Iqro'KolomSejarah IslamTokoh

Kisah Wahsyi: Pelempar Tombak dari Ethiopia

“Sungguh dengan tombak itu aku telah membunuh sebaik-baiknya manusia. Dan aku berharap, semoga Allah mengampuniku, karena dengan tombak itu pula aku telah membunuh seburuk-buruknya manusia.” – Wahsyi bin Harb al-Habsy

Siapa yang tidak tahu Hamzah bin ‘Abdul Muthallib yang berjuluk Asaadullah alias “Singa Allah”? Dia adalah paman Nabi, putra Abdul Muthallib penjaga Ka’bah. Keperkasaannya di medan perang membuat ciut nyali lawan-lawannya. Ketangkasan dan kelihaiannya saat menarikan pedang dan menebas musuh-musuh sangat diakui sehingga ia mendapat julukannya, Singa Allah.

Namun, di Perang Uhud, Hamzah akhirnya gugur setelah seseorang secara diam-diam berhasil melemparkan tombak yang kemudian menancap di tubuh kekarnya. Seseorang yang telah melemparkan tombak itu bernama Wahsyi, Wahsyi bin Harb al-Habsyi.

Wahsyi adalah seorang budak berkulit hitam. Ia mahir sekali memainkan tombak, sebuah senjata tajam terbuat dari besi semacam ujung lembing. Ini karena ia berasal dari Habasyah (Ethiopia) yang terkenal dengan kemahiran membuat dan memainkan senjata tersebut.

Wahsyi termasuk dari salah satu sahabat Nabi SAW, meski beliau enggan bertemu dengannya. Ia hidup sampai masa kekhalifahan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan RA. Dulu, ia merupakan budak milik Jubair bin Muth’im, salah seorang pembesar Quraisy yang menjanjikan kemerdekaan baginya bila ia berhasil membunuh Hamzah. Saat Perang Uhud, ia berhasil membunuh Hamzah. Lalu, ia pun mendapatkan kebebasannya.

Setelah masuk Islam, sekali saja ia bertemu dengan Nabi SAW. Sayangnya, Nabi SAW menyuruhnya untuk menjauhkan diri dari beliau. Hingga Rasulullah SAW wafat, Wahsyi tak pernah bertemu dengan Nabi SAW, meski ia ingin berjumpa dengan beliau layaknya sahabat-sahabat yang lain.

Suatu hari, Ja’far bin ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamriy dan ‘Ubaidullah bin ‘Adiy bin al-Khiyaar melakukan perjalanan ke Syam. Sesampainya di sebuah daerah bernama Himsh, ‘Ubaidullah berkata pada Ja’far, “Bagaimana menurutmu bila kita menemui Wahsyi dan bertanya padanya tentang terbunuhnya Hamzah?”

“Baiklah,” jawab Ja’far.

Diketahui bahwa Wahsyi tinggal di Himsh. Ja’far dan ‘Ubaidullah kemudian mencari tahu tentangnya. Ditunjukkanlah pada mereka bahwa Wahsyi sedang berada di bawah bayang-bayang rumahnya, seakan-akan dia adalah orang yang berkulit hitam. Mereka lalu mendatangi tempat tersebut.

Setelah tiba di rumah yang ditunjuk, Ja’far dan ‘Ubaidullah bertemu dengan seorang lelaki yang berkulit hitam legam yang tak lain dan tak bukan adalah Wahsyi bin Harb al-Habsyi. Mereka lalu mengucapkan salam dan Wahsyi membalasnya. Saat itu, ‘Ubaidullah melipat penutup kepalanya, sehingga lelaki berkulit gelap itu tidak dapat melihatnya kecuali kedua mata ‘Ubaidullah dan kedua kakinya.

‘Ubaidullah bertanya, “Wahai Wahsyi, apakah kau mengenaliku?”

Wahsyi diam sejenak sambil memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya. Ia lalu berkata, “Demi Allah, tidak! Aku tidak mengenalimu, kecuali aku tahu bahwa ‘Adiy bin al-Khiyaar menikah dengan seorang perempuan yang disebut dengan Ummu Qitaal, putri Abul ‘Ish.

Dari wanita tersebut ia mempunyai seorang anak di Mekkah. Maka aku mencarikan seseorang yang akan menyusuinya. Saat aku menyerahkan anak kecil itu kepada ibunya yang sedang berada di atas unta, aku melihat kakinya, seakan-akan aku melihat hal yang sama, jika aku melihat kedua kakimu.”

‘Ubaidullah kemudian menyingkapkan wajahnya.

“Maukah kauceritakan kepada kami tentang terbunuhnya Hamzah?” Ia bertanya.

Lelaki bertubuh kekar itu lantas terdiam. Sejenak ia menerawang kejadian beberapa tahun silam, tepatnya saat ia berada di gunung Uhud, saat peperangan sedang berkecamuk, saat ia mendengar suara dentingan pedang-pedang yang saling beradu dan desisan suara anak panah yang melesat cepat, saat pasukan muslim terdesak dan pasukan kaum musyrik Mekkah mengambil alih jalannya peperangan.

“Baiklah.” Wahsyi menjawab. “Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adiy bin al-Khiyaar saat Perang Badar. Kemudian, tuanku, Jubair bin Muth’im berkata padaku, ‘Jika kau membunuh Hamzah atas kematian pamanku, maka kamu akan bebas!’.

Lantas, ketika orang-orang Mekkah pergi berperang ke ‘Ainaini –sebuah gunung kecil di bawah Uhud yang terpisah dengan bukit-, aku pun ikut pergi bersama mereka untuk berperang juga.

Saat peperangan sudah dimulai, aku melihat Hamzah bagaikan unta berkulit hitam putih yang mengamuk merontokkan segala yang ditemuinya. Dengan bersembunyi di balik batu, aku membidik Hamzah, tetapi muncul Siba’ bin ‘Abdil ‘Uzza.

‘Adakah yang ingin berduel?’, ujarnya menantang.

Hamzah bin ‘Abdul Muthallib lantas maju menerima tantangannya.

‘Wahai Siba’ Wahai Ibnu Ummi Anmar! Apakah kau akan menantang Allah dan rasul-Nya?’, koarnya.

Tanpa menunggu jawaban, Hamzah bergerak dan berkelebat. Rupa-rupanya ia telah memotong kepala Siba’. Saat itulah kuambil senjataku, kubidik Hamzah dan kulempar tepat mengenai bawah perutnya yang mengakibatkan ususnya keluar. Namun, Hamzah masih tetap berusaha mendekat, tetapi ia tak mampu dan ia wafat di sana.

Ketika orang-orang kembali pulang, aku pun kembali bersama mereka. Aku tinggal di Mekkah sampai Islam tersebar di sana.

Aku lalu keluar menuju Thaif, ketika penduduk Thaif mengutus beberapa utusan kepada Rasulullah SAW, maka salah seorang utusan berkata padaku, ‘Beliau tidak akan menyakiti utusan’.

Aku pun pergi bersama mereka sampai aku menemui Rasulullah SAW dan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapannya.

‘Apakah engkau Wahsyi?’ Rasulullah bertanya.

‘Benar,’ jawabku.

‘Apakah kamu yang telah membunuh Hamzah?’

‘Perkara itu sebagaimana yang telah sampai kepada anda,’ jawabku.

‘Dapatkah kamu menjauhkan wajahmu dariku?’ Rasulullah berkata kemudian.

Aku pun pergi dari hadapan beliau. Sejak itu, aku takut bila Rasulullah melihatku lagi.”

Mata Wahsyi berkaca-kaca. Ia menghela nafasnya sejenak.

“Ketika Rasulullah meninggal, muncullah Musailamah al-Kadzdzaab. Aku ingin pergi memeranginya dan berharap bisa membunuhnya demi menebus kematian Hamzah.

Maka aku keluar bersama orang-orang yang akan memerangi Musailamah. Saat perang berkecamuk, kulihat seorang laki-laki berdiri di salah satu retakan dinding bagikan unta abu-abu yang berambut kusut. Lalu kulemparkan tombakku hingga tepat mengenai dadanya sampai tembus ke bahunya.”

Mata Wahsyi masih berkaca-kaca. Ia mengingat-ingat kejadian itu. Saat itu, Sayyiduna Abu Bakar RA mengirim pasukan ke Yamamah untuk menumpas nabi palsu Musailamah al-Kadzdzaab. Wahsyi ikut serta dalam pasukan tersebut dengan membawa tombak yang dahulu ia pergunakan membunuh Hamzah.

Dalam keikutsertaannya kali ini, tekadnya bulat untuk menebus kesalahan di masa lalu. Sambil bertempur ia terus bergerak mendekati posisi Musailamah. Pada suatu kesempatan, ia melihat nabi palsu itu berdiri dengan pedang terhunus. Maka kemudian ia mengambil ancang-ancang lantas melemparkan tombaknya dengan teknik Habasyah yang ia kuasai. Tombak itu melesat cepat dan menancap kuat mengenai tubuh Musailamah hingga ia jatuh tersungkur hingga tewas.

Wahsyi lantas memandang dua lelaki yang ada di hadapannya. Ia kemudian menghela nafasnya lebih panjang.

“Sungguh dengan tombak itu aku telah membunuh sebaik-baiknya manusia. Dan aku berharap, semoga Allah mengampuniku, karena dengan tombak itu pula aku telah membunuh seburuk-buruknya manusia.”.[]

Artikel ini sebelumnya dimuat di majalahnabawi.com

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Cek juga
Close
Back to top button