. Karenanya Islamisasi yang mereka gencarkan tidak terlalu terasa. Da’i-da’i Muslim hanya mampu mengislamkan secara total wilayah Donggo yang lain. Kalangan Kristen yang justru berhasil tembus dan kerasan berlama-lama tinggal di kampung. Awalnya mereka yang datang adalah para etnografer, dan hasil kerja mereka membuka pintu bagi institusi gereja untuk masuk.

Kedatangan dua kekuatan agama ini tidak serta-merta mulus, karena Dou Mbawa telah punya pegangan hidup dan cara beragama sendiri sesuai dengan kondisi kehidupan mereka. Nama “agama” itu Parafu, yaitu cara pandang terhadap dunia – semacam kosmologi lokal – yang diwariskan dari nenek moyang. Mereka memegang teguh warisan itu sampai hati mereka tidak tersisa lagi untuk cara hidup dari luar. Sampai akhirnya terjadi peristiwa besar di tanah air, yaitu Gestapu 1965. Karena pasca peristiwa itu berlangsung politik ketakutan, maka Dou Mbawa pun harus beridentitaskan salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah. Akhirnya mereka harus menjadi pemeluk Islam atau Kristen, dua agama paling awal dan rajin melakukan dakwah di sana.

Kedua agama itu akhirnya sama-sama diterima sebagai anutan Dou Mbawa. Maka komposisi masyarakat berdasarkan agama menjadi relatif berimbang. Dari sepuluh dusun yang ada di Mbawa, ada dusun yang mayoritas Muslim, ada yang mayoritas Nasrani. Di dusun lain ada yang total Nasrani dan ada yang total Muslim. Juga ada dusun yang berimbang antara kedua agama itu.

Dari dua agama itu, Kristen – Katolik dan Protestan – lebih cepat diterima oleh Dou Mbawa, sementara Islam terlihat agak melambat. Hal itu karena, salah satunya, faktor keuletan para penganjur kedua agama itu yang berbeda. Missionari Kristen tampaknya lebih gigih dengan sokongan sumberdaya yang lebih baik dibanding para da’i Muslim yang ke sana. Pola dakwah kedua agen ini juga berbeda: ketika penganjur Kristen tinggal bersama masyarakat dengan menerapkan cara kerja antropologi-partisipatif, para penganjur Muslim memilih strategi ‘datang lalu pergi lagi’. Efeknya jelas berbeda. Selain itu, dakwah Islam, terutama dari unsur modernis-puritan, menunjukkan ambisi untuk menghabisi praktik-praktik adat Dou Mbawa secara total. Dari sini resistensi terhadap dakwah Muslim menguat.

Maka ketika orang Bima menyadari bahwa jumlah penganut Kristen semakin membesar, mereka mengira yang terjadi di Mbawa adalah Kristenisasi. Padahal Islamisasi juga berlangsung (terus) dengan cara yang belum berubah dari sebelumnya. Bahkan, ada momentum ketika Islamisasi yang massif berlangsung di bawah bayang-bayang kekerasan, seperti yang terjadi pada 1972. Saat itu terjadi apa yang dikenal dengan Peristiwa Donggo – suatu peristiwa social-politik sebenarnya, karena merupakan protes masyarakat Kecamatan Donggo yang merasa dianaktirikan dalam pembangunan daerah.

Orang-orang yang emosinya kepada rezim pemerintah tidak tersalurkan lalu mengembangkan eskalasi kekerasan kepada Dou Mbawa yang tanpa dosa. Karena ketakutan kepada kekuatan orang-orang Islam yang membawa serta sentimen agama dalam perjuangannya, Dou Mbawa pun melakukan konversi agama secara besar-besaran. Yang Nasrani maupun yang masih abu-abu (penganut Parafu) beralih menjadi Muslim. Maka dengan itu, komposisi masyarakat beragama di Mbawa menjadi berimbang antara Muslim dan Kristiani.

Dari sini mulai bergulir kompetisi yang mengusik kedamaian hidup Dou Mbawa. Kehidupan mereka yang dulu monolitik, kini menjadi berwarna, termasuk warna konflik dan ketegangan. Gereja-gereja dibangun, demikian pula masjid/musholla dan rumah-rumah al-Qur’an. Institusi-institusi keagamaan itu seakan berlomba untuk menjadi bagian penting bagi hidup Dou Mbawa. Lama-lama baik institusi Kekristenan maupun institusi Islam sama-sama berperan dalam menggusur institusi adat. Ikatan-ikatan sosial, kekerabatan, dan komunalisme yang terbentuk oleh faktor geneologis, kekeluargaan, dan faktor kealaman menjadi bergeser. Ungkapan “dou ndai ncau” (semua orang kita) misalnya, berubah menjadi orang kita dan orang mereka.

Maka betapa ringkih dan rentannya Dou Mbawa hidup di tengah kompetisi keagamaan ini. Musuh bukan hanya ada di halaman belakang, tetapi sudah masuk di dalam rumah, bahkan sudah nyelempit dalam selimut sendiri. Karena dalam satu rumah tangga, ayah, anak, istri dan saudara kandung bisa berbeda agama. Dalam ungkapan-ungkapan tradisional mereka menggambarkan kerentanan masyarakat ini sebagai “hudu nggudu” (kutu yang berkerumun) dan “dua laku nteli” (dua baris pagar batu).

Hudu (kutu) adalah personifikasi makhluk yang rentan yang gampang diinjak oleh mahkluk-makhluk lain yang lebih besar, sekalipun mereka berkumpul (nggudu). Kadang makhluk penginjak itu tidak merasa menginjak. Kedatangan orang dan cara hidup dari luar yang menyertai agama-agama besar memang terasa hegemonik. Cara hidup baru itu menempatkan pandangan hidup, budaya dan tradisi Dou Mbawa sebagai hal yang terbelakang, bahkan keliru, sehingga harus diubah atau dihapus. Ini jelas bentuk praktik serangan budaya terhadap budaya kecil (little tradition) oleh budaya besar (great tradition) yang kerap diterapkan oleh agama-agama besar.

Dan kehadiran Islam dan Kristen telah menggerus budaya asli yang mereka susah payah pelihara. Kerja Islamisasi menempatkan ajaran anutan Dou Mbawa sebagai khurafat dan syirik. Sementara upaya Kristenisasi memandang Dou Mbawa sebagai masyarakat terpinggir. Kedua entitas ini masuk ke Mbawa dengan mindset kaum puritan kota atau Barat yang datang ke kampung-kampung dunia ketiga dengan semangat “pembebasan,” namun sesungguhnya semu, karena membentur tatanan adat dan budaya setempat yang menghasilkan masyarakat yang terkungkung oleh ketakutan baru.

Dua laku nteli adalah gambaran masyarakat yang terbelah. Dua tumpukan berejejer dari masyarakat dengan kepenganutan agama masing-masing. Mereka memang hidup tegak bersama layaknya sebagai sesama saudara dan seketurunan, tetapi mereka selalu siap untuk saling merobohkan. Kedua tatanan baru dari agama baru sesungguhnya datang untuk menata, tetapi juga seringkali menghasilkan keretakan hubungan antarsesama. Karena, masuknya budaya-budaya baru itu telah membentuk identitas baru dan sekat-sekat sosial-budaya. Di balik gunung es kedidupan Dou Mbawa terpendam potensi gejolak yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Kesadaran akan kerentanan sosial itu tumbuh secara instrinsik dari pengalaman-pengalaman bergelut dengan konflik dan ketegangan hubungan sosial. Tetapi cara Dou Mbawa melawan tidak konfrontatif, karena alasan tadi: mereka hanyalah bagian kecil saja dari sebuah sistem hegemoni pemerintah dan masyarakat besar yang berada di kota. Melawan dengan kekerasan sama dengan menggulung tikar kehidupan mereka sendiri. Maka senjata orang lemah adalah “hidden transcript”, yakni cara berkomunikasi simbolik yang menyembunyikan makna jauh.

Tradisi Raju

Untunglah, Dou Mbawa masih memegang warisan budaya yang dapat mereka ramu sebagai wahana pertemuan dan dialog antara berbagai identitas dan kepentingan yang ada dalam masyarakat, sehingga mereka tidak seperti menumpang pada kapal yang retak. Mereka menemukan perangkat komunikasi itu dalam tradisi Raju, ritual tahunan yang dilakukan menjelang musim tanam.

Di permukaan, Raju tampak sebagai ritual pertanian biasa (agricultural ritual), penghambaan kaum petani tradisional, karena dilakukan untuk memulai kegiatan berladang. Tetapi di balik itu terdapat dimensi lain dalam struktur Raju yang yang menampung konteks kehidupan sosial keagamaan Dou Mbawa. Pendukung Raju adalah orang dari semua agama, kecuali kalangan puritan dari masing-masing agama. Dalam Raju, identitas agama-agama menjadi lebur, menyatu dalam identitas asal adat-istiadat. Pada saat melaksanakan Raju, mereka kembali merasa satu, sambil menyadari bahwa tidak sepantasnya mereka melakukan hubungan-hubungan sosial yang penuh gejolak.

Di samping berisi do’a, dalam Raju ada wahana belajar hidup bersama melalui gotong-royong bersih kampung, ada sosialisasi bahwa perbedaan bukanlah malapetaka, ada penyelesaian masalah bersama dengan cara duduk bersama, ada pembaharuan komitmen bersama bagi perbaikan hidup komunal. Pada momen itu pula disuarakan, terutama kepada generasi yang akan datang, bahwa mereka pada dasarnya satu. Bahwa agama baru adalah kesadaran baru yang tidak harus menggerus kearifan lama yang telah mereka wariskan dari nenek-moyang. Maka dalam Do’a Kasaro – sesi puncak ritual Raju – para tetua adat mengumandangkan bait-bait:

Wati-ra mpungga wati-ra mboda rawi ra-wi’i ra-kau kai ai aka-na busu-na nisa bole-na dana kriti-na moti. Dodo-ku busi raho to’i salama, busi-na ma-rada oi, ngame-na ma-rada mina, neo-na ma-rada wolo, kaba-na ma-rada karaba.

(Tidak dibabat tidak dimulai ulang perbuatan yang ditinggalkan dan dititahkan dari dulu, (saat) menggunungnya pulau bergetarnya tanah berombaknya laut, kami meminta dingin memohon selamat, dingin melebihi air, licin melebihi minyak, ringan melebihi kapas, kenyal melebihi karaba .)

Dengan ujaran-ujaran ini Dou Mbawa ingin bicara kepada sesama komunitas, bahwa mereka adalah orang-orang dari asal-usul yang satu, hanya dipisahkan oleh cara berkeyakinan baru. Doa-doa ini pun dialamatkan kepada penganjur-penganjur agama dari luar mereka, bahwa Dou Mbawa bukanlah kaum pagan yang jahiliyah, justru mereka penuh kearifan budaya yang bisa merawat kehidupan mereka sendiri, yang tidak bisa didapatkan dari tawaran ajaran hidup dari luar.

Tradisi Raju memainkan peranan simbolik yang menggambarkan kekuatan masyarakat lokal dalam memelihara khazanah lama sambil menerima budaya dan nilai baru dari luar. Kekuatan itu adalah kearifan menyikapi dua entitas budaya yang sering dipertentangkan itu: nilai lama versus nilai baru. Mereka pun mengadopsi nilai-nilai ajaran Nasrani dan Islam, tergambar dalam do’a-doa mereka yang menyebut-nyebut Nabi Muhammad dan Nabi Isa dalam posisi yang sejajar, juga Nabi-Nabi lain sebelum mereka. Memang sinkretik sifatnya, tetapi ini gejala transformasi belaka dari sebuah ritual sebagai respon atas gejala sosial di seputar mereka. Semua itu mereka operasikan untuk menghindarkan masyarakat dari kehancuran akibat peperangan dengan pihak luar atau konflik friksional di antara mereka sendiri.

Tradisi ini jelas bersumber dari kepercayaan leluhur, bergulir dan terkait-kelindan antara adat dan agama. Di dalamnya terkandung sistem kepercayaan, pandangan dunia, visi sosial atau cita-cita hidup, serta gambaran mengenai kesejahteraan dan kedamaian. Sebagai ritual, Raju memiliki fungsi keagamaan sekaligus fungsi sosial yang diramu oleh masyarakat pendukungnya sedemikian rupa sehingga mampu menjadi media hubungan vertikal (ketuhanan) sekaligus horizontal (ketahanan sosial).

Kegelisan lain

Tetapi masalah tidak berhenti di situ. Tampak seperti terjadi secara diam-diam pertarungan antara entitas budaya dan masyarakat pendukungnya. Pertarungan ini menjadi kompleks dengan adanya keterlibatan warga Kristiani dalam tradisi ini yang lebih intens dibanding warga Muslim. Di sini, muncul kecurigaan dari kaum ulama terhadap kaum Kristiani bahwa mereka sengaja melestarikan tradisi ‘jahiliyah’ ini di kalangan Dou Mbawa untuk melemahkan potensi Islam. Ada juga tuduhan lain bahwa Dou Mbawa yang Muslim telah ‘berselingkuh’ dengan penganut agama lain untuk menentang dominasi Mbojo Awa (Masyarakat Muslim Bima) atas tanah dan kebudayaan leluhur mereka.

Kegelisahan ini diekspresikan oleh kalangan Muslim dominan dengan anjuran-anjuran yang musykil (sulit) bagi Dou Mbawa. Misalnya pemilahan pemukiman (spacial segregation) antara penduduk Muslim dengan non-Muslim. Atas anjuran yang ganjil seperti ini direspon oleh Dou Mbawa dengan aksi simbolik yang tak kalah nyelenehnya. Mereka mencongkel pohon penanda pemukiman Muslim, dan di situ mereka dirikan gereja. Sebaliknya, masjid mereka dirikan di bawah pohon penanda pemukiman Non-Muslim, itupun masjid asuhan kaum Muslim puritan.

Pembangkangan sipil-religius yang nyeni ini juga terjadi dalam anjuran pemisahan kuburan warga. Lazimnya di Mbawa, kuburan warga entah Muslim atau Non-Muslim disatukan dalam satu kompleks tanpa sekat – hal yang tabu bagi masyarakat Muslim Bima dan di tempat lain. Mereka tidak mau dipisah terus-menerus atas alasan keagamaan. Bagi mereka, identitas-identitas agama dibuat hanyalah untuk kepentingan dunia, sedang kematian adalah soal spiritualitas yang tidak berbatas (transenden). Jika orang sudah meninggal maka itu sudah merupakan urusan spiritual antara yang bersangkutan dengan Tuhannya.

“Orang mati itu menghadap Tuhan yang sama juga, jangan lagi kuburan dipisah-pisahkan, karena urusan keduniaan mereka sudah selesai,” cetus Haji Abdul Hamid (tetua Mbawa), suatu saat ketika berbincang dengan penulis.

Pesan semiotis dari respon seperti di atas jelas: jangan lagi kami dipisah-pisahkan untuk kepentingan kompetisi agama-agama, dan biarkan kami damai dengan cara kami sendiri.

Cetusan seperti di atas mencerminkan bekerjanya visi religiositas yang dianut secara komunal oleh Dou Mbawa di tengah kehidupan yang penuh pergulatan. Visi religius itu pada gilirannya bermutasi menjadi visi sosial tentang tuntutan akan ruang publik yang layak dan ramah, tempat bertemu, bernegosiasi, dan berkomprominya berbagai kepentingan dalam masyarakat majemuk.

Dan ini pelajaran besar dari sebuah kampung kecil terpencil untuk dunia.

Selengkapnya

One Comment

  1. Ping-balik: 2antonio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button