HeadlineIqro'KolomPolitik

Kritik Film Jejak Khilafah di Nusantara: Propaganda atau Sejarah?

Mundurnya kedua sejarawan ini tentu menurunkan derajat film ini. Pertanyaan sederhananya, jika memang ini film sejarah, mengapa para sejarawan justru memilih mundur?

Oleh: Ismail Prabu, penikmat film

Film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN) akhirnya dirilis Khilafah Channel pada Rabu 20 Agustus 2020. Meski awalnya panitia mengklaim film ini harus diakses melalui tiket, panitia akhirnya memutar film ini di Youtube.

Setelah menonton film ini, ada sejumlah catatan dalam film ini yang patut dikritisi dalam JKDN. Pertama-tama adalah kredibilitas film. Alih-alih mengklaim ingin menunjukkan fakta sejarah, sejarawan seperti Peter Carey dan Alwi Alatas jutsru memilih mundur karena terjadi rekayasa maksud dan tujuan film. Peter Carey adalah sejarawan yang malang melintang meneliti sejarah Indonesia bahkan jauh sebelum Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia.

Peter protes. Ia merasa panitia tak pernah meminta izin, mekanisme standar yang semestinya tak perlu diingatkan lagi oleh penyelenggara acara apa pun. “Itu tidak bisa diterima. Itu murni pencatutan nama untuk penerbitan salah satu film yang belum diputarkan kepada saya, belum diberitahu kepada saya lebih dulu,” kata Peter. Pencatutan ini akhirnya membuat Ismail Yusanto selaku jubir meminta maaf.

Sementara Alwi Alatas terkenal sebagawai sejarawan Muslim yang merupakan pengajar di Internasional Islamic University of Malaysia (IIUM) yang telah menulis banyak buku dan artikel sejarah Islam dari era Daulah Andalusia hingga Daulah Utsmaniyah.

Mundurnya kedua sejarawan ini tentu menurunkan derajat film ini. Pertanyaan sederhananya, jika memang ini film sejarah, mengapa para sejarawan justru memilih mundur? Bahkan Alwi Alatas adalah sejarawan Muslim yang sangat perhatian terhadap isu dan napak tilas sejarah Islam. Namun dalam kasus JKDN, Alwi Alatas berujar melalui laman Facebooknya:

“Kalau film itu diproduksi dan dikeluarkan untuk memberikan penjelasan sejarah, Alhamdulillah, memang itu yang saya maksudkan. Namun sekiranya wawancara saya dan film tersebut digunakan untuk menyebarluaskan ide atau gerakan khilafah kalangan tertentu, maka itu di luar pengetahuan saya, tidak mewakili pandangan pribadi saya dan tidak pula saya restui.”

Tak ada rotan akar pun jadi. HTI akhirnya “menyulap” kader-kadernya sebagai ”sejarawan” untuk melegitimasi gagasan-gagasannya seperti Nicko Pandawa (kader HTI), Septian AW (kader HTI), Hafidz Abdurrahman (Ketua DPP HTI). Bahkan sebelum memutar film, Ketua DPP HTI Rokhmat Labib sudah lebih dahulu memberikan wejangan.

Dan menariknya Nicko Pandawa yang disebut script writer dalam JKDN, “ikut menjadi narsumber” melalui nama komunitas literasi Islam. Sebuah hal yang aneh dalam sebuah film dokumenter, adanya satu orang yang sama memakai identitas berbeda dalam satu film. Saya sendiri belum melihat Dandhy Laksono menjadi narasumber dalam film-film dokumenter yang diproduksi Wacthdoc.

Saya juga tidak melihat Karim Amer dan Jehane Noujaim menjadi narasumber utama di film dokumenter yang dibesutnya The Great Hacker.

Kredibilitas JKDN sendiri juga dipertanyakan saat melansir tayangan-tayangan visual yang bukan dari kontennya saat menjelaskan soal Andalusia dan Ustamniyah. Pertanyaannya, apakah pembuat film pergi sendiri menggarap ke Andalusia? Jika tidak darimana mereka dapatkan?

Untuk tayangan seperti Metro File saja, produser sangat jujur jika data-data itu bukan miliknya. Mereka selalu mencantumkan sumber seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) jika itu berasal dari arsip-arsip yang bukan miliknya. Ini etika mendasar dalam produksi film dokumenter dan jurnalistik secara umum.

Hal ini wajar terjadi karena kader HTI tidak banyak memiliki pengalaman untuk terjun di media-media arus utama untuk menulis laporan-laporan yang kredibel. Mereka hanya memiliki kanal media komunitas seperti tabloid Media Umat dan Al-Waie, yang lebih menonjolkan doktrin, propaganda, dan agitasi pemikiran2 HTI daripada konten jurnalistik.

Kritik selanjutnya adalah Film JKDN gagal menghasilkan narasumber-narasumber yang spesifik mengkaji mengenai dalam konteks kesultanan lokal.

Ketika berbicara mengenai Sriwijaya, Maluku, Makassar, seharusnya JKDN menampilkan narasumber-narasumber lokal atau mereka yang melakukan riset disertasi mengenai kerajaan Islam itu agar bukti-bukti terpampang secara valid. Dari sini, para pemerhati film atau pencinta sejarah, film ini masih jauh dari kredibilitas dalam konteks sejarah. JKDN hanya melakukan itu dalam konteks hubungan Aceh dan Daulah Utsmaniyah yang memang sudah terlalu umumdan jamak diketahui publik.

Walhasil, kita sendiri bisa menilai bagaimana film ini. Bagi kader-kader HTI, sulapan ini akan disambut dengan hiruk pikuk dan dianggap bersejarah. Tapi bagi pemerhati film dan memahami bagaimana pembuatan film apalagi film sejarah, JKDN banyak meninggalkan ruang untuk dikritik, bahkan untuk dipercayai.[]

RUBRIK IQRO’ | Anda dapat ikut mengisi rubrik ini dengan mengirimkan Tulisan berupa Gagasan, Opini dengan tema apapun. Redaksi akan memuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan Nurani dan Akal Sehat. Kirim Tulisan anda beserta foto ke Email : Qolamacreative@gmail.com

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Cek juga
Close
Back to top button