FeaturesHeadlineIqro'Qolamuna

Mensabotase Fikiran dan Keinginan Sendiri

Dari kejadian diatas kita bisa belajar, bahwa tanpa kita sadari kita sering mensabotase (merusak) dan membatalkan (men- cancel) keinginan-keinginan dan harapan kita sendiri. Sabotase itu kita lakukan sendiri dengan pikiran kita, bukan oleh orang lain.

Yusuf Thantowi

Tanpa kita sadari, kita sering mensabotase keinginan (harapan) kita sendiri. Akibatnya, kita sering gagal mendapatkan apa yang kita inginkan. Hal ini penting kita pahami dan sadari agar kita tidak merusak atau membatalkan apa-apa yang kita inginkan.

Saya punya pengalaman terbaru tentang hal itu. Beberapa waktu lalu ada sebuah organisasi asal Jakarta akan mengadakan sebuah pelatihan di Mataram. Untuk bisa mengikuti pelatihan tersebut, calon peserta harus mengirim form pendaftaran, biodata dan mengikuti sesi wawancara. Seperti orang melamar pekerjaan saja pikir saya.

Jujur saja, sejak awalnya sebenarnya saya agak malas untuk mengikuti pelatihan tersebut. Tentu dengan pertimbangan dan alasan tertentu. Tapi beberapa hari menjelang batas akhir pendaftaran, penitia pelatihan itu menelpon saya karena memang sudah kenal sebelumnya. Di antara percakapan kami lewar telpon itu mempertanyakan kenapa saya tidak ikut daftar. Saya pun menjawab dengan alasan tertentu.

Setelah penitia pelatihan itu menelpon, saya jadi mikir untuk ikut pelatihan itu. Saya berpikir, jangan – jangan peserta yang daftar belum sesuai target sehingga dia menelpon khusus kepada saya. Apa lagi dia juga minta agar info pelatihan itu bantu dibagikan kepada teman-teman jaringan di Lombok yang bergerak pada isu yang mereka dorong.

Dengan pertimbangan itu, saya lalu memutuskan untuk ikut daftar. Beberapa hari setelah itu saya pun ikut sesi wawancara melalui zoom yang diadakan oleh mereka. Pada saat zoom mereka bertanya, apa yang akan saya lakukan setelah mengikuti pelatihan itu. Saya pun dengan mudah menjelaskan apa yang akan dan telah saya lakukan selama ini dalam isu yang mereka dorong. Karena apa yang mereka tanyakan sebenarnya sudah kita lakukan.

Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh penyelenggara pelatihan itu dengan mudah saya jawab, lengkap dengan pengalaman dan kasus-kasus serta perkembangan yang terjadi di Lombok. Setelah itu, saya optimis masuk jadi peserta pelatihan yang akan diadakan disebuah hotel di Mataram.

Jarak sekian minggu, saya melihat media sosial organisasi penyelenggara pelatihan itu nama-nama calon peserta yang akan mengikuti pelatihan itu. Nama saya tidak ada yang masuk. Nama-nama yang masuk justru tidak pernah saya dengar bergerak dalam isu yang didorong oleh organisasi tersebut. Tapi bagi saya tidak masalah. Toh sejak awal, saya juga kurang begitu tertarik mengikuti pelatihan itu.

Setelah sekian bulan berlalu, saya menemukan jawaban kenapa saya tidak lolos mengikuti pelatihan itu. Meski saya merasa sangat pantas mengikuti kegiatan itu berdasarkan jejak rekam dan aktivitas selama ini sebagaimana tertera di curiculum vitae (CV).

Dari pengalaman itu saya kembali belajar dan tersadar akan kekuatan pikiran. Coba saja cermati, sejak awal saya sebenarnya tidak begitu tertarik mengikuti pelatihan itu. Dengan alasan dan pertimbangan tertentu. Kalau pun saya akhirnya ikut daftar dan berharap bisa mengikuti pelatihan itu juga dengan alasan yang saya ceritakan diatas. Maka sangat wajar saya tidak lolos mengikuti pelatihan itu. Kalau saja sejak awal, saya sangat tertarik dan antusias, tentu saja ceritanya akan lain.

Dari kejadian diatas kita bisa belajar, bahwa tanpa kita sadari kita sering mensabotase (merusak) dan membatalkan (men- cancel) keinginan-keinginan dan harapan kita sendiri. Sabotase itu kita lakukan sendiri dengan pikiran kita, bukan oleh orang lain. Sering kali kita ingin ini, ingin itu sampai kita ucapkan bahkan lakukan untuk mencapai itu. Tapi kita sering lupa memeriksa dan mengecek, apakah keinginan dan harapan itu sudah selaras dengan isi pikiran kita.

Tak jarang isi pikiran atau program dalam pikiran kita sebenarnya menolak atau tidak mau dengan apa yang kita inginkan itu sehingga apa yang kita inginkan sering gagal. Seperti kejadian yang saya alami diatas. Saya ingin mengikuti pelatihan itu, padahal sebelumnya sudah menyatakan males (tidak mau) ikut pelatihan itu. Kalau itu kita sadari, kita tidak punya alasan untuk menyalahkan orang lain bila kita gagal meraih apa yang kita inginkan.

Sebaliknya kita mesti segera mengecek, mengoreksi dan mencermati apa yang muncul dan tertanam dalam pikiran kita. Kalau itu tidak bisa kita lakukan, selamanya kita jatuh pada kondisi mencari kesalahan orang lain sebagai alasan pembenar dari kegagalan kita. Lebih repot lagi selamanya kita akan selalu merasa tidak mampu dan tidak pantas meraih apa-apa yang kita inginkan. Istilah trendnya sekarang, -kita mengalami jatuh mental terlalu dini.

Di sinilah pentingnya kita memahami dan menyadari fungsi serta cara kerja pikiran itu. Karena apa pun yang terjadi pada diri kita sebenarnya berdasarkan tarikan dan reques dari dalam pikiran kita sendiri. Dengan memahami cara kerja pikiran, kita akan berhati-hati dengan pikiran kita. Kita akan belajar memahami hubungan antar pikiran dan berbagai kejadian yang kita alami. Baik yang telah terjadi dimasa lampau, maupun kejadian yang akan terjadi dimasa yang akan datang.[]

*Yusuf Thantowi adalah Penulis dan Peneliti Nahdlatul Ulama, Tinggal di Gerung Lombok Barat

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button