Ketika sekarang muncul banyak orang yang menolak nasab Baalawi, lagi-lagi banyak Baalawi yang menganggap mereka membenci ahlulbayt. Ini nggak nyambung, yang dibahas adalah soal nasab Baalawi, bukan soal mencintai ahlulbayt. Semua ummat Islam aswaja sedunia itu (termasuk Kiyai Imaduddin) sepakat bahwa mencintai ahlulbat itu wajib, yang dipersoalkan itu adalah nasab Baalawi, bukan soal cinta ahlulbayt.
Beberapa kali saya berkata pada beberapa habib yang saya kenal: “Sebaiknya antum jangan bahas cinta ahlulbayt dalam ceramah-ceramah antum, biar Kiyai-kiyai aja yang membicarakan itu, kalau antum yang ngomong nanti antum dikira pengen dihormati”
Salah satu dari merekapun berkata: “Habis sekarang ini Kiyai-kiyai sudah jarang membicarakan bab itu.”
Sayapun mulai berfikir tentang hal ini hingga sayapun teringat dengan beberapa sejarah Baalawi dan pengalaman para Kiyai terkait hal ini.
Sejak awal (abad 15) keluarga Walisongo tidak mengajarkan cinta ahlulbayt secara masif karena ketika itu tidak ada ahlulbayt kecuali mereka sendiri, mereka tidak mau dianggap jualan nasab atau dianggap mau menyaingi kebangsawanan lokal. Walaupun begitu ternyata saya pernah membaca manuskrib yang ditulis oleh orang kejawen pada zaman Walisongo, di situ diungkapkan kebencian mereka pada Walisongo dengan menyebut “Quraisy anjing”.
Ketika pada abad 18 Baalawi mulai berdatangan ke Nusantara, para Kiyaipun mulai memperkenalkan Baalawi sebagai ahlulbayt untuk mengaplikasikan ajaran cinta ahlulbayt dan menjadikan Baalawi sebagai “obyek”, apalagi ketika itu Baalawi yang datang ke Nusantara ini adalah kalangan ulama, cendikiawan dan saudagar yang terhormat.
Pada abad 19 Baalawi semakin banyak datang berbondong-bondong dan kebanyakan untuk bekerja pada orang-orang Belanda yang sedang menjajah negeri ini, kemudian pada tahun 1906 hingga menjelang kemerdekaan Baalawi dan imigran Yaman lainnya bertikai dengan sengitnya (kelompok RA dan Al-Irsyad). Ketika itu, di mata orang Indonesia khususnya di pulau Jawa, nama baik Baalawi buruk sekali, bahkan Baalawi dan imigran Yaman lainnya membuat malu bangsa Arab di negeri-negeri Arab. Para Kiyaipun mundur pelan-pelan dari promosi Baalawi secara umum, hanya dekat dengan ulama-ulama Baalawi yang baik saja dan jumlahnya tidak banyak.
Pada tahun 80an, para Kiyai melihat bahwa rakyat Indonesia sudah melupakan kasus Baalawi dan Irsyadiyyun, maka para Kiyapun mulai mempromosikan Baalawi kembali bahkan secara masif, digandenglah ulama dan para penceramah Baalawi walaupun kadang tidak alim, para Kiyai mengajarkan ummat untuk cinta Baalawi, bukan hanya yang alim (habib) saja, bahkan juga Baalawi yang paling awam sekalipun.
Saya teringat pada suatu kejadian, ketika itu saya berumur sekitar 13 tahun, ayah saya berbincang-bincang dengan adik beliau yang bernama Kiyai Munir dan sepupu beliau yang bernama Kiyai Abas Anwar (Pesantren Orobulu Rembang Pasuruan), mereka mengeluhkan ceramah habaib yang kadang membahas hukum fiqih dengan salah-salah. Kiyai Abbas berkata: “Saya jadi suka kerepotan kalau ada habib ceramah salah-salah di majlis saya, saya jadi harus meralat dan membetulkannya di majlis berikutnya.” Ketika itu ayah saya dan Kiyai-kiyai lainnya masih mentolelir ketidak-aliman habaib yang mereka promosikan, karena habaib itu masih sopan dan sangat menghormati para Kiyai.
Setelah para Kiyai mempromosikan Baalawi secara masif, ternyata banyak oknum Baalawi yang kemudian ngelunjak, mereka jadi berani minta-minta atau jualan (dawir) dengan paksa bahkan terhadap para Kiyai.
Banyak baalawi yang datang ke ayah saya membawa dagangan seperti minyak wangi dan jamu, ayah saya selalu menawarkan untuk menjualkan dagangan mereka, mereka disuruh pulang dan kembali lagi setelah seminggu, seminggu kemudian merekapun datang lagi dan ayah saya memberikan uang hasil penjualan dagangan mereka tanpa mengambil untung sedikitpun, ayah saya menjualnya ke tamu-tamu beliau dengan mengatakan bahwa itu adalah dagangan seorang habib. Hingga suatu hari ada habib membawa dagangan dan meminta ayah saya untuk membayarkan dulu, ayah sayapun berkata: “Bukan begitu, bib, taro aja barang antum di sini, nanti juga terjual, jadi uangnya nunggu setelah barang ini terjual.” Namun habib itu dengan congkaknya maksa ayah saya, sehingga ayah sayapun marah dan mengusir habib itu sambil berkata: “Ecanggu kakek tok yeh ketoronnah Kanjeng Nabi jiyah.” (Dipikir kamu aja ya yang keturunan Kanjeng Nabi itu)
Saya pernah bertamu pada seorang Kiyai di Jawa Barat, dibawa oleh Kiyai Ahmad Hasan (Pesantren Bendakerep Cirebon). Ketika di jalan, Kiyai Ahmad menelpon Kiyai yang sedang dituju itu tapi telpon tidak diangkat. Setibanya di rumah Kiyai itu, kamipun mengucapkan salam dari depan pintu tapi tidak ada yang menyahut, setelah beberapa menit datanglah seorang santri dan mengatakan bahwa tuan rumah sedang keluar, kamipun beranjak pergi. Setelah beberapa menit ada sms masuk di HP Kiyai Ahmad berbunyi begini: “Maaf Kiyai, tadi saya tidak pegang HP, itu yang sama antum habib dari mana?” Rupanya tadi tuan rumah itu mengintip kami dan mengira saya ini habib, mungkin karena saya berewok. Maka Kiyai Ahmadpun membalas sms: “Yang bersama saya ini Kiyai Ali Badri.” Akhirnya Kiyai itupun menelpon Kiyai Ahmad dan berkata sambil tertawa: Ya Allah, Kiyai, saya kira antum bawa habib, ya udah balik aja, saya ada di rumah.” Singkatnya tuan rumah itu tidak mau ketamuan habib karena sering minta-minta dan maksa.
Nah, setelah banyak oknum Baalawi yang suka meminta-minta bahkan kadang dengan maksa seperti itu, para Kiyaipun mulai mengurangi mempromosikan Baalawi, hingga pada tahun 2000an, sebagian Baalawi yang merasa promosi dari para Kiyai itu sangat berkurang, maka merekapun kemudian mulai masif mempromosikan diri mereka sendiri dengan ceramah-ceramah bertema “cintai habaib”. Banyak narasi yang sering kita dengar dari para penceramah mereka yang menurut saya terlalu “fulgar” menuntut ummat untuk mencintai mereka sendiri sebagai ahlulbayt, semisal ceramahnya Habib Taufiq Assegaf Pasuruan (Ketua RA), Habib Segaf Baharun (Pesantren Dalwa Pasuruan), Habib Novel Aladrus (Solo). Dan yang paling unik adalah narasi Habib Bahar Smith yang sangat viral, yaitu “Didalam tubuh saya ini mengalir darah Rasulullah.”
Ketika saya dulu mendirikan perhimpunan keturunan Walisongo, saya betul-betul bertujuan untuk silaturrahim dan mensosialisasikan manhaj dakwah Walisongo pada keturunan Walisongo, bukan untuk menjadi Habib, bahkan dengan tegas saya menolak panggilan Habib, baik untuk diri saya maupun untuk keluarga yang bergabung dengan lembaga yang saya dirikan ini, walaupun ketika itu ada Kiyai yang nyeletuk dan berkata: “Ngga apa-apa, Kiyai, itung-itung biar ummat tahu kalau keturunan Rasulullah itu tidak semua seperti oknum habaib itu. Kita muncul untuk memperbaiki nama baik keturunan Rasulullah yang dirusak oleh mereka, bahwa kita juga keturunan Rasulullah tapi tidak suka menyombongkan dan menjual nasab seperti mereka.” Saya tetap menolak dengan usulan Kiyai itu, namun begitu, banyak Baalawi yang memusuhi dan memfitnah saya, mereka tidak terima saya menghimpun keluarga Walisongo yang mereka anggap sebagai Azmatkhan Baalawi.
Kemudian, ketika sekarang muncul banyak orang yang menolak nasab Baalawi, lagi-lagi banyak Baalawi yang menganggap mereka membenci ahlulbayt. Ini nggak nyambung, yang dibahas adalah soal nasab Baalawi, bukan soal mencintai ahlulbayt. Semua ummat Islam aswaja sedunia itu (termasuk Kiyai Imaduddin) sepakat bahwa mencintai ahlulbat itu wajib, yang dipersoalkan itu adalah nasab Baalawi, bukan soal cinta ahlulbayt. Orang yang tidak percaya pada nasab Baalawi maka tentu saja mereka tidak akan mencintai Baalawi sebagai ahlulbat, tapi tetap wajib mencintai Baalawi sebagai saudara seiman. Adapun saya, saya tetap “mempercayai” nasab Baalawi sebagai keturunan Sy. Ubaidillah bin Ahmad, sebagaimana saya “mempercayai” nasab saya sebagai keturunan Walisongo. Sayapun mencintai Baalawi sebagai habib, saya juga mencintai Baalwi sebagai saudara seiman dan saya juga mencintai Baalawi sebagai keluarga dari istri pertama saya. Adapun yang oknum atau Baalawi yang bersalah, sejak dulu saya sering mengkritik dan melawan mereka, bahkan saya mengkritik mereka lebih dulu dan lebih banyak daripada orang-orang yang hari ini membatalkan nasab Baalawi.[]
Sumber : fb. Al Faqir Ali Badri