NASAB Ba’alwi yang terputus itu banyak dibela dengan narasi-narasi yang tajam namun sepi dari hujjah dan dalil. Yang demikian itu sesuai dengan masa lalu dari awal nasab ini diperkenalkan, sepi dari hujjah dan sepi dari dalil.
Penulis: Imaduddin Utsman Al Bantani.
Ada sebuah tulisan dalam format PDF sebanyak enam lembar beredar di media sosial. Konon tulisan itu adalah tulisan Najih Maimun, seorang pimpinan pesantren di Jawa Tengah. Penulis penasaran dengan sosoknya. Penulis searching jejak digital tokoh tersebut. Ternyata ia adalah seorang kiai pendukung FPI dan Riziq Syihab. Jejak digital tentangnya tahun 2014 mengungkap ia berpendapat : FPI Sangat Dibutuhkan di Indonesia. Ia juga tereportase sowan ke Rizik Syihab di Petamburan dan di Makkah. Tahun 2022 ia juga menuduh PBNU banyak makan uang haram. Tahun 2021 ia dipolisikan oleh Barisan Ksatria Nusantara karena membuat pernyataan bahwa vaksinasi merupakan upaya pembunuhan massal.
Setelah mengetahui latar belakang Najih Maimun, kita kembali ketulisan yang beredar atas namanya itu. Tulisan Najih Maimun itu nampaknya ditujukan untuk sebuah forum diskusi tertutup yang dilaksanakan di Kuningan Jawa Barat oleh para Ba’alwi diantaranya Quraisy Baharun dan Hanif Al-Athos. Dalam akhir tulisan tertera titimangsa tulisan tanggal 1 Mei 2024 dan terdapat nama Najih Maimun tanpa dibubuhi tandatangan.
Ada beberapa point yang dibahas dalam tulisan itu yang penulis perlu tanggapi diantaranya:
Pertama: “Gerakan anti habib di Indonesia pimpinan Imaduddin Utsman bukan hal baru. Pada tahun 2020 di panpage “Generasi Muda NU Banten” Imad menulis artikel berjudul “Habaib Bukan Ahli Bait.”
Penulis menjawab: pembahasan nasab bukanlah gerakan anti habib, ia adalah gerakan anti pemalsu nasab Rasulullah Muhammad SAW. Banyak oknum habib yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah menunjukan akhlak bukan sebagai akhlak keturunan Rasulullah. Berlaku rasis, mempersekusi kiai, memukul, merubah sejarah NU, mengklaim tokoh dan makam tua Nusantara sebagai leluhurnya, dsb. Setelah diteliti ternyata mereka terbukti bukan keturunan Nabi. Untuk itu mereka harus diberikan kesadaran untuk bertobat dari pengakuan tersebut.
Tentang artikel penulis bahwa para kabaib bukan lah ahli bait, itu sesuai dengan hadits-hadits yang sahih bahwa ahli baitnya Nabi Muhammad SAW adalah Sayyidatuna Fatimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain. Para kabaib mengaku sebagai ahli bait itu dasar epistimologisnya apa, keturunan Nabi aja bukan.
Kedua: “Gerakan ini disokong oleh kelompok-kelompok jahat seperti oligarki dan sebagainya”. Penulis menjawab: gerakan pembongkaran nasab palsu Ba’alwi ini tidak disokong kelompok-kelompok jahat semisal oligarki. Gerakan ini disokong oleh Imam al Ubaidili, Imam al Umari, Imam Tobatoba, Imam al Fakhrurazi dan ulama-ulama besar lainnya. Apakah ulama semacam Imam al Fakhrurazi itu termasuk kelompok-kelompok jahat? Apakah hanya karena kitab-kitab ulama itu tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad kemudian mereka disebut jahat?
Ketiga: “…gerakan yang Imaduddin dkk buat ini adalah untuk mempertentangkan antara warganegara dan umat Islam yaitu kaum muslimin dan para habib dengan kedok penelitian ilmiyah…”. penulis menjawab: penelitian ilmiyah penulis bukan untuk mengadu antar warganegara dan umat Islam. Justru penelitian ini adalah “irsyad” (panduan) bagi warga negara dan umat Islam yang memiliki pemahaman mencintai dzuriyat Nabi termasuk suatu yang dianjurkan, bahwa para Ba’alwi ini bukan dzuriyat Nabi, mereka hanya mengaku-ngaku sebagai dzuriyat Nabi saja.
Keempat: “…argumentasi yang mereka bangun samasekali jauh dari kata ilmiyah karena mereka menolak metodologi penetapan nasab yang sudah disepakati oleh para ulama fiqih…”. Penulis menjawab: penelitian penulis adalah penelitian nasab yang juga diatur dalam ilmu fikih, tentu yang pertama dipertimbangkan adalah metodologi ulama fiqih dalam penetapan nasab yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Tetapi rupanya Najih walau membaca kitab fikih, tetapi tidak faham maksud yang ditulis ulama fikih itu. Sebagai contoh, Najih tidak faham tentang metode Syahadah (kesaksian) dalam menetapkan nasab yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. mungkin menurut Najih, jika hari ini ada dua orang bersaksi bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa, maka sah-lah Ubadillah sebagai anak Ahmad bin Isa. padahal metode syahadah itu adalah bukan untuk kesaksian nasab yang jauh, tetapi untuk memberi kesaksian orang yang hidup hari ini sesuai apa yang saksi lihat dan saksi dengar. Ingat, sesuai yang saksi lihat dan saksi dengar. Karena syahadah atau kesaksian itu memang adalah apa yang saksi lihat dan saksi dengar tentang individu itu secara langsung, bukan yang saksi impikan atau halusinasikan.
jika ada dua orang saksi dalam sebuah “mahkamah” mengatakan bahwa Umar adalah anak Zaid, maka kesaksian itu bisa diterima sebagai isbat bahwa Umar adalah anak Zaid, jika hakim menganggap dimungkinkan saksi itu berinteraksi langsung dengan Umar atau Zaid. Tetapi jika kemudian ada dua orang saksi lagi mengatakan Umar bukan anak Zaid, maka hakim mentarjihnya dengan bukti-bukti. Ubaidillah hidup di abad empat hijriah, untuk mengetahui apakah benar ia anak Ahmad bin Isa, maka kita minta kesaksian orang yang hidup di abad empat hijriah itu, misalnya Nabi Khidir, siapa tahu Nabi Khidir pernah bertemu dengan Ubed. Jika tidak ada saksi yang hidup pada abad empat maka terpaksa kita mencari kesaksian kitab-kitab nasab yang ditulis abad itu, jika tidak menemukan, maka dengan kitab-kitab yang ditulis paling dekat masanya dengan Ubed itu. Dan kitab-kitab itu ada dan memberi kesaksian bahwa anaknya Ahmad bin Isa tidak ada yang bernama Ubed.
Najih juga tidak faham metode itsbat nasab dengan syuhroh walsitifadhoh. Syuhroh dan istifadoh itu untuk nasab orang yang hidup dihari ini dengan popularitas didengar banyak orang ia sebagai anak seseorang, atau untuk orang yang hidup di masa lalu dengan popularitas dalam kitab-kitab ia sebagai anak seorang tokoh. Jika Ubed Syuhroh hari ini sebagai anak Ahmad, sementara di masa hidupnya ternyata ia tidak dikenal sebagai anak Ahmad, sesuai dengan kesaksian kitab-kitab yang ditulis di masanya atau yang paling dekat dengannya, maka syuhroh ini namanya “Syuhroh jadi-jadian”.
Imam Ibnu hajar al Asqolani berkata:
ان النسب مما يثبت بالاستفاضة الا ان يثبت ما يخالفه (الجواب الجليل عن حكم بلد الخليل: 47(
“Sesunggunya nasab adalah sebagian dari yang bisa ditetapkan dengan metode istifadloh kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya” (al Jawab al Jalil: 47)
Jika memahami apa yang dikatakan Ibnu hajar, Najih tidak akan lagi membela Ba’alwi dengan dalil Syuhroh dan Istifadloh. Ucapan seperti Ibnu hajar itu banyak diucapkan juga oleh para ulama lainnya, termasuk Imam Madzhab kita, Imam Syafi’y. Lihat kitab Bahrul Madzhab karya Imam Ruyani, ia menghikayatkan ucapan Imam Syafi’y, bahwa salah satu sarat Syuhroh itu adalah “ ’adamuddafi’ ” (tidak ada pembantah). Syuhrohnya Ubed itu ada “ dafi’ ” (pembantah) yaitu kitab-kitab nasab dan sejarah dari abad kelima sampai kesembilan yang tidak menyebut Ubed sebagai anak Ahmad. Maka syuhrohnya Ubed hari ini disebut “Syuhroh madfu’ah” (popularitas yang terbantah atau tertolak).
Kelima: Najih mencurigai gerakan pelurusan nasab ini adalah upaya adu domba ala PKI dan Kristen. Najih mengatakan: “ Model adu-domba ala PKI juga patut kita curigai. Apalagi oknum-oknum kristiani benci kepada kalangan habaib…”
Penulis menjawab: penulis dan teman-teman penulis adalah orang NU asli, bukan NUGL. Tempat sowan kami adalah PBNU, bukan Petamburan seperti Najih dkk. Jika kami ke Makkah kami ziarah ke makam Syekh Nawawi al-Bantani, bukan ke kediaman Rizik Syihab seperti Najih dkk. Apalagi PKI dan Kristiani. Jauh. Penulis tidak tahu ada orang Kristiani yang benci Ba’alwi, yang penulis tahu adalah warga NU yang resah oleh kelakuan oknum-oknum Ba’alwi yang mengaku cucu Nabi, merubah sejarah NU, membuat makam palsu, minta-minta uang dengan paksa pada kiai dsb.
Keenam: “…ngotot menggunakan metodologi mereka sendiri yang mereka klaim lebih “modern” dan “akurat” padahal tidak ada dalam kitab-kitab fikih.” Penulis menjawab: metode penulis ada dalam kitab-kitab fikih dan kitab kitab nasab. jika membaca kitab fikih dengan “itqon”, insya Allah akan faham bahwa Ubed ini bukan anak Ahmad. Apalagi kalau Najih mau membaca kitab-kitab ilmu nasab, maka akan jelaslah bagaimana kronologi pencangkokan nasab itu dilakukan oleh Ba’alwi untuk mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Silahkan Najih membaca kitab ilmu nasab yang berjudul “Rasa’il fi ‘Ilmil Ansab” karya Husain bin Haidar dari halaman 100 sampai halaman 200, juga silahkan baca kitab “Al Muqaddimat fi ‘Ilmil Ansab” karya Khalil bin Ibrahim dari halaman 59 sampai halaman 62. Akan fahamlah bagaimana cara ulama menetapkan nasab.
Ketujuh: “Mereka lebih percaya temuan tes DNA yang dipakai orang-orang Barat daripada pengakuan ulama-ulama sekaliber Imam Al Sakhawi, Imam Ibnu Hajar, Imam Bamakhramah, Sayyid Murtada al Zabidi, ahli sejarah Syekh bahauddin al janadi, Syekh Nawawi Banten, Sayyid Bakri Syato, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari, K.H. Hasan Genggong, K.H. Hamid Pasuruan, K.H. Maimun Zubair dan sebagainya”.
Penulis menjawab: tes DNA bukan hanya dipercaya orang-orang Barat, tahun 2004 ulama-ulama NU telah memutuskan dalam muktamar NU di Boyolali bahwa tes DNA bisa menapikan nasab jika tes DNA nya melenceng. Ba’alwi sudah test DNA, dan hasilnya melenceng, mereka bukan hanya bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, bahkan mereka bukan orang Arab. Mengenai ulama-ulama yang disebutkan itu tidak benar dikatakan semuanya mengakui Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, itu berlebihan. Tidak ada Al Janadi mengitsbat Ubed sebagai anak Ahmad; tidak ada Syekh Nawawi al Bantani mengitsbat Ubed sebagai anak Ahmad; seperti juga tidak ada Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari dan yang lainnya mengitsbat Ubed sebagai anak Ahmad. Jika ada, mana kitabnya?
Kedelapan: “Sudah banyak ulama yang menyampaikan penolakan terhadap gerakan tersebut, namun sebagaimana diperkirakan gerakan mereka tidak mau berhenti”. Penulis menjawab: yang menolak kaijan ilmiyah ini mungkin banyak, tetapi yang menerima jauh lebih banyak. jika penulis menulis nama-nama kiai yang mendukung penulis mungkin memerlukan halaman yang banyak sekali. Mereka Yang menolak kajian ini kebanyakan mereka mempunyai kedekatan emosional dengan Ba’alwi, seperti Najih yang memang dikenal pendukung Riziq Syihab dan FPI.
Keembilan: “pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (khariqul ijma’) adalah pendapat yang pasti salah dan haram diikuti. Sejak awal Imaduddin selalu menyerukan DNA sebagai salah satu hujjah terputusnya nasab (bahkan bermunculan tuduhan keji sebagai keturunan Yahudi dll). Padahal menurut perkumpulan ulama dunia DNA jelas secara ijma tidak boleh dijadikan dalil pembatalan nasab.”
” Penulis menjawab: dari proposisi itu jelas Najih tidak faham makna ijma’. Sebelum penulis lanjutkan dibawah ini definisi ijma’:
اتفاق مجتهدي عصر من أمة محمَّد – صلى الله عليه وسلم – على أمر شرعي
“Kesepakatan para ulama mujtahid suatu masa dari umat Muhammad SAW terhadap suatu masalah hukum syara’”.
Najih mengatakan: sudah ada ijma’ ulama tentang DNA tidak boleh dijadikan dalil pembatalan nasab. Ijma apa? Ijma’ ulama apa ijtima’ ulama? Kalau ada sekelompok ulama berkumpul disuatu ruangan lalu sepakat akan suatu hukum itu namanya bukan ijma’, itu namanya “ijtima’ al aara’ (kesepakatan pendapat suatu forum). Ijma itu disyaratkan para ahli ijtihad seluruh dunia menyepakatinya, itulah ijma’. Najih mengabaikan pendapat ulama NU dalam forum muktamar bahwa DNA bisa membatalkan nasab. Najih perlu banyak membaca bahwa mereka yang menolak tes DNA itu kebanyakan adalah mereka yang mengaku keturunan Nabi namun hasil tes DNA nya melenceng.
Dalam tulisan itupula Najih mengurut nama-nama kitab sebanyak 17 kitab yang katanya mengisbat ubed sebagai putra Ahmad, pertama ada kitab Al Suluk, Al Athoya dan Al Iqdul fakhir, kitab abad ke delapan dan sembilan awal, ketiga kitab ini sama sekali tidak bisa menjadi dalil bagi klan Kabib karena ketiga kitab ini kitab sejarah yang menjelaskan Syarif Abul Jadid, bukan menjelaskan keluraga Kabib. Keluarga Kabib mencangkok leluhur mereka yang bernama Alwi disebut adik dari Jadid yang silsilahnya disebut tiga kitab sejarah itu, padahal Jadid bukan saudara Alwi. Jadid tidak punya adik bernama Alwi.
Kitab lain yang disebut Najih adalah kitab abad sembilan di mana di abad itu kontruksi nasab Ba’alwi mulai dibangun. Kesimpulan tulisan ini adalah: nasab Ba’alwi yang terputus itu banyak dibela dengan narasi-narasi yang tajam namun sepi dari hujjah dan dalil. Yang demikian itu sesuai dengan masa lalu dari awal nasab ini diperkenalkan, sepi dari hujjah dan sepi dari dalil.[]