
Atas nama Corona, Tuhan telah dibantai habis-habisan. Hingga babak belur. Hampir tak keterka. Bukan lagi haluan utama. Ayo bangun bersama-sama. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Kembalikan Tuhan ke tempat semula. Tempat dimana satu-satunya kita berharap dan berserah.
Soal Corona–yang katanya virus mematikan ini, mahasiswa RI yang kuliah di China kirim e-mail begini;
“Disini (Wuhan) kami sangat cepat untuk bangkit (recovery), sebab kami saling menyemangati. Kami tidak memberikan berita kematian, yang kami beritakan berita kehidupan dan berita kesembuhan. Namun kenapa masyarakat dan nitizen di Indonesia lebih memilih memberitakan berita ketakutan, kekhawatiran, kecemasan? Apakah mereka memang ingin membunuh saudaranya sendiri?” Tulisnya yang entah siapa namanya.
Corona telah masuk keseluruh sendi kehidupan, ruang-ruang paling kecil, hingga persepsi. Mall, jendela, bengkel, bahkan closet umum. Membantai harapan. Mengintai nyawa. Gawat! Betapa pentingnya nyawa. Petani, pedagang asongan, tukang las, pemulung, nelayan, hingga tukang kuras WC. Semua membincangkan Corona. Lalu siapa Corona? Corona adalah kekhawatiran, kecemasan, ketakutan yang diciptakan oleh persepsi sendiri. Tiap apa yang membantai harapan, kemungkinan-kemungkinan, dan sendi-sendi kemanusiaan. Ialah Corona.
Sejenak kita mikir!, bisakah kiranya untuk tak sedekar membincangkannya. Membincangkan yang tak berbuah apa-apa–yang sebatas posting-posting seenaknya. Yang belaka menghebohkan hal yang mestinya tak perlu dihebohkan. Jancuk! Corona mutlak jadi hantu. Hantu yang terus ditebar, dipupuk, dan terus dikembangkan oleh pikiran-pikiran. Terus hidup, gentayangan membayangi tiap perjalanan.
Publik mulai dibombardir jutaan, milyaran, bahkan triliunan informasi. Apakah tidak penting? Penting. Tapi samakah kemampuan respon penerima informasi itu?, maka kemampuan untuk mengolah kondisi dengan menggeser kecemasan harus berbuah ikhtiar, yakin dan kemantapan spritualitas yang mendalam. Bahwa setiap sebab akan berakibat. Ikhtiar baik akan berbuah baik. Tanpa memberikan kesempatan bagi takut, cemas, khawatir untuk mendominasi. Implikasinya Tuhan tak tergeser. Pun meletakkan Tuhan tetap sebagai yang menciptakan dan muara dari semuanya. Tak perlu panik. Manual, natural dan biasa saja.
Sebab hidupnya virus ini tak belaka virusnya. Utamanya publik terus-terusan menghidupkannya. Hindari untuk sering menyebutnya. Sebab dengan sering menyebut, virus ini bakal terus abadi. Tumbuh dan hidup di tiap ruang tersempit sekalipun–hingga firasat. Lalu betapa pentingnya kearifan dalam menyikapi–soal virus ini. Perlu kesantunan, penting meracik narasi. Pembawaan yang tak emosional, persepsi yang tak reaksioner perlu menjadi awalan yang inti. Sebagaimana kita memperlakukan kekejian dengan tak mempersalahkannya. Melawan tidak dengan membenci. Bukankah dengan memprioritaskan yakin bahwa upaya menghindari bakal berwujud akibat menghindarnya si Corona ini secara otomatis?. Ayo kita mikir! Pelan, pelan, sehalus mungkin.
Lebih dari itu, bias informasi tak tentu arah. Siapapun berhak dan bebas menyebar. Bebas menafsir. Absurd!. Apalah arti ‘dirumahsaja’ jika terus-terusan saling berbagi kepanikan, tukar-menukar takut, dan saling barter kekhawatiran. Ya, jangan biarkan semua nyata menguasai!. Lawan!. Di rumah tak belaka sekedar menjadi konsumen informasi, tapi sebisa mungkin menjadi produsen. Produsen yang memberikan harapan, ketenangan dan menebar hal-hal positif. Menggeser persepsi buruk menjadi percaya diri. Menampilkan kemungkinan-kemungkinan baik. Tak belaka informasi yang tak terukur akibatnya.
Pun fenomena ini tak belaka soal apa obatnya. Pun tak sebatas jumlah yang terjangkit dan peta sebarannya. Ada pula momen dimana pemilik modal hadir, menyelinap memainkan kegentingan dengan mengisolir harapan hidup. Ekonomis. Sangat ekonomis. Kedaulatan pangan dihantam. Harapan manusia dikendalikan. Nyawa mulai dijadikan komoditas. Semacam hidup ada dalam bayang-bayang virus dan para pemodal ini. Ya ini nyata. Maka sekali lagi, apa adanya penting. Melihat dan merasakan apapun dengan sesantai mungkin dan biasa saja.
Dalam argumennya yang masyhur, bapak kedokteran modern–Ibnu Sina berujar; “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan”.
Atas nama Corona, Tuhan telah dibantai habis-habisan. Hingga babak belur. Hampir tak keterka. Bukan lagi haluan utama. Ayo bangun bersama-sama. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Kembalikan Tuhan ke tempat semula. Tempat dimana satu-satunya kita berharap dan berserah.
Akhirnya, betapa pentingnya menyantap nasi jagung campur sayur kelor, sambel terasi, komplit dengan ikan teri yang gurih. Apalagi di sawah. Santap, santai, lalu nikmati!. Ya, jelas nasi inilah penangkal dasar hantu (virus) ini. Tak penting hidup dalam ratapan-ratapan, kepanikan-kepanikan, pun menggenting-gentingkan yang wajarnya tak genting. Sebab nasi adalah obatnya obat. Sawah–lumbungnya. Obat yang tak sekedar wajib disantap saat sakit saja. Bahkan saat sehat sekalipun siapa yang tak menyantapnya. Paham?
Kalibaru, 29 Maret 2020
Gus Afif | Founder Padepokan Nyai Surti. Imam Besar Penyeru #AntiReuni212
Komentar