Membaca buku ini membuat saya memeriksa ulang cara berpikir saya selama ini. Dengan mengetahui cara berpikir, setidaknya kita bakal tahu cara atau model yang paling tepat memahami cara berfikir diri kita dan orang lain.
Yusuf Tantowi (Kolomnis dan Penggerak Gusdurian)
Mengetahui cara atau model berpikir orang lain menurut saya sangat penting. Lebih-lebih kepada teman atau lawan bicara kita. Dengan mengetahui cara berpikir lawan bicara diharapkan pembicaraan akan jadi nyambung dan komunikatif. Kalau tidak paham, baru berbicara sedikit sudah saling berlawanan.
Kalau kedua belah pihak kukuh dengan pandangan dan cara berpikirnya sendiri, tentu tidak mudah mencari titik temu pembicaraan. Bisa-bisa pembicaraan akan berhenti sampai disitu. Maka mengetahui cara atau model berpikir orang lain menurut saya bagian dari kemampuan komunikasi yang perlu kita ketahui dan pelajari.
Saya beruntung membaca buku, “How To Be A Brilian Thinker” yang ditulis oleh Paul Sloane, seorang penulis kelahiran Amerika yang sudah menulis 17 buku. Ia juga dikenal sebagai ahli berpikir lateral-pararel, berpikir analitis, solutif dan memenangkan argumen. Paul juga sangat menganjurkan cara berpikir berbeda untuk menemukan berbagai solusi dari masalah yang kita hadapi.
Dari berbagai penjelasan cara berpikir dan contohnya yang diuraikan dalam buku ini, saya sangat suka pembahasan mengenai cara atau model berpikir divergen dan konvergen. Menemukan dua penjelasan cara berpikir ini membuat saya mengingat-ngingat cara berpikir saya selama ini. Termasuk juga mengingat kembali cara berpikir orang, teman atau sahabat yang pernah saya temui.
Saya seolah menemukan teropong atau kacamata baru dalam melihat cara berpikir saya sendiri dan cara berpikir orang yang pernah saya temui. Kita tahu dari cara atau model berpikir orang dari pembicaraan atau hasil diskusi dengan mereka. Bukan kah materi pembicaraan itu hasil (produk) dari cara berpikir. Hasil dari berpikir akan menjadi tindakan (action) dari setiap orang. Tindakan (action) akan menjadi citra diri (merk) yang melekat pada diri kita.
Cara berpikir divergen menurut Paul Sloane, cara berpikir bebas, imajinatif, eksploratif dan suka mencoba atau mengeksplorasi hal-hal baru. Karena karakter berpikirnya bebas, imajinatif dan suka bereksplorasi, bisa melahirkan berbagai macam ide atau gagasan secara lebih luas, lebar dan liar. Model berpikir orang seperti ini tidak suka dibatasi dalam satu sudut pandang saja tapi bagaimana imajinasi menghasilkan berbagai kemungkinan baru.
Cara berpikir konvergen justru sebaliknya, cara berpikir umum yang banyak dipakai oleh orang. Cirinya, ketika mendengar sebuah informasi atau masukan, naluri kita langsung memerintahkan untuk menelaah, menganalisis bahkan mengkritik ide atau gagasan yang disampaikan oleh orang lain. Cara berpikir seperti ini cendrung kritis dan menolak berbagai informasi, ide atau gagasan yang berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang ia ketahui dan yakini selama ini.
Cendrung hati-hati mencoba hal-hal baru yang datang dari luar yang ia anggap bertentangan dengan pengetahuan, asumsi, kebiasaan dan keyakinannya. Pengetahuan atau asumsi yang ia pegang dianggap sudah valid, mapan dan sulit untuk revisi. Padahal situasi dan kondisi terus mengalami perubahan – bahkan pada hal tertentu perubahan itu sangat cepat. Di situlah salah satu kelemahan cara berpikir ini.
Cara – cara berpikir diatas tentu saja akan tergambar dari kata-kata, tulisan, pembicaraan, ide, gagasan atau tindakannya dari orang bersangkutan. Kita juga bisa memeriksa dan menilai cara berpikir kita sendiri. Kecendrungan cara berpikir yang mana yang lahir atau muncul pada diri kita. Apakah kita kritis atau imajinatif setiap menerima informasi, pandangan, pendapat yang datang kepada kita.
Pembagian dua cara berpikir diatas menurut saya sangat penting dipahami oleh ketua kelompok atau pemimpin. Dengan tool berpikir itu ia bisa menilai cara berpikir anggota kelompok atau anak buahnya. Dengan itu juga ia bisa bersikap dan memutuskan berbagai ide atau usul dari anggota atau anak buahnya. Kalau ketua kelompok tidak paham model berpikir itu ia akan bingung dan ragu membuat keputusan dari berbagai pikiran yang muncul dalam kelompok.
Dua model berpikir itu juga penting dipahami atau kuasai oleh seorang fasilitator diskusi yang di dalamnya banyak orang. Biasanya setiap diskusi sering dilakukan curah pendapat (braimstorming) untuk mendengarkan pendapat anggota. Semua orang dianggap narasumber. Dan setiap orang punya isi kepala dan cara berpikir sendiri. Kalau seorang fasilitor tidak paham, bisa dianggap tidak mampu memfasilitasi jalannya diskusi.
Saya yang sering bertemu dengan banyak orang baru atau teman lama, termasuk sering terlibat dalam berbagai diskusi, seminar dan fokus group discution (FGD) merasa sangat terbantu dengan uraian isi buku ini. Penulis buku ini sangat tepat membantu kita membedah dan mengurai cara berpikir yang mana saat ini kita setiap hari harus berhubungan dengan berbagai macam orang untuk hubungan pekerjaan, bisnis atau relationship.
Sekali lagi saya merasa sangat beruntung membaca dan menemukan buku ini. Membaca buku ini membuat saya memeriksa ulang cara dan model berpikir saya selama ini dan bagaimana membentuk cara berpikir kedepan. Apakah cara berpikir saya selama ini sudah tepat atau belum? Dengan mengetahui cara berpikir ini setidaknya kita tahu model seperti apa orang yang kita hadapi. Itu lah manfaat langsung membaca buku ini. Untuk itu saya menyarankan teman-teman harus membaca buku ini. []