Itsbat Nasab Baa Alawi menyajikan kisah-kisah apologetic dan mistik: mimpi dan khurafat (dongeng-dongeng yang tidak dapat dikonfirmasi ilmu pengetahuan). Diantaranya diceritakan Al Ghuror, bahwa sekelompok Ba Alawi sedang berjalan menuju suatu tempat, lalu bertemu dengan seorang laki-laki dari Dau’an, lalu keluarga Ba Alawi bertanya tentang nasabnya, lalu laki-laki itu berkata: “Aku semalam bermimpi bertemu Siti Fatimah Azzahro, lalu ia berkata: ‘besok engkau akan bertemu dengan dua anaku’.”
KH. Imaduddin Utsman Al Bantanie
Nasab ba Alawi sejak pertama kali mereka datang ke Tarim, banyak kalangan ulama Tarim yang meragukannya. Hal ini dapat kita telusuri dari kitab-kitab yang ditulis dari keluarga Ba Alawi sendiri. Di mana banyak kita jumpai dari kitab-kitab mereka, narasi apologetic akan keabsahan nasab mereka, dan mnempatkan pengakuan itu sebagai hal yang amat penting. Rupanya, keluarga Ba Alawi memiliki perbedaan dari keluarga lainnya, di mana, nampaknya mereka sangat memerlukan pengakuan itu.
Kitab Al-Guror, contohnya. Kitab karya seorang Ba Alawi yang bernama Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid ( W. 960 H) ini, mengisahkan kisah-kisah tentang bagaimana orang-orang Tarim di abad ke enam Hijriah meragukan nasab Ba Alawi, lalu salah seorang di antara Ba Alawi, yang bernama Ali datang ke Bashrah untuk meminta itsbat akan kesayyidan mereka. Lalu diceritakan dalam kitab tersebut, bahwa nasab mereka kemudian di itsbat oleh para imam dan para qodi. (lihat Al-Guror halaman 112)
Yang sedikit menggelitik dari kisah itu adalah, bukankah Ahmad bin Isa berasal dari Bashrah? Dan bukankah disebut dalam literasi Ba Alawi, bahwa tiga anak Ahmad yaitu Muhammad, Ali dan Husain ditinggalkan di Bashrah? Seharusnya, sebelum mendatangi qodi, ia mendatangi keturunan Ahmad bin Isa yang tinggal di sana. Jelas cerita itu meragukan, dan hari ini kita dapat memastikan bahwa Ali yang diutus keluarga Ba Alawi itu, jika benar ia datang ke bashrah, ia tidak bertemu dengan keturunan Ahmad bin Isa,karena jika ia bertemu keturunan Ahmad bin Isa, ia akan mendapatkan catatan-catatan banyak sekali tentang nama-nama keturunan Ahmad bin Isa yang hari itu (abad ke 6) mungkin sudah ratusan bahkan ribuan orang. Tetapi, kenapa keluarga Ba Alawi sekarang hanya dapat menyebut keturunan Ahmad bin Isa yang tinggal di Bashrah, terbatas beberapa nama, tidak lebih dari sepuluh nama yang sudah popular terdapat dikitab-kitab nasab seperti tahdzibul Ansab, Al-majdi dan Al-Muntaqilah?.
Dari sana, kita dapat memahami, bahwa nasab Ba Alawi sangat diragukan di abad 10 itu, yaitu ketika Muhammad Khirid menulis kitab Al-Guror itu, atau minimal sangat diragukan mulai abad Sembilan, di mana berita itsbat ke Bashrah itupun diceritakan oleh Al-jauhar Al-Syafaf karya Al-Khotib (w. 855 H).
Sebagaimana diketahui, bahwa konstruksi nasab Ba Alawi dibangun di abad Sembilan oleh usaha dua serangkai Al-Khotib dan Ali Al-Sakran, namun penulis hanya menjadikan Al-Al Sakran sebagai tokoh awal penyebut nasab Ba Alawi, dikarenakan kitab Al-jauhar Al-Sayafaf sampai saat ini masih berupa “manuskrip aneh” yang kalangan Ba Alawi sendiri sepertinya tidak berani mencetaknya. Penulis kira, langkah tidak mencetak Al-jauhar Al-Syafaf itu bijak, karena efek dominonya akan beresiko terlalu deras terhadap kontruksi nasab Ba Alawi sendiri, di samping output dan resonansi positifnya tidak terlalu sigifikan.
Selain kisah itsbat ke Bashrah yang menggelitik itu, Al-Guror juga, menyajikan kisah apologetic nasab Ba Alawi berupa kisah-kisah mistik: mimpi dan khurafat (dongeng-dongeng yang tidak dapat dikonfirmasi ilmu pengetahuan). Diantaranya diceritakan dikitab tersebut, bahwa sekelompok Ba Alawi sedang berjalan menuju suatu tempat, lalu bertemu dengan seorang laki-laki dari Dau’an, lalu keluarga Ba Alawi bertanya tentang nasabnya, lalu laki-laki itu berkata: “Aku semalam bermimpi bertemu Siti Fatimah Azzahro, lalu ia berkata: ‘besok engkau akan bertemu dengan dua anaku’.” (lihat kitab Al-Guror halaman 115).
Dari cerita itu, pengarang kitab Al-Guror ingin mengatakan bahwa, nasab Ba Alawi sah, karena telah di itsbat oleh Siti Fatimah di dalam mimpi seseorang. Yang menggelitik lagi, seseorang yang bermimpi itu tidak disebutkan siapa? Juga tidak disebutkan keluarga Ba Alawi yang bertemu dengannya itu siapa?
Ditempat lain, disebutkan dalam Al-Guror, bahwa ia menerima berita dari Syekh Abdullah bin Abdurrahman Fadol Bilhaj –mungkin maksudnya Syekh Abdullah bin Abdurrahman Ba fadol (w. 981 H)– bahwa ia pernah bertemu dengan seorang Ba Alawi, lalu ia bersikap biasa-biasa saja ketika bersalaman (mungkin tidak mencium tangannya) lalu malamnya ia bermimpi bertemu Rasulullah memarahinya. (lihat Al-Guror halaman 115).
Kisah ini, walau menyebut nama seseorang yang terkenal, namun tidak dapat dikonfirmasi oleh apapun akan kebenarannya. Ditambah, penulis beberapa kali menemukan “kedustaan” dari riwayat ulama Ba Alawi ketika mengutip pendapat ulama-ulama besar dalam masalah nasab dan sejarah. Contohnya seperti, ketika ulama Ba Alawi atau pendukungnya mengutip pendapat Ibnu Hjar Al-haitami tentang bahwa Seorang syarif bodoh lebih mulia dari seorang kiai, katanya terdapat dalam kita Fatawa-nya. Ternyata, setelah penulis teliti kitab tersebut, tidak mendapatkan pendapat Al-Haitami yang seperti disebutkan, bahkan Al-haitami berpendapat sebaliknya bahwa seorang syarif anak orang bodoh tidak sekufu’ dengan seorang perempuan putri kiai. (lihat Al-fatawa Al-Kubro: juz 4/101).
Demikian pula Syekh Yusuf An-Nabhani (ulama pro Ba Alawi), mengutip pendapat Al-Suyuti dalam kitab Khosois, katanya, Al-Suyuti berkata bahwa siapapun dari makhluk Allah tidak sekufu’ dalam pernikahan dengan keluarga Nabi Muhammad Saw, setelah penulis teliti dalam kitab Khosois, ternyata Al-Suyuti tidak pernah menyatakan kalimat tersebut. (baca kitab Al-kHosois karya Al-Suyuti).
Dalam kitab Al-Guror pula, dikisahkan bahwa Syekh Abdullah bin Alwi bin Fakih Muqoddam mendengar dari seorang ulama bahwa ulama itu bermimpi bertemu rasulullah. Dalam mimpinya itu, Rasulullah berdiri ditempat yang tinggi lalu berkata kepada penduduk kampong (mungkin maskudnya Tarim) “ Hai ahli kampong ini, bahwa diantara kalian ada titipan (keluarga Ba Alawi), siapa yang membencinya maka ia membenciku, siapa yang membuatnya senang maka ia membuatku senang”. (lihat Al-guror halaman 108)
Sekilas, kisah itu mirip dengan kisah tentang ulama Madura yang diriwayatkan bermimpi bertemu Rasulullah. Di dalam mimpi itu rasulullah memerintahkannya untuk taat kepada Habib riziq. Setelah dikonfirmasi, ulama Madura ini membantah bahwa dirinya bermimpi seperti itu.
Kisah-kisah khurafat semacam itu sangat banyak, dapat dibaca diliterasi ulama Ba Alawi seperti kitab: Al-jauhar Al-Syafaf, Al-Burqoh Al-Musyiqoh, Al Masyra’ A’-Rowi, Tasbitul Fuad dsb.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani