Kalaupun sosok yang dipajang itu kasyaf, kita sebetulnya tidak perlu ikut share memasarkan wajahnya. Tabiat dan tradisi orang kasyaf itu humul (tidak mau dipublikasi). Bila dia wali, dia akan marah bila fotonya dipajang. Ingatlah Mbah Kiai Mangli (Magelang), yang sangat anti difoto walau untuk data keberangkatan haji sekalipun.
Oleh M. Abdullah Badri
Sungguh naif. Hadzal yaum, masih ada orang mengaku kasyaf dan meminta fotonya dipasang di status dan foto profil WhatsApp supaya mendapatkan berkah. Dan anehnya, teman-teman saya juga banyak yang memajangnya. Bodoh macam apa yang sedang menjangkiti masyarakat kita sekarang?
Tidak kenal kiprahnya, kealimannya, bukti-buktinya, tapi ikut menyebar dan yakin kalau sosok itu kasyaf. Dengan tersebarnya foto tersebut, orang-orang seolah telah ikut momentum mendeklarasikan kasyafnya seorang keturunan Ba’alawi bermarga Al-Hamid itu.
Kalaupun sosok yang dipajang itu kasyaf, kita sebetulnya tidak perlu ikut share memasarkan wajahnya. Tabiat dan tradisi orang kasyaf itu humul (tidak mau dipublikasi). Bila dia wali, dia akan marah bila fotonya dipajang. Ingatlah Mbah Kiai Mangli (Magelang), yang sangat anti difoto walau untuk data keberangkatan haji sekalipun.
Dikenalnya seorang wali oleh orang lain nan jauh disana justru dianggap aib. Tengoklah cerita Gus Dur bersama Kiai Said Aqil Siraj di Makkah. Saat itu Gus Dur mengajak Kiai Said mencari sosok yang disebut wali. Begitu bertemu, sang wali justru langsung melarikan diri sambil berucap, “dosa apa yang telah aku lakukan Gusti, sampai orang itu mengenalku”.
Para wali memiliki tabiat malu melebih malunya perempuan. Kiai Hamid Pasuruan sendiri pernah menangis setelah cerita kelebihannya disampaikan dalam satu mimbar. Beliau malu kelebihannya dibaca oleh orang-orang. Demikian pula Habib Umar bin Hafidh Yaman. Beliau tidak pernah menjawab tanya apakah benar sebagai wali atau tidak. Mereka lebih memilih diam.
Lewat seseorang, Kiai Hamid Pasuruan juga pernah berkirim salam kepada orang gila di Kendal bernama Mbah Samud. Setelah salam disampaikan, bukannya senang, beliau justru meminta umurnya lekas sempurna. “Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku. Aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia,” kata Kiai Samud.
Kiai Maimoen Zubair juga dikisahkan Kiai Fadholan Semarang pernah mengucap “laisa minna (bukan golongan kita)” untuk orang yang menaikkan harga makanan restoran hotel di Mesir. Begitu keluar hotel, resto tersebut tiba-tiba terbakar dan tidak bisa dipadamkan, dan dimuat di koran harian, esok harinya. Apakah beliau bangga? Tidak. Justru beliau menangis dan menyesali ucapan yang sudah jadi doa tersebut.
Itulah para wali Allah yang kasyaf dan doanya mudah diijabah. Mereka tidak meminta diviralkan. Mereka para wali Allah banyak yang merasa amalnya justru berkurang jika keramatnya dilihat oleh orang lain. Wali tidak perlu pengakuan manusia. Tidak perlu pula mengamanatkan khalayak untuk memasang fotonya di depan pintu rumah sebagai tolak balak. Ini termasuk khurofat yang sangat ditentang oleh para ulama’.
Para wali tidak merasa dirinya suci. Mereka paham tentang makna kata فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ (Janganlah kamu mensucikan diri-dirimu sendiri) dalam Surat An-Najm ayat 32 dibawah ini:
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
Terjemah:
“Janganlah kamu mensucikan diri-dirimu sendiri, Allah yang lebih mengetahui siapa yang bertakwa”. (QS. An-Najm: 32).
Bisa Menyesatkan
Bila mitologi amanat pengaku kasyaf dan terijabah doanya itu diterus-teruskan, bukan tidak mungkin akan mengakibatkan keluarnya fatwa dari sang deklarator kasyaf, dan semua omongannya akan dibenarkan walaupun tidak sesuai fakta, menyimpang dari syariat, adat atau bahkan bisa mengubah sejarah.
Akhir-akhir ini, di sekitar Pantura Raya terkabar ada 200an lebih makam baru yang namanya diganti dari yang selama ini beredar. Di Jepara sendiri, saya menemukan dua makam wali yang tiba-tiba diubah namanya dengan akhiran marga Ba’alawi dan Alkarowi (mboh gelar opo iki). Padahal, kronologi sejarahnya belum dijelaskan penuh.
Saya menduga, distorsi sejarah makam wali (dan bahkan sejarah NU) yang tidak sesuai dengan dzikrul ahadits (cerita masyhur) disebabkan, salah satunya adalah: bodohnya masyarakat kita tentang hakikat dan sejarah.
Dimulai dari mitologi foto yang bakal menyerap berkah, lama-lama foto akan dijadikan kiblat shalat. Seperti dilakukan oleh kawan saya dari Kudus, yang hampir tiap shalat di kamarnya, dia memandangi foto gurunya (kiai dan habib) dengan alasan agar cepat khusyu’.
Padahal, syariat fiqih menyatakan makruhnya shalat di depan orang yang memakai kaos bertulis lawakan atau misuh-misuh, seperti: “Matamu Picek”, “Tahanan Istri dan Mertua yang Bahagia”.
Wis tah. Hentikan! Dilereni. Ojo dadi wong goblog dan diperbudak taqlid tanpa ilmu! []
M. Abdullah Badri, Ketua PC Rijalul Ansor GP. Ansor Jepara