Jika Punya Duit Saya Mau “Beli” Gili-Gili Di Sekotong
FATHUL RAHMAN
Baru-baru ini pemerintah provinsi menetapkan 99 desa wisata di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Termasuk di dalam desa wisata itu beberapa desa di wilayah Sekotong Lombok Barat. Pemerintah provinsi maunya berkolaborasi dengan kabupaten untuk mengembangkan desa wisata itu. Minimal keroyokan untuk intervensi ke desa wisata. Atau bisa juga kabupaten menambah jumlah desa wisata.
Beberapa desa wisata yang ditetapkan sudah lama dikenal sebagai destinasi wisata. Mulai dari kawasan pegunungan, destinasi baru yang diciptakan, hingga di pesisir. Selain di desa-desa Pulau Sumbawa, desa-desa wisata di Pulau Lombok pernah saya kunjungi.
Oleh pemerintah provinsi desa wisata dianggap salah satu resep untuk menurunkan angka kemiskinan. Desa-desa wisata yang ditetapkan ini masih lumayan tinggi angka kemiskinannya. Aktivitas kepariwisataan yang sudah berjalan selama ini belum mampu sepenuhnya menurunkan angka kemiskinan, sangat kecil kontribusinya. Pariwisata secara umum juga belum terlalu banyak pengaruh pada PDRB. Ini menjadi anomali di tengah klaim jutaan wisatawan yang datang piknik ke Lombok.
Desa wisata hajatannya, masyarakat setempat yang mengelola aktivitas kepariwisataan. Ramainya kunjungan berarti ada pemasukan ke desa itu dan membuka lapangan pekerjaan baru. Anak muda penangguran bisa terserap ke lapangan pekerjaan. Yang sudah bekerja bisa bertambah penghasilannya. Akhirnya ketika nantinya Badan Pusat Statistik (BPS) turun melakukan pendataan, angka kemiskinan bisa berkurang.
Berbicara desa wisata berbicara pemberdayaan masyarakat di desa itu. Bicara desa wisata maka kita tak berbicara tentang Moto GP atau KEK Mandalika. Itu sudah ada bagian yang mengurusnya. Bicara desa wisata kita bicara tentang penguatan kapasitas masyarakat desa yang akan mengelola kepariwisataan di desa itu. Mereka adalah tuan di desa mereka sendiri.
Sayangnya agak mengecewakan ketika berbicara desa wisata di satu sisi dan pada saat yang sama pemerintah provinsi “melego” asetnya. Beberapa waktu lalu saya membaca pengumuman di koran lokal pemerintah provinsi mencari investor yang tertarik mengelola GILI TANGKONG. Gili TANGKONG di Sekotong ini berada antara Gili Nanggu dan Gili Sudak. Luasnya 7 hektar lebih. Gili ini memang kalah tenar dibandingkan dua tetangganya itu.
Ini bukan pertama kali pemerintah provinsi melepas asetnya. Menyerahkan ke investor. Sebelumnya Gili Tangkong pernah diberikan ke investor. Prestasi investor itu adalah memasang gambar rencana penginapan yang eksotis dan membangun berugak. Itu saja.
Kali ini pemerintah provinsi berharap investor yang akan mengelola lebih bonafit dan tak sekedar membangun berugak dan memasang gambar rencana pembangunan.
Pemerintah provinsi tidak belajar dari kesalahan masa lalu mereka : melepas lahan di Gili Trawangan. Di Gili Trawangan pemerintah provinsi memiliki 65 hektar lahan. Diserahkan ke PT GTI. Alhamdulillah, kontribusi per tahun Rp 30 juta.
Saya belum tahu berapa kontribusi yang sudah dibayarkan oleh investor sebelumnya di Gili Tangkong. Saya juga belum tahu berapa kontribusi yang harus dibayarkan investor yang akan mengelola Gili Tangkong.
Menyerahkan penguasaan lahan pada investor adalah salah satu resep paling mudah. Tidak perlu pusing memikirkan konsep pengembangan. Tidak perlu pusing memikirkan dana. Tidak perlu repot membina masyarakat di desa sekitar. Duduk duduk manjah sudah dapat duit.
**
Belajar dari Gili Kedis, tetangga Tangkong juga, kini wisatawan yang datang harus membayar tiket. Alasannya untuk kebersihan. Begitu juga di Gili Nanggu. Tiket ini mulai berlaku ketika semakin ramainya kunjungan wisatawan ke gili-gili di Sekotong. Sebelumnya bebas. Ketika ramai, masyarakat setempat melirik ini sebagai peluang.
Pemanfaatan duit dari tiket itu mungkin benar untuk kebersihan dan selebihnya saya nggak tahu. Saya nggak terlalu banyak bertanya. Yang penting ketika liburan gili itu tetap bersih. Saya berpikir positif saja, masyarakat yang mengelola mendapatkan pemasukan.
Masyarakat sebenarnya merasakan manfaat dari kedatangan wisatawan. Banyak orang datang artinya banyak duit. Tapi ya itu tadi. Jika duit itu tak dikelola dengan baik, bisa menjadi masalah di kemudian hari. Bisa menjadi ladang konflik baru, perebutan antar-kelompok untuk mengelola. Korbannya para wisatawan. Makin banyak yang mereka bayar dan itu sudah mulai terjadi. Masuk Gili Kedis bayar. Masuk Gili Nanggu bayar lagi.
Kenapa tidak, misalnya satu saja bayarannya. Walaupun naik perahu dari beberapa pintu, bayarannya satu. Nanti digabung pemasukan dari pintu-pintu penyeberangan itu.
Ini memang merepotkan. Mengelola orang. Banyak kemauan. Banyak pikiran berbeda. Dan pemerintah provinsi sepertinya tidak mau repot. Pemerintah kabupaten juga ogah-ogahan. Menyiapkan SDM butuh kesabaran dan tentu saja butuh anggaran. Tapi jika berjalan, hajatan desa wisata untuk mengurangi angka kemiskinan di desa itu bisa terwujud.
Latih dan berikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola Gili Tangkong. Pemerintah harus mau berpikir lebih keras, sedikit saja, untuk menyusun konsep jika Gili itu dikelola masyarakat. Atau serahkan ke BUMD bekerja sama dengan BUMDES. Konsepnya juga tak perlu membangun hotel mewah di pulau kecil ini. Ini bisa jadi masalah baru. Seperti di Gili Trawangan Air Meno yang sudah berjubel bangunan.
Belajar dari kesalahan mengelola Gili Trawangan, memercayakan sepenuhnya pada investor sepenuhnya tak baik. Ini juga menjadi sinyal bahwa sebenarnya pemerintah ragu untuk memberikan kepercayaan kepada rakyatnya. Pemerintah ragu dengan konsep desa wisata yang mereka kembangkan sendiri.
Akhirnya, membuat pengumuman lelang untuk mencari siapa bos baru di Gili Tangkong adalah pekerjaan yang paling gampang. Ongkang-ongkang kaki ingin dapat duit.
Lalu masyarakat setempat cukup dibayangkan akan mendapat “tetesan ke bawah”.
Selamat liburan. Mar piknik biar tidak panik.
Fathul Rakhman
Warga Desa Bajur, Lombok Barat.