HeadlineIqro'Sastra

Cerminan Nilai Kosmopolitan Masyarakat Sasak Dalam Permainan Cek Cine.

Oleh : Lamuh Syamsuar

Sepertinya, esensi dari semboyan Bineka Tunggal Ika, sudah termanifestasi ke dalam banyak bentuk. Entah benar atau tidak, saya sendiri seperti menemukan aktualisasi dari semboyan negara yang termaktub di kaki Burung Garuda itu dalam permainan tradisional.

Waktu kecil, saya ingat betul di acara tahlilan kematian, yang diselenggarakan 9 malam berturut-turut di rumah duka.
Sebelum dane-dane penglinsir rauh, di tempat acara. Saya dan beberapa teman sebaya lain yang datang lebih awal, sembari menunggu acara zikiran dimulai, mengisi waktu luang dengan memainkan beberapa permainan tradisional, salah satunya adalah permainan Cek Cine.

Saya dan teman-teman menyebutnya permainan Cek Cine, karena tidak tahu persis nama permainan itu.
Aturan mainnya sangat sederhana. Setelah duduk melingkar, peserta permainan akan mengambil satu peranan. Masing-masing sebagai Cek, Cina, Landak, Tuan.
Kemudian masing-masing peserta akan menjulurkan jari-jari tangannya di atas lantai, berapapun jumlah jari yang ingin ditunjukkan.

Setelah itu, pemimpin permainan memulai dengan menuding-nuding jemari pemain. Sembari menyebut “Cek, Cina, Landak, Tuan” secara berulang-ulang sampai pada jari terakhir.

Jika jari terakhir itu berakhir di “Cek” maka peserta yang berperan sebagai “Cek” dianggap kalah, dan akan mendapat hukuman. Demikian juga, jika jari teakhir menyebut “Cine”, “Landak” atau “Tuan”, maka peserta yang berperan sebagai “Cine”, “Landak” atau “Tuan” itulah yang dianggap kalah.

Sebagai hukumannya, ia diharuskan menjulurkan sebelah tangannya (mirip seperti orang yang hendak bersalaman). Kemudian peserta yang menang, akan mendapat kesempatan secara bergiliran menampar tangan yang terjulur itu. Hukuman terhitung berakhir, jika ia bisa menghindari tamparan tangan “si penghukum”.

Sebelumnya, saya tidak tahu persis kapan dan siapa yang memulai permainan Cek Cine, apalagi relevansi atau pemaknaanya. Hingga suatu waktu saya bertemu dengan salah seorang sahabat dari Jawa yang menyinggung tentang permainan tradisonal Jawa, yang hampir mirip dengan permainan Cek Cine. Konon, ia sering memainkannya bersama teman-teman semasa kecilnya di langgar.

Perbandingannya jika dalam permainan Cek Cine aturannya menyebut: “Cek, Cine, Landak dan Tuan”. Maka sahabat saya itu menjelaskan bahwa yang berlaku di Jawa adalah: “Encik, Cina, Jawa, Londo”.
Baginya permainan tersebut, secara sederhana merupakan representasi paling umum dari masyarakat Nusantara, khususnya di Pulau Jawa yang diwakili oleh 4 golongan besar. Yakni: Arab, Cina, Orang Jawa Asli dan Orang Barat (Eropa).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa “Encik” berarti golongan Arab, “Cina” mewakili Etnis Tionghoa, “Jawa” dimaknai sebagai penduduk asli Jawa dan Londo bearti Belanda atau representasi dari Orang Barat (Eropa).

Saya kira keterangan yang saya dapatkan dari teman saya itu, cukup jelas menunjukkan hubungannya dengan permainan Cik Cine, yang saya pahami.
Perbedaannya terletak pada urutan, beberapa pelafalan dan pemaknaan. “Cek” dalam permainan Cek Cina, mungkin dapat saya artikan sebagai representasi dari penduduk asli Lombok, dengan mengacau pada penyebutan “Pak Cik” dalam tradisi lisan Melayu.

Sedangkan kontotasi “Encik” bagi orang Jawa lebih merujuk pada masyarakat Jawa a keturunan Arab. Adapun untuk orang Indonesia keturunan Arab dalam konteks permainan Cek Cine diwakili dengan istilah “Tuan”.

Kemudian, untuk penyebutan golongan keturunan Cina dan Barat (Eropa) nyaris tidak berubah, kecuali mungkin pelafalannya, karena dipengaruhi oleh dialek bahasa daerah masing-masing. Misalnya “Cine” untuk lidah orang Sasak, karena cenderung huruf vokal “a” diakhir kata, dibaca “e”. Sedangkan di Jawa, huruf vokal “a” lebih cenderung dibaca “o”.

Terakhir, “Landak”, sangat mungkin merupakan plesetan dari kata “Londo” atau “Landa”, di mana istilah “Londo” bagi orang Jawa kontasinya mengacu pada penyebutan orang Belanda, Barat atau Eropa.

Tidak sulit untuk menunjukkan bukti sejarah tentang pengaruh luar terhadap kultur masyarakat Nusantara dari semenjak dahulu hingga sekarang. Selain cronic atau catatan-catatan awal, ekspedisi Bangsa Cina dan Bangsa Eropa ke Nusantara.

Capaian-capaian peradaban besar yang masih bisa ditemui hingga hari ini, seperti candi-candi yang banyak tersebar di Pulau Jawa, kemudian Masjid Ceng Ho, Menara Kudus, Kelenteng Sam Po Kong dan bangunan-bangunan lain, semuanya seperti menunjukkan sebuah “monumen agung” sebagai penanda atau represntasi dari hasil kerja kolektif dari banyak unsur.

Kurang lebih, hal ini seperti bersesuaian dengan apa yang disinggung oleh Simuh bahwa, karakter masyarakat Nusantara yang paling menonjol dari dulu sampai sekarang adalah sikap atau wawaasan kosmopolitan, membuka diri untuk mendengarkan pendapat orang lain, rela menerima keragaman, bersedia bekerja sama demi memajukan peradaban bersama.

Simuh mencontohkan dua kepercayaan besar yang di negeri asalnya tidak bisa bersatu, namun di Nusantara dua agama itu dapat menyatu, yaitu Agama Hindu dan Agama Budha.

Kemudian Simuh, juga menyinggung bahwa dalam hal tradisi budaya, Islam juga bisa berkembang di Jawa setelah para pendakwah Islam pada era Walis Songo mengakomodir tradisi kebudayaan lama (pra-Islam), tentunya yang tidak bertentangan dengan ajaran atau prinsip-prinsip dasar Islam. Sehingga menghasilkan produk kebudayaan yang memiliki corak yang sangat berbeda dengan bentuk asalnya.

Tanpa bermaksud untuk mengglorifikasikan masa lalu. Informasi dari teman saya, tentang permainan masa kecilnya itu seperti membuka kesadaran saya, untuk melihat lebih dekat lagi nilai kearifan (baca: wawasan kosmopolitan) yang dimiliki oleh masyarakat Lombok.

Karena karakteristik masyarakat yang mendiami Pulau Lombok dari dulu hingga sekarang sudah sangat Plural. Implikasinya, nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalam permainan Cek Cine, menjadi relevan untuk diaktualisasikan kembali, sebagai bahan refleksi diri.

Memang, masyarakat Suku Sasak menjadi penduduk yang dominan di Pulau Lombok. Akan tetapi di luar itu, diaspora keturunan Arab, Cina maupun Eropa juga sudah cukup luas menyebar di beberapa titik. Mereka, selama berabad-abad lamanya berdomisili di Lombok, membentuk komunitas kecil, berinteraksi dengan penduduk lokal, kawin mawin dan seterusnya.

Tanpa bermaksud untuk terlibat dalam pro-kontra penilaian orang lain terhadap keberadaan komunitas Arab, Cina dan Barat di Pulau Lombok. Suka tidak suka, harus diakui kehadiran mereka sangat mempengaruhi perkembangan tatanan sosial di Pulau Lombok.

Mereka sejak dahulu hingga sekarang, sudah bisa dianggap sebagai bagian yang utuh dari masyarakat Lombok. Hidup berdampingan dengan kultur yang dinamis, menjalin interaksi sosial yang harmonis dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Contoh sederhananya di sektor pariwisata. Sektor pariwisata Lombok tidak mungkin berkembang tanpa adanya interaksi antara pelaku-pelaku wisata. Baik yang berperan sebagai wisatawan yang didomenasi oleh pendatang dari Barat (Eropa) dan Asia, maupun yang bertindak sebagai “Tuan Rumah”. Sederhananya saya katakan bahwa, orang Arab, Cina dan Barat juga turut serta berinvestasi untuk pengembangan dunia pariwisata di Lombok.

Belum lagi di sektor perdagangan. Di Ampenan, Cakra, Praya, Selong dan pusat-pusat perniagaan yang lain, masyarakat keturunan Arab dan Cina turut meramaikan persaingan secara sehat. Hal tersebut sudah berlangsung cukup lama, dari generasi ke generasi.

Tentunya ada banyak bentuk interaksi sosial lain yang bisa dikemukakan untuk memotret jalinan, hubungan sosial dari “Cek”,“Cine”,“Landak” dan “Tuan” dalam kesempatan ini. Namun saya mencoba membatasi deskripsi lebih lanjut, karena apa yang ingin saya sampaikan, sekiranya sudah sangat jelas tercermin dari beberapa contoh di atas.

Pada akhirnya saya hanya ingin sampaikan bahwa, dalam permainan Cek Cine –permainan masa kecil saya – yang mugkin sudah lebih dulu ada sebelum saya lahir, juga terkandung nilai-nilai universal.

Berupa suatu sikap keterbukaan masyarakat Sasak untuk mengakui perbedaan, kerelaan menerima keragaman dan bersedia bekerjasama demi mebangun tatanan sosial atau kehidupan bersama yang lebih baik, tanpa narasi-narasi yang bersifat destruktif. Wallahualam!

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Cek juga
Close
Back to top button