Berharap Banyak dari UU Pesantren
Negara tak cukup memberikan pengakuan, tapi juga harus memfasilitasi untuk tumbuh kembangnya, baik fasilitas juga mutu. UU Pesantren, adalah kesempatan negara membuat pesantren-pesantren menjadi lebih mandiri dimasa depan
Oleh :
JAYADI (Ketua Lakpesdam PWNU NTB)
Pesantren barangkali satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang paling konsisten bersama rakyat sejak jaman kolonial. Bayangkan seandainya pesantren tak ada, betapa banyak anak-anak khususnya di pedesaan yang tak akan bisa mengenyam pendidikan.
Sialnya, pesantren sejak dulu selalu jadi pihak yang tertinggal dan terpinggirkan. Pesantren dimasa kolonial bahkan dianggap ancaman lantaran sikapnya yang selalu konfrontatif. Atas sikapnya ini pesantren-pun tak diberi ruang, kalopun diberikan ruang maka akan tetap dimata-matai. Tak sedikit pesantren bahkan dimasa kolonial diberangus dengan alasan tidak berijin atau materi pelajarannya dicurigai radikal.
Untuk menghalau perkembangan pesantren, salah seorang penasehat kolonial bernama Snouck Hurgronje mengusulkan didirikanlah sekolah-sekolah kolonial yang materi pelajarannya umum dan identik Barat.
Untuk membedakannya, diberikan streotype siswa pesantren sebagai non pribumi dan siswa sekolah kolonial sebagai siswa pribumi. Dengan model seperti ini kolonial berharap menggerus pengaruh pesantren khususnya perlawanan Islam Nusantara.
Baca Juga :
□ F-PKB DPRD Provinsi NTB Dorong Pembentukan Perda Pesantren
□ Raperda Pendidikan Madrasah dan Pesantren Masuk ProPenPerda DPRD NTB 2020
Dalam perjalanannya, upaya peminggiran peran dan fungsi pesantren rupanya dilanjutkan pemerintahan orde baru. Upaya pelemahan pesantren dilakukan secara struktur dan pendekatannya birokratis. Dengan alasan modernisasi pesantren, orde baru memaksa pesantren menyesuaikam kurikulumnya dengan kepentingan penguasa. Kebijakan-kebijakan dibuat untuk mengebiri, seperti pesantren hars diakui pemerintah, harus terdaftar pada kementrian Agama bahkan diharuskan mengajarkan pendidikan agama paling sedikit 6 jam dalam seminggu disamping matapelajaran umum.
Kebijakan ini bisa kita temui di UU 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah yang diperkuat lagi dengan SKB tiga menteri (Mendagri, Kemanag dan Kemendikbud) nomor 6 tahun 175. SKB ini dengan tegas mensyaratkan untuk dapat mendapatkan ijazah yang setara dengan sekolah, pelajaran agama dimadrasah kurang lebih 30% dan 70% untuk pelajaran umum.
Kebijakan ini secara perlahan namun pasti merontokkan dan memarginalisasi pelajaran agama yang menjadi ciri utama pendidikan pesantren. Kebijakan ini juga telah merubah paradigma dan orientasi pesantren dan santrinya dari yang awalnya tafaquh fid din kearah yang lebih pragmatis yang mementingkan ilmu-ilmu umum sebagai syarat kelulusan ujian Negara. Inilah latar belakang sejarah mengapa pesantren akhirnya membuka sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMA, SMK bahkan universitas yang lebih dominan penguasaan ilmu-ilmu umum ketimbang ilmu agama.
Angin Segar UU Pesantren
Disahkannya Undang-Undang Pesantren nomor 18 tahun 2019 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada 15 Oktober 2019 membawa angin segar bagi dunia pesantren.
Alumni pesantren kini bisa berkiprah dalam berbagai sector kehidupan dan bisa sama-sama berkontribusi memajukan masyarakat, bangsa dan Negara tanpa ada kekhawatiran. Kini keberadaan lulusan pesantren sama seperti alumni pendidikan umum. Lahirnya UU Pesantren telah menghapus diskriminasi dan kesenjangan antara pendidikan pesantren dengan pendidikan umum. Undang-undang ini menjadi landasan hukum untuk mengafirmasi kesetaraan mutu, kualitas lulusan, kemudahan akses, dan independensi penyelenggaraan pesantren. Disamping itu, menjadi landasan hukum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan fasilitas guna mendukung pengembangan pesantren.
Lahirnya Undang-undang pesantren ini juga menjadi pembuktian kesungguhan Negara dalam merekognisi serta menghargai eksistensi pesantren, atas kiprahnya membentuk, mendirikan, membangun dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Juga pengakuan atas tradisi, nilai, norma, jenis dan ragam aktivitas, profesionalisme pendidik, tenaga kependidikan serta penjaminan mutu yang ada didalam ekosistem pesantren. Varian dan model penyelenggaraan pendidikan pesantren kini diakui sebagai fakta yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat Indonesia dengan berbagai ciri kekhasannya.
Langkah pemerintah menetapkan undang-undang pesantren diharapkan mengembalikan dan memperkuat kembali fungsi tradisional pesantren yang kental dengan tafaquh fid din. Serta memperkuat fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Semoga dengan ditetapkannya undang-undang pesantren akan kembali menggairahkan semangat masyarakat untuk menjadikan pesantren sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dengan ciri khas penguasaan ilmu agama yang kental dengan kajian-kajian keislaman. Serta mengembalikan kejayaan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama pilihan masyarakat pencetak ulama dan cendikiawan muslim terpercaya. Lahirnya undang-undang pesantren diharapkan akan dapat memperkuat fungsi tradisional pesantren seperti ; pendalaman ilmu-ilmu islam, pemeliharaan tradisi islam dan regenerasi ulama.
Tapi intervensi pemerintah tidak boleh terlalu jauh. Apalagi dalam pengaturan kurikulum. Berikan kebebasan dan kemandirian pesantren mengatur dirinya. Negara cukup memberikan pengakuan akan eksistensinya, memfasilitasi tumbuh kembang, menjaga mutu serta kualitas insan-insan pesantren. Karena pengalaman masa lalu, kehadiran Negara justeru membuat pesantren kehilangan kemandirian untuk menentukan dirinya sendiri, hingga berujung krisis identitas. Negara harus menyadari hal ini dan tidak boleh mengulanginya lagi.
Wallohua’lam