AgamaHeadline

Balada Cadar dan Celana Cingkrang

“Kalau negara melarang penggunaan pakaian itu di ruang publik itu melanggar hak pribadi. Tetapi kalau pelarangannya di intansi pemerintah, itu hak pemerintah. Bukannya baju kaos, celana jins, dan beberapa model pakaian memang sudah dilarang. Tidak aneh kalau negara melarang menggunakan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Jangan dipermasalahkan.”

PEPY AL BAYQUNI

Kening Ais mengkerut membaca berita on-line yang memuat pernyataan Menteri Agama RI tentang kemungkinan pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang dalam instansi pemerintah.

Ais merasa bahwa wacana ini sudah terlambat. Saat ini penggunaan cadar dan celana cingkrang telah memasuki fase kedua, fashion. Para artis yang selama ini menjadi agen hijrah telah memodifikasi celana cingkrang menjadi bagian dari kebudayaan pop. Produksi celana cingkrang pun mulai massif dengan berbagai gaya.

“Ah kenapa bisa begini, Kyai?” Tanya Ais pada sesi tanya jawab selepas pengajian.

“Apa yang membuatmu resah, Ais?”

“Kenapa ada wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang?”

“Memang sudah dilarang?”

“Belum Kyai. Tetapi karena yang ucapkan pejabat tinggi negara, ya pasti akan dilanjutkan menjadi kebijakan.”

“Ais sudah baca dengan baik, apa maksud pejabat itu ketika mengucapkan wacana pelarangan cadar?”

“Katanya akan mengkaji dan akan merekomendasikan pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintahan.”

“Oooh… ya tidak apa-apa.”

“Tidak apa bagaimana, Kyai?”

“Ya, kan hanya di instansi negara. Sejak dulu kan memang ada aturan pakaian dalam instansi negara. Jangankan bentuk, warna saja diatur. Tidak boleh bebas menggunakan pakaian. Undang-undang tentang pakaian sudah lama diatur. Apa yang membuatmu gelisah Ais?”

“Ya, ada saudara kita kodong yang suka pakai cadar dan celana cingkrang masa tidak boleh.”

“Kalau negara melarang penggunaan pakaian itu di ruang publik itu melanggar hak pribadi. Tetapi kalau pelarangannya di intansi pemerintah, itu hak pemerintah. Bukannya baju kaos, celana jins, dan beberapa model pakaian memang sudah dilarang. Tidak aneh kalau negara melarang menggunakan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Jangan dipermasalahkan.”

“Tapi kalau mengaitkan cadar, celana cingkrang dengan radikalisme agama?”

Kyai Saleh tidak segera menjawab. Diraihnya botol air mineral yang berada di depannya.

“Pakaian adalah simbol dari sesuatu yang abstrak apakah itu bersifat ideologis atau budaya. Di jazirah Arab, cadar mewakili kebudayaan yang berpadu dengan agama. Sehingga non muslim sekalipun menggunakan cadar. Cadar atau niqab itu sudah digunakan pra-Islam yang tidak diubah, bahkan dijadikan sebagai identitas keagamaan.”

Kyai Saleh kembali jeda beberapa jenak.

“Di Indonesia, cadar dan celana cingkrang berangkat dari ideologi keagamaan yang beragam. Perempuan Salafi, istri dan perempuan jamaah tabligh, sebagian perempuan Ahmadiyah, jamaah perempuan An-Nadzir menggunakan cadar. Mungkin ada juga di NU dan Muhammadiyah. Mereka memiliki ideologi keagamaan yang berbeda-beda.

Kalau mau disebut pakaian umat Islam ya benar, karena hanya umat Islam yang menggunakannya di Indonesia, tetapi bukan satu-satunya. Di Indonesia beragam cara berpakaian yang terassosiasi kepada umat Islam. Cuma, kalau disebut itu simbol radikalisme, tidak tepat. Karena radikalisme agama bisa dilakukan oleh siapapun, dari cara berpakaian apapun.”

“Lalu kenapa ada asumsi di Indonesia kalau cadar, janggut, dan celana cingkrang identik dengan radikalisme?”

“Begini. Asumsi itu tidak muncul di ruang hampa. Ada latar historisnya. Di awal era reformasi, para pelaku bom bunuh diri rata-rata menampilkan diri dengan citra itu. Cingkrang, janggot, dan istri-istri mereka bercadar. Bersamaan dengan itu, fenomena cadar dan cingkrang tidak massif. NU dan Muhammadiyah sebagai representasi umat Islam tidak menampilkan citra diri yang demikian itu. Akibatnya, penyederhanaan simbol dan perilaku terjadi. Jadi asumsi ini bersifat historis.”

“Tetapi tampaknya negara ingin melanggengkan simplifikasi itu, Kyai.” Yusran menyela.

“Deh, bahasamu Yusran. Apa dibilang simplifikasi sedeng.” Sampara ikut menyela sebelum Kyai Saleh menjawab.

“Penyederhanaan, Sampara. Saya tidak tahu apa alasan pemerintah. Tetapi saya duga karena pemerintah tidak ingin peristiwa bom dan kekerasan yang menelan jiwa itu berulang. Negara tidak mau kecolongan lagi. Apalagi penusukan Wiranto beberapa saat lalu diduga berasal dari jaringan lama. Nah, ini tugas kita bersama-sama meyakinkan negara bahwa tidak ada lagi kelompok dan jaringan teroris di Indonesia. Jika kejadian berulang-ulang, maka negara tidak punya pilihan selain mencegah, salah satunya dengan melanggengkan simplifikasi itu.”

“Bagaimana kalau ada memang yang memeliharanya, Kyai?” Tesa ikut bertanya.

“Wah, itu di luar kapasitas saya. Saya tidak paham teori konspirasi.” Jawab Kyai Saleh singkat.

“Saya khawatir kalau wacana ini diteruskan akan membuat umat Islam tersudut, Kyai.”

“Bisa ya, bisa juga tidak.”

“Kok begitu, Kyai?”

“Kita sedang dan telah melewati fase itu, dan kita baik-baik saja. Umat Islam di Indonesia cukup dewasa menyikapi persoalan yang seperti ini. Politik kita dengan segala kelemahannya menunjukkan watak yang dewasa. Pada prinsipnya kita sedang mengalami proses adaptasi untuk menetapkan tujuan bersama. Integrasi akan kita temukan dan semoga itu bisa menjadi laten.”

“Pake teori Parson ki lagi Kyai?” Yusran kembali terheran-heran. Teori fungsionalisme Talcot Parson yang pernah dipelajarinya di kampus sedang digunakan oleh Kyai Saleh?

“Ah, saya cuma berpendapat. Kalau ada samanya itu kebetulan saja.” Kyai Saleh tersenyum tetapi Yusran tidak percaya.

“Kyai. Bagaimana kalau saya bercadar?” Ais kembali bertanya.

“Pendapat ulama tentang cadar berbeda-beda. Ada yang mewajibkan, ada pula yang tidak. Jika Ais menggunakannya karena mengikuti ulama, silahkan saja. Asal Ais merasa nyaman dan tentram menggunakannya.”

“Tapi mauka juga ikut tes CPNS tahun ini, Kyai. Bagaimana kalau saya lulus?”

Kyai Saleh tersenyum.

“Ikuti pendapat ulama lainnya, yang tidak mewajibkan. Jadi apapun yang kamu lakukan asal ada pendapat ulama yang kamu bisa rujuk, lakukan!”

Ais mengangguk-angguk.

“Kalau saya Kyai, bolehkah saya berjilbab lagi?” Sarmidi ikut bertanya dengan nada bercanda.

“Gayamu Sarmidi.” Santri lain kompak bersorak. Sarmidi tertawa terbahak-bahak.

“Kalau kamu lakukan itu lagi, saya usirko.” Kata Kyai Saleh juga dengan nada bercanda.
Semua jamaah tersenyum. Sampara segera berdiri dan mengumandangkan azan Salat Isa.

Artikel ini sudah dimuat di : http://locita.co/santai/syahdan/balada-cadar-dan-celana-cingkrang

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button