I’tikaf, Amalan mulia berdiam diri di masjid dengan rukun dan syarat-syarat tertentu. Tetapi sejak Korona mewabah, masjid ditutup, maka i’tikaf tak mungkin bisa kita lakukan disitu. Lalu bagaimana Fiqh memandang persoalan ini? Mungkinkah kita I’tikaf di rumah saja? terutama bagi kita yang di ingin meraih kemuliaan di 10 hari terakhir Ramadhan?
Raga Muhammad
Owner Adeeva Group dan Tukang Kopi di Ma’had Aly Situbondo
Himbauan pemerintah untuk “Stay at home” karena Virus korona lumayan merubah wajah ritual keagamaan kita terutama di bulan Ramadhan tahun ini. Salat Fardhu dirumah, salat tarawih dirumah, salat jumat juga diganti salat zuhur juga dilaksanakan dirumah. Begitupun Tadarrus Alqur’an, bahkan mungkin juga Idul Fitri sebentar lagi. Pemerintah akan menghimbau dirumah saja. Bakal sepi rasanya.
Himbauan pemerintah itu sesungguhnya bentuk kesungguhan sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus ini. Langkahnya saya kira sudah tepat, tak perlu kita pertentangkan dengan agama bahkan dengan keadaan ini, ummat Islam seharusnya lebih kreatif lagi menjalankan agamanya namun tentu saja yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Nah, salah satu yang perlu kita carikan solusi adalah, amalan istimewa berupa iktikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Ada banyak hadist yang menerangkan tentang keistimewaan i’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, salah satunya adalah Hadist Sayyidah Aisyah yang menuturkan “Sesungguhnya Nabi s.a.w, melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Beliau wafat, kemudian isteri-isterinya mengerjakan I’tikaf sepeniggal Beliau”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006
Lumrah kita tau, I’tikaf itu berdiam diri di masjid dengan rukun dan syarat-syarat tertentu. Tetapi sejak Korona mewabah, masjid ditutup, maka i’tikaf tak mungkin bisa kita lakukan disitu. Lalu bagaimana Fiqh memandang persoalan ini, apakah karena korona kemudian kita amalan mulia ini kita tiadakan, ataukah kita harus memaksa beri’tikaf walaupun wabah ini belum juga berakhir? ataukah ada solusi lainnya, I’tikaf di rumah misalnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus ingat bahwa poin yang dipertanyakan itu adalah persoalan fiqhiyah. Fiqih identik dengan perbedaan pendapat dan pandangan. Saking identiknya, sejauh yang saya ketahui, tidak satupun masalah fiqhiyah yang disepakati oleh para ulama, karena jika terjadi kesepakatan maka persoalan itu sudah tidak lagi disebut dengan fiqih.
Identiknya perbedaan pandangan dalam Fiqh sesungguhnya hal yang wajar sebagai konsekwensi pemahaman yang berbeda terhadap dalil-dalil yang sifatnya multitafsir (dzanni al-dalalah dan dzanni al-wurud). Belum lagi pendapat-pendapat fiqih tersebut acapkali lahir sebagai respon atas konteks lingkungan sosial dan kondisi yang beragam. Maka dalam fiqh tak bisa mengklaim satu pendapat paling benar dan pendapat yang lain paling salah. Sebab, Kondisi obyektif para mujtahid yang berbeda berpotensi menghasilkan hukum yang berbeda pula. Sehingga tak satupun fatwa yang bisa diberlakukan sebab, yang relevan di suatu tempat belum tentu relevan ditempat lainnya.
Maka, tidak berlebihan jika dikatakan kebenaran fiqh sangat relatif. Relatifitas ini bisa dilihat dari definisi fiqh yang sering disebut dalam ungkapan “al-‘ilmu (bima’na dzan) bil ahkam (bima’na al-mutahayyi bil ahkam)…’” Menyadari realitas ini, wajar kemudian dari Imam Syafi’i lahir ungkapan fenomenal, “pendapatku benar, tetapi mungkin saja salah, sementara pendapat lainnya salah, tetapi mungkin saja benar”
Kembali ke soal I’tikaf 10 hari terakhir dibulan Ramadhan. Aktualisasi fiqih dalam persoalan itu juga tak ayal menimbulkan khilafiyah dikalangan para ulama. Dari segi hukumnya, para ulama sudah berbeda pendapat soal hukum iktikaf disepuluh terakhir bulan Ramadhan. Ada pendapat yang mengatakan sunnah saja, ada pula yang mengatakan sunnah muakkadah.
Ulama juga berselisih paham soal apakah iktikaf hanya tertentu di bulan suci Ramadhan ataukan bisa berlaku di luar Ramadhan? Apakah iktikaf hanya boleh dilakukan dalam kondisi suci atau tidak? berapa durasi minimal iktikaf sesungguhnya sampai persoalan terakhir apakah iktikaf boleh di dilakukan selain di masjid?.
Oke sekaran kita coba mulai pembahasannya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat iktikaf harus di masjid. Dengan demikian, tidak sah iktikaf di selain masjid. Walaupun telah disepakati bahwa iktikaf hanya di masjid, namun mereka tidak satu kata mengenai kriteria masjid yang dimaksud. Pangkal dari perbedaan-perbedaan ini bersumber pada pada ayat:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Q.S. al-Baqarah: 187)
Sekelompok ulama mengklaim bahwa masjid yang dimaksud di ayat tersebut hanya tertentu pada tiga masjid saja, yaitu masjid Nabawi, Masjidil Haram, dan masjid yang terdapat di kota Iliya (Baitil Maqdis).
Berbeda dari pendapat tersebut, sekelompok lainnya mengatakan, masjid yang dimaksud adalah masjid yang digunakan untuk menunaikan salat jum’at saja. Sementara kelompok lainnya mengatakan, iktikaf boleh dilakukan di masjid mana saja, walaupun di masjid tersebut tidak didirikan salat jum’at. Pendapat-pendapat ini direkam utuh oleh Imam Qurtuby dalam Tafsirnya.
Pada segmen yang lain, beberapa ulama membedakan antara iktikaf yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Hemat mereka, perempuan sebaiknya melakukan iktikaf di rumahnya. “Masjid Baitiha” begitulah redaksi sejumlah literatur menyebutnya, yaitu tempat khusus yang biasa digunakan untuk salat bersama keluarga di rumah. Ini merupakan kelanjutan dari pendapat yang melarang wanita untuk iktikaf secara mutlak di masjid.
Lantas bagaimana dengan laki-laki, tidakkah ada ruang baginya untuk melakukan iktikaf di rumah?
Jika mengacu kepada pendapat jumhur di atas maka tidak ada peluang sama sekali. Laki-laki tidak punya pilihan lain kecuali hanya iktikaf di masjid. Saking tegasnya pendapat ini, Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak pernah tahu ada ahli ilmu yang berbeda pendapat tentang ini”
Namun apabila merujuk pendapat Muhammad ibnu Umar ibn Lubabah al-Maliky, laki-laki boleh iktikaf di selain masjid. Pendapatnya ini bertolak belakang dengan apa yang sudah disampaikan oleh kebanyakan ulama. Walau ia dengan mayoritas ulama lainnya berbeda pendapat, tapi dalil yang dijadikan pegangan tetap sama, yaitu surah al-Baqarah ayat 187 di atas. Satu dalil, beda pemahaman dan argumentasi.
Bunyi redaksi dan terjemah ayat di atas tetap sama, namun mereka berbeda pemahaman. Salah satu sumber perdebatan mereka adalah apakah ayat itu memiliki dalil khitab ataukah tidak? Dalil khitab merupakan sebutan lain dari mafhum mukhalafah, yaitu hukum tersirat (maskut ‘anhu) yang diperoleh dari kebalikan apa yang tersurat (mantuq). Sabda nabi, “فِي سَائِمَةِ الغَنَمِ الزَّكَاةُ” artinya “kambing ternak yang digembalakan wajib zakat”. Mafhum mukhalafah-nya adalah kambing ternak yang makanannya tidak digembalakan tidak wajib zakat.
Mayoritas ulama sepakat terhadap kebolehan berhujjah dengan mafhum mukhalafah, kecuali mafhum mukhalafah berupa laqab, masih diperselisihkan.
Mafhum mukhalafah ada sepuluh macam, salah satunya adalah mafhum sifat. Mafhum sifat bisa terdiri atas mafhum makan (tempat). Contoh mafhum makan terdapat di surah al-baqarah ayat 187 di atas. Kata “فِي الْمَسَاجِدِ” pada surah tersebut merupakan qayyid terhadap kata sebelumnya, yaitu “عَاكِفُونَ”. Fungsi dari mafhum makan adalah untuk menegasikan hukum diselain tempat itu. Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan hukum bahwa iktikaf di selain masjid tidak boleh.
Akan tetapi, berhujjah dengan salah satu dari sepuluh ragam mafhum mukhalafah bisa tidak berlaku bilamana ada indikasi bahwa mantuq disebutkan secara khusus untuk menegasikan hukum maskut ‘anhu. Artinya, apabila nampak ada indikator-indikator bahwa mantuq hadir untuk menegasikannya, maka mafhum mukhalafah tidak bisa dijadikan hujjahAkan tetapi, berhujjah dengan salah satu dari sepuluh ragam mafhum mukhalafah bisa berlaku bilamana tidak ada indikasi lain dari penyebutan mantuq kecuali untuk menegasikan mafhum mukhalafah artinya, apabila nampak indikasi lainnya, maka mafhum mukhalafah tidak bisa dijadikan hujjah. Kemungkinan, Ibnu Lubabah tidak setuju adanya dalil khitab ayat tersebut di atas karena beranggapan bahwa ada indikasi yang menunjukkan bahwa ayat tersebut tidak mempunyai dalil khitab.
Muwafaqah lil waqi’ adalah satu bari beberapa indikasi-indikasi yang disebutkan dalam studi usul fiqih. Maksudnya, setiap ayat atau hadis yang turun untuk merespon kejadian yang memang sesuai dengan realitnya disebut muwafaqah lil waqi’. Surah al-baqarah ayat 187 tersebut memang turun dalam konteks orang-orang sedang iktikaf di masjid. Realitanya, orang-orang pada waktu itu memang iktikaf di masjid (muwafaqah lil waqi’), bukan di tempat lain. Dengan demikian, ayat tersebut tidak bisa diambil mafhum mukhalafah-nya.
Bangunan argumentasi lain yang sejalan dengan pendapat Ibnu Lubabah yaitu ketika lafadz “عَاكِفُونَ”di-taqyid dengan lafad ““فِي الْمَسَاجِدِ” , itu menunjukkan bahwa iktikaf itu awalnya bisa di mana saja, karena seandainya iktikaf itu pasti di masjid maka tidak perlu diberikan qoyyid karena pikiran kita pasti tertuju ke masjid. Penempatan qayyid “فِي الْمَسَاجِدِ” yang mengeluarkan selain masjid (بما لولاه) justru menjadikan ayat tersebut mutlak, meliputi masjid dan lainnya.
Namun apapun yang telah disampaikan oleh Ibnu Lubabah tidak begitu kuat di mata mayoritas ulama. Konteks ayat diturunkan sebagaimana maksud di atas tidak demikian adanya. Melainkan ayat tersebut turun untuk merespon sikap sahabat yang sedang iktikaf kemudian keluar dari masjid untuk “mubasyarah” dengan istrinya. Berdasarkan ayat tersebut, orang yang iktikaf tidak boleh ““mubasyarah”” dengan istrinya walaupun sudah keluar dari masjid. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, qayyid “فِي الْمَسَاجِدِ” tidak dapat meng-qoyyidi keharaman “وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ” karena qayyid tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan kalimat sebelumnya, yaitu “عَاكِفُونَ”.
Dari perspektif mafhum mukhalafah ayat ini, tidak bisa diambil pengertian kalau di luar masjid boleh “berhubungan badan” bagi orang iktitaf.
Saking lemahnya pendapat ibnu Lubabah, Ibnu Rusyd mengklaim bahwa itu adalah pendapat yang syadz. Menurutnya, kekuatan argumentasi jumhur tidak terbatas pada persoalan dalil khitab saja, melainkan dikuatkan oleh hadis dari Sayyidah Aisyah.
Lalu apakah bisa mengamalkan pendapat Ibnu Lubabah yang diklaim lemah?
Sebagai muslim yang baik, kita tentu ingin melaksanakan ibadah dengan se-ideal mungkin. Ideal dalam hal ini adalah iktikaf di masjid dengan mengikuti pendapat jumhur ulama, bahkan kalau bisa, ingin rasanya menghabiskan waktu untuk iktikaf di Masjid Nabawai atau Masjidil Haram. Namun apalah daya, situasi dan kondisi menghendaki lain.
Di tengah teror pademi Corona, kita “dipaksa” untuk menanggalkan idealitas dalam beribadah. Di satu sisi kita ingin beribadah dengan seideal-ideal mungkin, namu di sisi lain ada wabah yang menghalangi untuk merealisasikan idealitas tersebut. Tidak boleh tidak, menghilangkan dampak buruk virus Corona lebih prioritas daripada merealisasikan idealitas ibadah. Tidak boleh keselamatan diri sendiri dan orang lain jadi tumbal demi sebuah kebaikan.
Namun bukan berarti karena menghindar dari teror Corona kemudian kita tidak beribadah sama sekali. Dalam situasi seperti ini, kita perlu hukum-hukum alternatif di bawah ideal. Dawuh Murabbi ruhina, Kiai Afifuddin Muhajir, “Sudah saatnya kita turun dari langit idealitas menuju bumi realitas”. Beralih dari hukum ‘azimah menuju hukum rukhsah. Banting setir, dari satu pendapat ulama menuju pendapat ulama lainnya, meskipun nampak lemah. Sikap demikian ini masih dalam koridor wajar-wajar saja, karena sudah pasti hukum akan berubah karena didesak oleh sikon.
Taqlid kepada pendapat yang lemah karena tuntutan keadaan itu sah-sah saja asalkan bukan karena mengikuti hawa nafsu. Paling tidak diamalkan untuk kalangan sendiri. Sayyid Abdurrahman al-masyhur menulis, “Boleh mengamalkan pendapat-pendapat dhoif untuk diamalkan sendiri, meskipun pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat yang ashah, mu’tamad, aujah…”. Pendapat yang sama disampaikan oleh Syekh Wahbah Zuhaili. Beliau menulis, “Boleh berfatwa dengan qaul dhaif karena alasan dharurah untuk mempermudah orang lain…” Menurutnya, “Muqallid pindah dari pendapat yang masyhur menuju pendapat yang syadz dalam perkara-perkara rukhsah selama tidak untuk mengambil kemudahan adalah boleh menurut qaul orang tidak mewajibkan taqlid terhadap qaul arjah”. Kata beliau, ini adalah pendapat jumhur usuliyin. Pengarang “Fiqh al-Islamy wa adillatuh” menegaskan kembali, “Muqallid bebas untuk mengikuti pendapat ulama meskipun ada ijma yang menegaskan ketidak shahihan pendapat tersebut”
Daerah-daerah yang sudah masuk zona merah, kenapa tidak mencoba untuk taqlid kepada Ibnu Lubabah. Bagi mereka yang sejak awal sudah patuh dengan himbauan pemerintah, taqlid kepada Ibnu Lubabah adalah alternatif yang solutif. Daripada tidak iktikaf sama sekali, padahal inilah kesempatan emas untuk bermunajat sebagaimana kesungguhan nabi di saat menghadapi sepuluh terakhir bulan Ramadhan . Saat ini, paling penting adalah kualitas munajat kepada Allah swt, bukan tempatnya. Lagi pula, tidak ada jaminan tahun depan ada kesempatan yang sama akan datang kembali.
Bahan Bacaan:
Al-Mughni libni Qudamah, Al-fiqh al-Islamy wa adillatuh, Bughiyatul Mustarsyidin, Miftah al-Usul ‘ala bina al-furu’ ala al-usul, Syarah ma’alim fi wusu al-fiqh, al-wajiz fi usu al-fiqh, raudhah al-nadhir, Tafsir al-qurtubi, ahkam al-qur’an libni faras, al-mawahib, bidayatu al-mujtahid, al-mabsuth li al-sarkhasi, fiqh al-I’tiqaf, qawanin al-fiqh, mausu’’ah ahkam al-thaharah, waraqat, tafsir mafatih al-ghaib.
One Comment