EkbisHeadlineLombok TengahLombok Timur

Jerit Petani Hadapi Tembakau Yang Tak Terbeli

Kondisi usaha pertembakauan di NTB per 7 Oktober 2019 ini sangat memprihatinkan. Data yang didapat Qolama menyebutkan, produksi tembakau di NTB mencapai 43. 670 Ton. Sementara 20 perusahaan yang mengais rejeki di NTB hanya mau membeli 28.499 ton. Artinya, butuh tangan besi pemerintah mengintervensi agar 15.171 Ton sisanya itu mau mereka beli dari petani dengan harga yang lebih manusiawi.


LOMBOK TENGAH, QOLAMA.COM | Malang nian nasib Amaq Har, Warga Desa Durian, Kecamatan Janapria, Kabupaten Lombok Tengah. Diawal musim tanam Mei 2019 lalu, ia dan isterinya memberanikan diri berhutang 150 juta rupiah di Bank. Uang itu dipakainya untuk modal menanam tembakau musim ini. Namun sial, hingga jelang akan berakhirnya musim tanam tembakau tahun ini, uang yang dipinjamnya itu baru kembali sekitar 52 juta rupiah.

Harga tembakau yang anjlok ditambah berkurangnya quota pembelian dari perusahaan, membuat Amaq Har dan Isterinya saat ini cukup khawatir bahwa sisa hutangnya di Bank akan menjadi beban keluarganya yang tak akan mampu ia bayar selamanya.

“Saya pasrah” Katanya pada Qolama.com

Kerugian yang sama juga dialami Mustafa, walau usaha tembakaunya tahun ini tak sebanyak tahun lalu, Mustafa telah memastikan dirinya bakal merugi.

“Tinggal itu sisa tembakau yang belum dibawa ke gudang, harganya paling sekitar 20 juta” Kata Mustafa sambil menunjuk ke teras rumahnya.

Mustafa mengaku, dirinya memang bukan termasuk anggota binaan dari PT Djarum sehingga ia tak bisa memaksakan tembakaunya diterima di PT yang gudangnya berlokasi di Desa Montong Gamang Kopang itu.

“Kalo tak diterima di Djarum, kemungkinan akan saya bawa ke PT. Sadana” Katanya

Mustafa bercerita, karena ia bukan termasuk anggota binaan, untuk menjual hasil pertaniannya ia hanya nitip di warga yang menjadi petani binaan.

“Ya begitulah ceritanya, kadang kalo tidak bisa dibawa ke gudang, kami terpaksa jual ke petani lain” Cerita Mustafa sembari menghitung-hitung kerugiannya sekitar 60 juta lebih.

Pemerhati petani tembakau Asal Jerowaru Lombok Timur Agus Alwan Wijaya mengatakan, persoalan petani tembakau setiap tahun selalu berulang. Mulai dari tidak teraturnya musim tanam, tidak ada kepastian harga hingga quota pembelian perusahaan yang tidak sebanding dengan kuantitas hasil produksi petani.

“Setiap tahun terus begitu, petani tembakau seperti dipermainkan” Katanya.

Padahal kata Alwan, kualitas hasil produksi petani khususnya Virginia sangat baik, bahkan High Grade Class, namun mekanisme pembinaan, sistem jual beli dan kebijakan yang tidak berpihak pada petani selalu menjadi masalah.

“Itu sebenarnya yang membuat perusahaan semau-maunya menghadapi petani, mereka tidak transparan soal jadwal tanam, harga jual petani hingga kuota pembelian sehingga produksi petani menumpuk dilapangan” keluh Alwan.

Lima Belas Ribu Ton Tembakau Petani Dipastikan Tak Terbeli

Dari data yang didapat Qolama.com, kondisi perusahaan pertembakauan di Nusa Tenggara Barat per 7 Oktober 2019 memang sangat memprihatinkan. Data itu menyebutkan, perkiraan produksi tembakau di seluruh NTB per 7 Oktober 2019 sebanyak 43. 670 Ton sementara dari keseluruhan perusahaan yang membuka usaha di NTB hanya mampu menampung sebanyak 28.499 ton tembakau. Artinya ada selisih produksi yang dipastikan tidak terbeli sebesar 15.171 Ton.

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTB H. Lalu Aksar Anshari Faishal mengomentari soal menyoal pertanian tembakau ini.

Dikatakannya, seharusnya pemerintah NTB dalam hal ini Gubernur berperan lebih kuat untuk mengontrol perusahaan dan melindungi hak para petani seperti yang dikeluhkan.

“Yang terjadi saat ini perusahaan memonopoli tata niaga tembakau dari hulu sampai hilir. Perusahan menguasai hampir keseluruhan proses, mulai proses produksi hingga penentuan harga pasar. Petani kita seperti hanya menjadi buruh ditanahnya sendiri, nyaris tidak mendapatkan manfaatnya secara maksimal” Ungkap Aksar.

Dikatakannya, memang dimasa Gubernur H. L. Serinata, kebijakan soal pertembakauan ini pernah diatur dalam Perbub Nomor 4 Tahun 2006 tentang Usaha Budidaya dan Kemitraan Perkebunan Tembakau Virginia di NTB. Namun selama 10 tahun kepemimimpinan TGB. Zainul Majedi dan setahun sudah kepempimpinan Zul – Rohmi, hal ini tidak dilaksanakan secara intensif.

Di pergub tersebut misalnya salah satunya di atur agar perusahaan melakukan kemitraan dengan saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab dan saling memperkuat dengan petani. Namun lagi-lagi, pengawalan dari pemerintah nihil.

Akhirnya kata Aksar, perusahan dan pertanian tembakau seperti siklus berantai yang tak putus-putus. Jikapun perusahaan mengajak sejumlah petani menjadi mitra, petani-petani tersebut tetap dalam posisi yang tidak menguntungkan.

“Kalo kita runut, perusahaan merekrut Petani Binaan, sementara petani binaan sendiri lagi-lagi membangun kerjasama dengan petani non binaan yang jumlahnya jauh lebih besar, sehingga terjadi over produksi yang mengakibatkan tembakau petani non binaan ini tidak terbeli dan kalaupun terbeli harganya sangat murah” Tambahnya.

Aksar menambahkan, berkaca ke petani-petani yang pernah berjaya di masa lalu ternyata mereka mampu membangun sistem di luar rantai dan siklus yang dibangun perusahaan. Mereka memposisikan dirinya memiliki daya tawar ke perusahaan sehingga perusahaan tidak sembarangan mempermainkan harga.

Aksar juga menyoroti Kebijakan Pemerintah soal pemanfaatan Bea Cukai tembakau yang tidak efisien padahal jelas diamanatkan Mahkamah Konstutusi bahwa cukai tembakau dikembalikan keuntungannya kepada petani.

Putusan MK tersebut juga kata Aksar diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 222 tahun 2017 soal Penggunaan DBHCT yang seharusnya jika dijalankan pemerintah akan meningkatkan daya tawar petani dengan lebih baik.

“DBHCT yang didapatkan NTB tahun 2019 lebih dari 295,6 milyar, Lombok Tengah 48,2 milyar dan Lombok Timur 54,37 milyar. Seharusnya dana itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah masing-masing kabupaten untuk secara maksimal meningkatkan kualitas produksi, pembinaan serta menciptakan sistem agar posisi tawar petani lebih baik,” Pungkasnya. [REDAKSI]

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button