Gusdur dan Sepakbola
Berbicara tentang Gus Dur dan sepak bola bukan mengingat apa yang telah ia lakukan untuk sepak bola (Indonesia), tapi mengenai seorang individu yang benar-benar gemar sepak bola sebagai suatu permainan. Kegemaran ini yang mendorongnya untuk mengoleksi sekoper guntingan-guntingan artikel tentang permainan si kulit bundar.
Andreas W. Marbun
(Board of director www.panditfootball.com)
Ada beberapa hal yang akan terlintas di kepala saat mendengar nama Gus Dur. Pertama tentang humor-humornya yang tak bisa lepas dari kesehariannya, bahkan setelah menjabat sebagai presiden. Kedua tentang ia yang sering mendobrak hal-hal formal dan dengan bebas mengemukakan pikirannya, walau bernada kontroversial. Ketiga adalah kesetiaannya dalam membela pluralisme dan keberpihakannya pada kaum minoritas. Sementara yang keempat, adalah obsesinya akan sepak bola.
Ya, dikatakan obsesi karena ia memang memiliki ketertarikan dan keterikatan kuat dengan sepak bola. Dan Ini lah yang membedakannya dengan presiden-presiden RI lainnya. Berbicara tentang sepak bola dan kaitannya dengan presiden Indonesia sendiri maka umumnya akan berbicara mengenai bagaimana sepak bola digunakan sebagai alat politik. Atau, seminimal-minimalnya, bagaimana sepak bola di jalankan di era mereka.
Contohlah Bung Karno. Di era kepemimpinannya, timnas Indonesia mencapai prestasi terbaiknya dengan rentetan hasil memuaskan di akhir periode 1950-an (menahan imbang Uni Soviet, meraih perunggu di Asian Games 1958, dan lain sebagainya). Tapi, tentu saja ini tak bisa dipisahkan konteks bagaimana ia menggunakan sepak bola sebagai suatu alat politik, atau alat membangkitkan nasionalisme. Atau, misalnya lagi, Presiden SBY. Mengaitkan kata SBY dan sepak bola maka akan terbersit ingatan tentang kekisruhan PSSI yang tak kunjung usai dan tentang belasan kongres yang tidak jelas juntrungannya. Di sinilah Gus Dur tampil berbeda.
Berbicara tentang Gus Dur dan sepak bola bukan mengingat apa yang telah ia lakukan untuk sepak bola (Indonesia), tapi mengenai seorang individu yang benar-benar gemar sepak bola sebagai suatu permainan. Kegemaran ini yang mendorongnya untuk mengoleksi sekoper guntingan-guntingan artikel tentang permainan si kulit bundar. Kegemaran yang membuatnya rajin menulis analisis pertandingan di harian Kompas dan majalah Tempo. Kegemaran yang membuatnya tetap mengikuti jalannya pertandingan, walau hanya lewat suara, setelah kehilangan penglihatan.
Pendeknya, kegemaran dan obsesi yang sama yang membikin jutaan suporter sepak bola Indonesia tetap datang ke stadion meski dengan kondisi kompetisi yang carut marut.
Buku dan Sepakbola
Kegemaran Gus Dus akan sepak bola sendiri sudah ada dari kecil. Bahkan, dengan menyepak dan mengolah bola di halaman belakang rumahnya di Jakarta lah Gus Dur jadi lebih akrab dengan ayahnya, Wahid Hasyim. Menurutnya, sebagaimana diceritakan Greg Barton dalam buku “Biografi Gus Dur”, ayahnya adalah tipikal ayah-ayah lainnya dari suku Jawa yang menjaga jarak dengan anaknya. Tapi saat bermain bola di pekarangan lah Gus Dur merasa bahwa Wahid Hasyim senang ditemani oleh putra sulungnya itu.
Namun kegemaran ini tak lama berubah jadi candu. Beranjak remaja, ada dua hobi Gus Dur yang seakan tak bisa dipisahkan dari dirinya: melahap buku dan menonton pertandingan sepak bola. Bahkan, karena hobinya ini lah Gus Dur pernah tak naik kelas. Saat berada di kelas satu Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gus Dur terpaksa mengulang kelas satu karena gagal ujian. Pasalnya Gus Dur sendiri terlampau sering menonton pertandingan sepak bola sehingga tak punya cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Karena gagal naik kelas ini, ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Jombang untuk bersekolah di pesantren. Di tempat ini lah hobinya mulai berubah. Jika di masa kecil Gus Dur masih sering bermain dan menikmati perannya sebagai penyerang, beranjak dewasa Gus Dur mulai jadi penonton dan pengamat pertandingan. Hanya sesekali saja ia menjejakkan kaki di lapangan hijau. Itu pun sekedar mengbal ala pesantren.
Pada 1960, Gus Dur kemudian melanjutkan studinya ke Mesir, tepatnya di kampus Al-Alzhar. Di sini sepak bola lagi-lagi seakan jadi “pelariannya” dari proses belajar formalnya. Kala itu, karena satu kesalahan administrasi, pihak kampus tak menerima dokumen/sertifikasi yang menyatakan bahwa Gus Dur memiliki kemampuan dasar berbahasa Arab. Padahal saat itu Gus Dur menguasai ilmu tentang yurisprudensi Islam, teologi, dan berbagai ilmu terkait lainnya, yang pasti membutuhkan kemampuan berbahasa Arab advance untuk mempelajarinya. Karena ketiadaan dokumen ini Gus dur pun lalu dipaksa untuk mengambil satu mata kuliah dasar tentang bahasa Arab, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa negara lainnya.
Gus Dur yang memang nyeleneh dan sedikit berjiwa liar ini lalu menunjukkan reaksinya dengan jarang masuk kelas. Apalagi saat itu kota Kairo menyuguhkan puluhan pertandingan sepak bola setiap bulannya. Jadilah ia lebih sering keluar masuk stadion, perpustakaan (karena tak bisa dipisahkan dari buku), dan bioskop yang menyajikan film-film Perancis.
Sepakbola dan Analisa
Di era 1980-an, keterlibatan Gus Dur dengan sepak bola semakin mendalam. Ia semakin sering mengamati perkembangan taktik, formasi, maupun kondisi persepakbolaan suatu negara. Di era internet, informasi tentang sepak bola dengan mudahnya didapatkan dengan sekali klik. Tapi Gus Dur dahulu harus memperolehnya dengan jalan yang lebih susah. Di sela-sela kesibukannya mempelajari ilmu agama, Gus Dur pun mengoleksi data dan narasi tentang sepak bola dari puluhan majalah dan koran yang ia baca.
Misalnya saja putaran final Piala Eropa 1992. Menurut pengakuannya dalam wawancara dengan Majalah Tiara, ada kurang lebih 800 halaman koran dan majalah yang ia gunting dan kliping selama kompetisi ini berlangsung. Untuk penggemar sepak bola, yang dengan mudahnya membuka halaman elektronik di layar komputer, saja jumlah ini terhitung masif. Apalagi untuk ukuran era 90-an yang notabene masih sulit untuk mencari majalah dan koran khusus sepak bola. Tak heran kemampuan analisa Gus Dur semakin tajam dan tak seperti orang pada umumnya.
Kemampuan analisa ini sempat ia tunjukkan pada Piala Dunia 1994. Di saat orang-orang kebanyakan menjagokan Kolombia untuk melangkah jauh karena hasil impresif di penyisihan, Gus Dur berkata lain. “Masih belum (untuk Kolombia). Kompaknya pun masih kalah jauh dengan Belanda atau Italia. Belum cukup tarafnya,” ujarnya lagi dalam percakapannya dengan Majalah Tiara. Lebih jauh lagi, Gus Dur memprediksi bahwa Brazil, Italia, Argentina, Belanda, dan Jerman akan tetap melangkah ke perempat final 1994. Dan benar saja. Dari kelima negara tersebut, hanya Argentina yang tak mampu lolos dari babak 16 besar.
Dengan kecermatannya menganalisa ini tak heran pula Gus Dur sering didaulat untuk menulis kolom sepak bola atau sekedar jadi komentator di televisi. Terhitung ratusan artikel pernah ia tulis tentang sepak bola. Baik saat mengulas Piala Eropa 1988, 1992 hingga 1996. Atau saat membahas World Cup 1982, 1986, 1990, 1994, hingga 1998.
Untuk kompetisi sepak bola Indonesia sendiri, Gus Dur termasuk sering memberikan kritik dan pada PSSI.
“Orang bilang sepakbola itu 75 persen di luar lapangan, dan 25 persen lainnya merupakan puncak dari usaha dari luar lapangan itu. Apakah proporsi semacam itu yang tidak tejadi?” tanyanya di era-era awal peleburan Galatama dan kompetisi Perserikatan.
“Pemain juga penting. Tapi lebih dulu pengurusnya dan ujungnya pada pelatih. Pada manajer,” tambahnya lagi.
Pelatih Kabinet Persatuan Nasional
Setelah puas melakukan analisa pada puluhan pertandingan, tahapan “bersepakbola” selanjutnya dalam diri Gus Dur tentu hadir saat ia menjadi presiden. Bagaimana ia menggunakan berbagai filosofi sepak bola dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kepala negara. Memang, tugas seorang presiden sendiri ada kemiripannya dengan seorang pelatih. Misalnya saja dalam memilih “pemain” yang tepat untuk kabinetnya.
Di awal-awal tahun 2000-an, Gus Dur menunjukkan hal ini dengan kebijakan re-shuffle kabinetnya yang terkenal. Di awal masa kepemimpinannya, Gus Dur sendiri memang lebih memilih untuk menomorsatukan “kompromi” dan “balas budi” dalam memasang susunan awal kabinetnya. Bahkan, saking kuatnya tarik-ulur antara berbagai pihak, draft starting line-up Kabinet Persatuan Nasional pernah berganti hingga 11 kali.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur sendiri menunjukkan keinginan untuk menempatkan orang-orang kepercayaannya di lingkungan istana. Misalnya saja di lingkungan sekretariat negara. Ke dalam lembaga ini ia membawa lima nama yang memang dikenal dekat dengannya. Sementara itu, beberapa menteri seperti Laksamana Sukardi, Yusuf Kalla, Hamzah Has, Ali Rahman, atau Wiranto ia ganti dengan orang lain.
Dalam dunia sepak bola sendiri hal ini lumrah terjadi. Pelatih baru tentu akan mewarisi pemain lama dari klub. Namun, dengan visi dan filosofinya sang pelatih akan mencari pemain-pemain yang sesuai dengan diinginkannya. Pelatih yang menggunakan 4-2-3-1 tentu akan mencari dua orang gelandang untuk dobel pivot-nya, sementara si penganut 3-5-2 akan merekrut dua orang wingback.
Pun dengan meletakkan orang-orang kepercayaan dalam tim. Lihatlah bagaimana Jose Mourinho menggunakan Xabi Alonso sebagai penyambung lidahnya di lapangan. Pendeknya, apa-apa yang dilakukan Gus Dur ini sedikit banyak mirip dengan apa yang dilakukan pelatih pada timnya.
Berbalas Surat Dengan Romo Sindhunata
Seorang presiden yang menjawab kritikan melalui konfrensi pers akan terdengar biasa-biasa saja. Tapi seorang presiden yang membalas pertanyaan melalui tulisan di koran dengan nuansa sepakbola, tentu hanya Gus Dur seorang.
Ini lah yang terjadi saat dua orang pecinta sepakbola dengan pisau analisis yang tajamnya berbalas kata tentang taktik dan strategi politik seorang presiden. Khususnya tentang keputusan Gus Dur dalam menyusun kesebelasan kabinetnya.
Sindhunata sendiri sebenarnya dua kali mengirimkan surat terbuka untuk Gus Dur. Dalam kolomnya yang pertama (“Sepak Bola Ala Gus Dur”), Sindhunata menitipkan pesannya pada Gus Dur akan kabinetnya.
Bahwa Gus Dur bolehlah mengambil rumus dari Sepp Herberger, yaitu mencari “pemain” yang betul-betul bisa, sesuai dengan bidangnya. Jangan lagi mengulang kesalahan lama, yang memasang menteri bukan karena kebisaannya, tapi karena relasi, status, dan penjatahan kursi. Dan bahwa keberhasilan suatu tim ditentukan oleh tiga hal: kebisaan, kedekatan, dan keberuntungan.
Namun, di kolom keduanya “Catenaccio Politik Gus Dur” (16/12/2000), Sindhunata dengan lugas memberikan masukan pada Gus Dur.
Melihat tidak adanya “umpan terobosan” yang dilakukan Gus Dur dalam menyelesaikan permasalahan penegakkan demokrasi di Indonesia, Sindhunata berpendapat bahwa sistem bertahan (catenaccio) saja sulit untuk dikembangkan di Indonesia dalam perkembangan terakhir ini. Sindhunata juga berujar bahwa pemerintah dengan sadar haruslah menegakkan demokrasi secara menyeluruh, dan untuk itu sistem bertahan saja tidaklah cukup. Haruslah digunakan sistem menyerang.
Bisa jadi karena kritik yang disampaikan dengan bahasa sepak bola ini lah Gus Dur tergoda untuk memberikan jawaban secara langsung. Tanpa tedeng aling-aling, dan tetap menggunakan istilah-istilah sepak bola yang fasih ia gunakan. Mirip dengan seorang pelatih yang menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan dalam konfrensi pers seusai pertandingan.
Dalam kolomnya, Gus Dur mengatakan bahwa catenaccio hanya digunakan untuk menghadapi kasus Pansus (bulog) saja. Dan untuk keseluruhan perkembangan di Indonesia dibutuhkan tidak hanya satu strategi saja.
“Jadi, dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi catenaccio, sedang dalam hal lain strategi hit and run (ala Inggris). Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football dan siapa tahu kita juga memeragakan bola Samba kesebelasan Brasil,” tulisnya pada 18 Desember 2000 dalam kolom yang berjudul “Catenaccio Hanya Alat Belaka”.
Menanggapi surat Gus Dur ini, Sindhunata menuliskan (“Total Football Bersama Gus Dur”, terbit 20 Desember 2000) bahwa dari tulisannya jelas terlihat Gus Dur memiliki konsep untuk pemerintahannya, walau belum kurang mewujud menjadi nyata. Dan ini lah yang jadi pertanyaan lanjutan Sindhunata.
“Adakah Gus Dur mengalami seperti Cruyff? Ia ingin memainkan total football yang bertempo tinggi dan terbuka bagi pemerintahannya, tetapi “kesebelasannya” tak mampu memainkannya, karena pemainnya hanya dari kelas rata-rata,” tulis Sindhunata. Pertanyaan yang senada dengan apa yang telah ia sampaikan dalam surat pertamanya.
Sayangnya balasan kedua dari Gus Dur tak pernah datang. Enam bulan kemudian, para pemain Gus Dur perlahan memberontak dan tak mau lagi mengikuti strategi politiknya.
Dalam dunia sepak bola itu hanya berarti satu hal: pelatih yang kehilangan kendali di ruang ganti sudah tak mungkin memimpin tim lagi. Pada 23 Juli 2001, Gus Dur pun mengakhiri kariernya sebagai pelatih “Kabinet Persatuan Nasional”.
Selamat Ulang Tahun, Pak Dur.
SUMBER : panditfootball[dot]com