Rakyat mungkin bisa ditipu atau dibohongi, tapi Tuhan? Sory la yau. Busuk tetap saja busuk, kotor tetap kotor dan najis tetap najis. Sekarang mereka tinggal menunggu waktu untuk memetik hasil dari permainan yang curang, lainnya menanti giliran.
Sejak usai Shalat Isya hingga tengah malam belum ada sebiji jagung pun yang laku. Suatu malam, seorang Pedagang Jagung Rebus mampir di rumah Abu Macel. Memang begitu kebiasaan Pedagang Jagung langganan Abu Macel. Jika semalaman Jagung Rebusnya tak laku, ia pasti singgah di rumah Abu Macel dan Jagung Rebus pun habis diborong bersama sahabat-sahabatnya. Pedagang Jagung pulang dengan senyum membawa berkah.
Abu Macel kagum dengan Pedagang Jagung Rebus itu. Seorang pedagang yang begitu yakin, Tuhan menyediakan rezeki untuknya melalui beberapa lembar rupiah yang keluar dari saku pembeli. Syukurlah Ia tak memiliki mental mencuri. Jika tidak, tentu tak akan mampu bertahan lama menjajakan dagangannya di malam hari hanya untuk mendapatkan keuntungan beberapa rupiah demi anak isteri dirumah.
Selain jodoh dan kematian, rezeki adalah rahasia Tuhan. Ia berkeliling kampung untuk menyingkap rahasia Tuhan melalui berdagang jagung rebus. Menelusuri lorong-lorong gang digelap malam disaat orang seharusnya tidur dan ternyata Tuhan masih membiarkan sebagian orang terbangun dan membeli Jagung dagangannya. Itu taqwa namanya. Wayarzuqhu min haitsu la yahtasib. Tuhan memberinya rezeki dengan cara tak disangka-sangka.
Berbeda dengan sebagian orang yang bekerja digedung-gedung megah itu. Mereka hanya sekedar mampu membunyikan kata taqwa tapi tak punya kemauan untuk melaksanakannya. Seperti tape recorder, tak tahu akan lagu yang dinyanyikan.
Mereka mengaku adanya Tuhan, tapi justru sibuk memperdagangkan nilai Tuhan hanya untuk merebut lembaran rupiah yang bukan haknya. Tak sedikit diantara mereka yang meringkuk dibalik terali besi karena mengambil hak orang lain dengan cara yang curang. La ta’ qulu amwalakum bainakum bil bathil.
Laksana pemain sulap. Mereka sangat piawai menyulap yang busuk menjadi harum. Yang kotor menjadi seolah-olah indah dan yang najis menjadi suci. Jika permainan mereka tercium hidung rakyat, mereka sangat pandai mengolah kata. Pidato berapi-api. Tuding sana tunjuk sini. Caci sana maki sini. Yang lainnya salah hanya dia yang paling suci.
Rakyat mungkin bisa ditipu atau dibohongi, tapi Tuhan? Sory la yau. Busuk tetap saja busuk, kotor tetap kotor dan najis tetap najis. Sekarang mereka tinggal menunggu waktu untuk memetik hasil dari permainan yang curang, lainnya menanti giliran.
“Itu salah mereka, itu sama saja dengan menyepelekan Tuhan. Dipikirnya Tuhan bisa disogok, bisa ditipu atau dipecundangi seperti yang dilakukannya pada kita.” Kata Abu Bongoh.
“Ah, jangan cerita yang itu Cel? Mereka itu sudah ada yang urus. Daripada cerita yang begituan, mending cerita Pedagang Jagung Rebus yang tadi.” Sela Guru Dole.
Abu Macel pun melanjutkan. Pertemuan antara pedagang Jagung Rebus dengan pembeli di tengah malam bukanlah sebuah kebetulan. Tuhan sudah mengatur kadar rezeki seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Ya, sesuai kebutuhan bukan sesuai kesenangan.
Jika seorang anak diberikan mainan atau makanan kesukaannya, ia pasti akan tersenyum riang sebegai expresi kesenangannya. Dan jika benda kesukaannya terambil dari tangannya, ia pasti menangis bahkan berteriak berguling-giling ditanah sebagai wujud ketidaksenangannya.
Jadi, soal senang dan tidak senang tak memerlukan ilmu, cukup dilakukan anak-anak. Orang dewasa harus bisa membedakan antara senang dan butuh.
Disinilah perlunya ilmu untuk melatih manusia agar merasa cukup sesuai kebutuhan. Tidak untuk berlebihan. Itu loba, tamak bin rakus namanya.
Misalnya, Abu Macel tidak berangkat ke kantor dengan cara merangkak, ia harus menggunakan motor atau mobil miliknya atau sesekali numpang ojek. Orang tak dilarang memiliki kendaraan dua, tiga atau lebih sepanjang itu dibutuhkan. Hanya orang gila yang tak bisa membedakan kebutuhan dan kesenangan. Sehingga harus mengumpulkan beratus ratus mobil dan perusahaan untuk memenuhi sifat kekanakannya.
Soal makan juga sama. Untuk ukuran isi perut Abu Macel, paling banter ia makan satu setengah piring kalau sangat lapar. Demikian juga denga tidur. Kalau sudah mengantuk Abu Macel tak bisa membedakan mana kasur busa mana tikar pandan. Kalau Tuhan menghadirkan keindahan dalam mimpinya, toh sama riangnya dengan orang yang tidur dikasur empuk jika bermimpi indah.
Ini soal rasionalitas, soal etika dan akal sehat. Orang tak dilarang menjadi kaya sepanjang diperoleh dengan cara tak menyakiti orang lain. Pengelolaan kekayaannya juga dengan cara yang sehat. Hanya orang yang memiliki akal dan jiwa sehat yang mampu menjaga badannya agar tetap sehat. Sehingga mampu membedakan kesenangan dan kebutuhan.
Kebutuhan melahirkan kerinduan, kerinduan menghadirkan rasa cinta. Dan cinta letaknya satu tingkat di bawah taqwa. Itulah yang diburu oleh para penempuh kenikmatan hidup.
“Kalau sudah hidup pasti akan mencapai puncak kenikmatan.” Kata Abu Macel mulai ngelantur.
“Huh!!!… Dasar Macel…!!!” Sambat para sahabatnya, dan kalau sudah begini biasanya Abu Macel pasti tambah ngawur.
“Dan jika membutuhkan atau merindukan pemimpin yang baik, carilah pedagang Jagung Rebus itu.” Kata Abu Macel makin ngelantur. []