FeaturesHeadlineIqro'QolamunaTokoh

Menjual Nasab Adalah Pecundang! (2)

Saya pernah katakan pada anak saya: orang sukses adalah yang berhasil diterima orang karena prestasinya, bukan diterima orang karena nasabnya. Kalau kamu membawa nasab agar dihargai orang, itu seolah kamu berkata, “maaf, Buya, saya takut tidak laku kalau tidak mengaku keturunan Walisongo”.

Maaf, nak, aku tidak akan pernah memaafkanmu! Jangankan mengaku keturunan Walisongo agar dihormati orang, andai sekali saja kamu menjual namaku agar dihargai oleh santri-santriku, maka bagiku kau hanyalah seorang pelacur nasab!

KH. Ali Badri Mashuri

Ketiga, sejak awal saya hanya memperjuangkan nasab Walisongo ke Bawah. Penelitian saya yang memakan banyak waktu dan tenaga hanya untuk memastikan keabsahan nasab keturunan Walisongo hingga Walisongo atau Syekh Jumadil Kubro saja, karena nasab dari Walisongo ke atas sudah ada dalam cacatan buku nasab RA.

Saya keliling Indonesia, Malaysia, Thailand, Philiphina dan Saudi untuk mencari data keturunan Syekh Jumadil Kubro. Enam tahun saya fokus pada perjuangan ini dan meninggalkan kegiatan lain, hingga sayapun jatuh miskin karena tidak sempat mencari nafkah. Padahal sebelum itu (2005-2006), saya adalah penceramah terkenal di Cirebon dan hidup berkecukupan.

Saya bersyukur karena istri saya bersabar dengan keadaan ekonomi seperti itu, ditambah lagi dia juga mendapat cacian dari keluarga jauhnya; istri saya disebut syarifah b*d*h karena mau menikah dengan saya, bahkan ada yang mengira bahwa istri saya itu mau menikah dengan saya karena saya kaya raya. Padahal sejak dulu sampai sekarang saya hanya kaya hati saja (hehe).

Nah, ketika beberapa tahun terakhir ini ditemukan data nasab Walisongo versi selain Azmatkhan Baalawi, keluarga Walisongo mulai “terpecah”, ada yang bertahan dengan Azmatkhan dan ada yang memilih versi lain. Sejak awal mencuatnya versi selain Azmatkhan itu, saya hampir tidak pernah mengajukan pendapat, kecuali hanya menyarankan agar diteliti dengan ketat.

Sejak saat itu di kalangan keluarga Walisongo sendiri mulai ada ‘keributan” di medsos, sayapun mengintruksikan agar anggota resmi lembaga saya yang masih menggunakan versi Azmatkhan supaya tidak terlibat dalam perdebatan di medsos, merekapun mendengarkan intruksi saya.

Namun rupanya yang di medsos itu lebih banyak yang bukan anggota lembaga saya, sehingga keluarga Walisongo banyak yang ribut di medsos mendebatkan versi Azmatkhan dan selain Azmatkhan, bahkan sampai keluar ucapan kotor, saya sampai curiga ada pihak yang sengaja mengadu domba keluarga Walisongo.

Hal ini membuat saya semakin menutup rapat publikasi lembaga saya yang memang telah saya vakumkan sejak tahun 2011. Awalnya saya vakumkan karena banyak masalah. Saya tidak bisa mengendalikan sebagian anggota yang suka melanggar visi-misi lembaga, misalnya ada yang mengaku ahli kasyaf, ada yang ingin dipanggil habib, bahkan ada yang mau memanfaatkan lembaga untuk politik dan lain-lain. Sejak vakum itulah kemudian muncul perhimpunan-perhimpunan baru dan saya tidak terlibat dengan yang baru-baru itu.

Seperti yang saya katakan tadi, dari awal saya hanya fokus pada penelitian keturunan Walisongo. Saya tidak pernah meneliti nasab Walisongo ke atas karena sudah jelas tercatat di RA. Saya merasa cukup percaya pada RA. Nah, kalau kemudian dikatakan bahwa nasab Walisongo ada banyak versi dan belum bisa disahkan, maka saya sama sekali tidak keberatan, karena selama ini saya memang bergantung pada RA.

Hanya saja, yang harus dipahami oleh masyarakat Indonesia adalah, bahwa nasab keturunan Walisongo yang sudah terdata itu status keabsahannya lebih kuat daripada nasab Walisongo ke atas. Dengan kata lain, saya tidak terlalu keberatan kalau nasab Walisongo ke atas dibilang meragukan, namun kalau Walisongo dibilang tidak punya keturunan yang bisa disahkan nasabnya dari garis laki-laki, maka hadapi saya dengan bertaruh! Saya sudah kapok kalau hanya berdebat tanpa ada yang dipertaruhkan!

Keempat, akhir-akhir ini ramai juga orang membicarakan soal DNA. Saya sendiri baru paham kronologi DNA ini. Katanya, berawal dari penelitian genetika dari berbagai ras dan bangsa sedunia, kemudian dari hampir 1.000 asyraf di negara-negara Arab yang telah tes DNA ditemukanlah kesamaan kode yang kemudian itu disepakati sebagai kode alawiyyin (keturunan Sayyidina Ali), bahkan ada kode yang hanya dimiliki Hasaniyyin dan ada kode yang hanya dimiliki oleh Husainiyyin.

Sejak awal saya tidak paham bagaimana proses DNA itu, sehingga saya tidak mendukung tes DNA sebagai bukti validitas catatan nasab. Saya pun dianggap kolot serta tidak mau mengikuti perkembangan sains dan teknologi, hingga akhirnya saya melakukan tes DNA, tapi dengan catatan, hasil tes DNA saya harus dibaca dan disimpulkan oleh pakar-pakar DNA terkenal. Tidak cukup oleh pemula di bidang DNA.

Kini hasil tes DNA saya sedang dibuat laporannya untuk diajukan pada para pakar DNA, nanti mereka juga bisa mengecek langsung data DNA saya di laboratorium perusahaan Familytree, sebuah rumah sakit di Texas Amerika yang –katanya– paling terpercaya dalam hal DNA.

Apapun hasilnya tes DNA saya nanti, saya tidak menyarankan siapapun untuk tes DNA kalau hanya untuk memastikan nasab ke Bani Hasyim. Kalau merasa keturunan orang mulia cukup teladani ketaqwaan dan akhlaq leluhur, jangan bikin malu leluhur, jangan jual nama leluhur! Sportiflah didalam berusaha.

Saya pernah katakan pada anak saya: orang sukses adalah yang berhasil diterima orang karena prestasinya, bukan diterima orang karena nasabnya. Kalau kamu membawa nasab agar dihargai orang, itu seolah kamu berkata, “maaf, Buya, saya takut tidak laku kalau tidak mengaku keturunan Walisongo”.

Maaf, nak, aku tidak akan pernah memaafkanmu! Jangankan mengaku keturunan Walisongo agar dihormati orang, andai sekali saja kamu menjual namaku agar dihargai oleh santri-santriku, maka bagiku kau hanyalah seorang pelacur nasab!

Kelima, apapun status nasab Walisongo tidak akan merubah pendirian saya dan keluarga lain yang sepaham dengan saya, bahwa kami hanya berhimpun untuk suatu kewajiban agama, yaitu silaturrahim, bukan untuk menunjukkan nasab ke publik. Kalaupun Walisongo dianggap ahlulbait.

Kami tidak akan pernah merubah tradisi leluhur apalagi merubah gaya, kami tetap Kiai fulan, Ajengan fulan, Gus fulan, Lora fulan, Raden fulan, Tubagus fulan, Mas fulan, Kang fulan, Pak fulan, Cak fulan, Nyai fulan, Ning fulan, Bu fulan, Mbak fulan, Yuk fulan dan sebagainya.

Kami tidak akan mengubah menjadi Sayyid fulan, Syarif fulan apalagi Habib fulan! Anak-anak kami termasuk yang perempuan tetap akan menikah dengan pribumi, dan kami tetap berpandangan bahwa siapapun yang menjual nasabnya adalah pecundang!

Kalau tidak alim duduk di bawah, belajar atau berkhidmah. Anak kandung saya pun akan saya suruh tinggal di luar pesantren kalau tidak alim. Jangan pimpin majlis apalagi pesantren! Dan catat, yang tidak mempertahankan ajaran dan tradisi seperti ini berarti bukan kelompok Ali Badri!

Dan kalau misalnya semua orang di muka bumi ini sepakat bahwa Walisongo bukan ahlulbait, sedikit pun kami tidak merasa rugi karena itu, sebab kami tidak pernah menjadikan nasab sebagai modal agar dihormati dan diikuti orang; kami tidak pernah menjual nasab!

Saya sadar bahwa semua orang di kampung saya menghormati saya karena saya adalah anak ayah saya, kalau bukan karena saya anak kiai, niscaya mereka tidak akan memanggil saya “Gus” atau “Kiai”. Mereka tidak akan mengundang saya untuk berceramah, memimpin doa dan sebagainya, karena dalam tradisi masyarakat pesantren Jawa-Madura itu, yang di-kiai-kan hanyalah anak kiai saja. Kalau bukan anak Kiyai walaupun alim hanya akan dipanggil ustadz.

Itulah sebabnya saya sejak muda keluar dan baru pulang kampung setelah umur 38 tahun, selain untuk mencari ilmu dan pengalaman, saya juga mau membuktikan bahwa saya bisa jadi “orang” di tempat-tempat yang tidak mengenal ayah saya, bahwa saya bisa diterima orang bukan karena saya anak siapa atau keturunan siapa.

Saya sering diundang ke berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia, itu bukan karena saya anak siapa atau keturunan siapa, orang-orang yang mengundang saya tidak kenal ayah saya. Singkatnya, membawa nama ayah sendiri saja saya merasa cemen, apalagi membawa nama besar Walisongo, apalagi mengaku keturunan Nabi!

Setelah saudara-saudara sekalian memahami saya dari lima hal di atas, sekarang saya mau melanjutkan dengan mengomentari soal konflik habaib dan keluarga Walisongo yang sedang ramai ini. [Red.]

BACA JUGA : Seri Tulisan KH Ali Badri Masyhuri Lainnya :

  1. Akibat Ba’alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo (Bag 1)
  2. Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo (3)
  3. Gus Fuad Pleret Salah Karena Komentarnya Bernada Marah (4)

Serial Tulisan ini juga pernah dimuat di Duta Islam berjudul “Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo” pada 7 Mei 2023.

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button