Sebagai penulis muda, banyak bagian dari halaman buku yang memuat opini pribadi seorang Virdi. Mungkin karena ia adalah seorang pengagum Gusdur seperti saya.
OLEH : RASINAH ABDUL IGIT*
Buku “Menjerat Gusdur” ada di tangan saya. Buku laris tulisan Virdika Rizky Utama ini mengulas soal konspirasi besar di balik jatuhnya Gusdur dari kursi presiden. Gusdur jatuh lewat persekongkolan busuk para aktor yang pada hari ini masih ada yang sering nongol di TV dengan gelar reformis, guru bangsa, imam besar, dan macam-macam. Virdika melandaskan bukunya berdasarkan dokumen yang secara tidak sengaja dipungutnya di dekat kantor salah satu partai besar. Lalu mengalirlah tragedi politik itu. Tragedi yang harus disingkap dengan terang-benderang agar menjadi pelajaran bagi generasi mendatang, bahwa ada masa kelam juga pasca tumbangnya Soeharto.
Virdi menulis banyak tokoh yang terlibat dalam upaya melengserkan Gusdur, lengkap dengan peran dan posisi masing-masing. Ada yang bertugas mengontrol jalannya sidang-sidang di MPR, ada yang bertugas memasifkan framming Bulogate dan Bruneigate lewat koran. Ada yang bertugas memancing kerusuhan SARA di sana-sini biar suasana kacau. Ada yang bertugas mengkoordinir demo mahasiswa.
Yang lucu itu ada dokumen yang poinnya “Tugas Saudara Dien Syamsuddin untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto yang mengandung babi”. Bagus sekali tugas Pak Dien.
Nama-nama yang dimunculkan, tentu saja penulis berusaha meminta klarifikasi dari orang-orang yang disebut dalam dokumen itu. Sebagai jurnalis, Virdi tentu saja harus melakukan itu. Pelengseran Gusdur menemukan pintu utamanya lewat pemecatan Jusuf Kalla dari jabatan Menteri Perdagangan dan Perindustrian, dan Laksamana Sukardi dari posisi Menteri BUMN. Satunya kader Golkar, satunya kader PDIP. Sumber daya dua partai besar ini lalu bersatu padu mengbrak abrik seorang Presiden yang tengah berusaha “merapikan” kembali Indonesia pasca lengsernya Soeharto. Tugas yang demikian beratnya.
Dari awal sampai akhir kalimat di buku ini, Virdi semacam menemukan benang merah para aktor. Mereka, meskipun datang dari berbeda-beda partai dan elemen, muaranya satu : HMI Connection. Lebih spesifiknya : tokoh-tokoh alumni HMI, organisasi mahasiswa.
“Melalui senior-senior Himpunan Mahasiswa Islam, yang biasa disebut dengan HMI Connection, mereka menggalang sebuah kekuatan” begitu tulis Virdi di halaman 330 paragraf paling atas.
Akbar Tanjung, Fuad Bawazier, Jusuf Kalla, Hamdan Zoelva, M. Fackhrudin, Prio, Ginanjar, dan tokoh-tokoh lainnya disebut dengan gamblang melakukan rapat-rapat penting dari hotel satu ke hotel lainnya dalam rangka mengevaluasi gerakan-gerakan di pos masing-masing.
Selaku alumni HMI, tentulah penyebutan di atas membuat saya makin cermat membolak-balik halaman buku ini. Nama-nama di atas adalah “senior – senior”, kanda-kanda, akrab di pikiran dan telinga saya. Aktor sentral lain di luar HMI adalah tentu saja Amien Rais. Selebihnya alumni HMI, setidaknya begitu penyebutan Virdi.
Terkejut dengan buku ini? Nggak. Berikut potongan-potongan yang akan menguatkan pendirian saya.
Pertama, saya ini pecinta Gusdur, meski istilah pecinta terlalu gombal. Sebagai seorang pecinta, seharusnya saya banyak memberikan kebaikan kepada Gusdur. La, siapalah saya yang bisa berbuat demikian? Yang terjadi adalah Gusdur yang mencurahkan banyak kebaikan. Dari Gusdur saya kemerdekaan, kebebasan yang bertanggungjab, belajar menertawakan hidup, tidak jaim, dan lain-lain. Menganggap diri saya seorang Gusdurian juga nggak berani. Pokoknya saya ini muridnya beliau dah. Gusdur itu guru saya, guru kita semua. Guru negeri ini.
Kedua, suatu hari saya mengikuti acara KAHMI di Surabaya. Waktu itu dari rumah sampai hotel lokasi acara saya nggak sadar pakai kaos oblong bergambar Gusdur. Masuk lobi hotel, banyak yang memperhatikan saya. Banyak yang memperhatikan baju saya. Kalau dalam kacamata bukunya Virdi ini, apa saya dianggap salah masuk acara atau tidak? Di luar lobi, saat menghisap rokok sambil duduk santai, saya dihampiri seorang alumni HMI asal Jawa Tengah. Ia nanya saya orang NU atau gimana. Lalu dia bicara agak panjang lebar soal NU, Gusdur, dan pertentangan-pertentangannya dengan HMI. Sebagai junior, tentulah saya hanya mendengarkan. Tapi ini tidak berlangsung lama. Rokok saya habis, dia juga harus naik taksi entah mau kemana. Baca buku Virdi ini, tiba-tiba saya ingat peristiwa itu.
Ketiga, jika pun dalam pengambaran Virdi, HMI Connection itu jahat, lebih jahat dari Rangga yang meninggalkan Cinta selama sekian purnama di film AADC, toh ada tokoh-tokoh HMI lain yang justru berada di pihak Gusdur. Sebut saja Mahfud MD. Hingga pada waktunya, Mahfud, mantan Pimpinan Presidium KAHMI, bersuara lantang, bahwa pelengseran Gusdur adalah inkonstitusional. Gusdur dilengserkan bukan karena perkara hukum, melainkan perkara politik. Salah terbesar Gusdur adalah tidak mau berkompromi. Bulogate dan Bruneigate, yang menjadi dasar proses pemakzulan sang Kyai, hanyalah banyolan, sampai sekarang tidak terbukti setitikpun.
Keempat, ini cukup penting. Yang keempat ini soal cara memahami sejarah. Peristiwa sejarah adalah peristiwa lampau. Namanya sesuatu yang lampau, dia bisa digali dari sudut yang banyak. Baik maupun buruknya. Positif maupun negatifnya. Semuanya harus terang benderang. Sejarah Islam misalnya. Ada yang menulis sisi baiknya, ada sisi buruknya. Kebetulan saya akrab dengan beberapa sejarawan Syiah, yang dari buku mereka digambarkan keburukan-keburukan orang-orang di sekitar nabi, nama-nama yang menurut kelompok lain justru agung. Saya berusaha untuk tidak terkejut saja. Tercelanya sebagian sahabat Nabi tidak akan mencoreng wajah Islam. Islam ya Islam, pergutan manusia-manusia sejarahnya ya berbeda. Biasa saja. Nanti pikiran dan waktu kitalah yang akan menentukan kebenarannya. Sejarah biarlah berdiri dengan telanjang, agar kita bisa saksikan segala sudut-sudutnya. Pun juga dengan kiprah KAHMI atau HMI.
Sejarah-sejarahnya biarlah ditampilkan dengan gamblang, siapa pahlawan, siapa maling, siapa Pandawa, siapa kurawa. Yang baik akan dipuja, yang buruk akan jadi gelandangan, seperti kata Gusdur. Keburukan aktor-aktor yang ada tidak akan mempengaruhi posisi brand HMI sebagai salah satu organisasi kader muda yang banyak jasanya.
Terakhir, sebagai penulis muda, upaya Virdi harus diapresiasi. Saya selalu senang dengan anak-anak muda yang menulis. Saya ini hasilkan satu buku tipis saja belum bisa. Yang ada hanya sering nulis-nulis tidak karuan di Facebook. Sebagai penulis muda, banyak bagian dari halaman buku yang memuat opini pribadi seorang Virdi. Mungkin karena ia adalah seorang pengagum Gusdur seperti saya.
#Gerung
*Rasinah Abdul Igit Adalah Gusdurian Lombok, Kolomnis dan Wartawan Media Cetak di NTB