Seberapa Pentingkah Menjaga Lisan?
Dengan menjaga lisan, tensi dalam menggeser penghakiman kepada diluar kita akan lebih tegak dan mantap. Sebab sekitar adalah akibat dari sejauh mana lisan, sikap, dan prilaku kita dimuarakan.
Afif Muhammad (Gus Afif)
Betapa pentingnya sebuah kesantunan. Santun dalam berucap, pun bersikap. Sehingga term “santun” lazim bergandengan dengan term “sopan”–sopan santun. Lantas bagaimana ukuran suatu kesopanan? Sopan berarti kemantapan jiwa, kokoh, tegak, berprinsip, refrensial, dan esensial. Sedang santun tak lain sebentang ejawantah dalam bentuk gerak yang merupakan akibat dari kemantapan diri melalui permenungan-permenungan prinsip sopan tadi.
Santun tak lain sebuah universalitas, kolektivitas, dan kelembutan dengan memperlakukan yang lain sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri. Implikasinya hati-hati. Muaranya adalah sikap bijaksana.
Dalam cerita-cerita yang masyhur di perkampungan, sopan santun tak belaka ujaran. Kuat dan mendaging sebagai budaya yang lumrah menjadi hukum sosial. “Jika tidak sopan, akibatnya dikonotasikan negatif alias ada yang tak beres.” Ujar kawan saya.
Maka dalam tradisi islam, ada istilah “yasmuth” yang berarti diam. Diam merupakan jalan ikhtiyar setelah upaya untuk berbuat baik tapi tidak bisa. Man kaana yu’minu billahi wal yaumil aakhiri fal yaqul khoiron aw liyasmuth. Jika tak mampu berujar yang baik, maka langkah diam adalah upaya terbaik.
Term “yasmuth” tak belaka ikhtiyar yang stagnan (tak bergerak). Sebab tiap diam bukan berarti tak bermakna dan tak bernilai. Pun diam tak melulu sebuah pembiaran. Sebab term “yasmuth” tak sama dengan “sukut” yang juga bermakna “diam”. Sukut berarti diamnya (akibat), tapi yasmuth adalah ikhtiyarnya (sebab yang berunsur upaya) atau dorongan antisipatif untuk menghindari keburukan yang berakibat menyakiti yang lain.
Soal diam, pepatah arab menyatakan–Salamatul insan fii hifdzil lisan–keselamatan manusia terletak pada lisannya. Betapa pentingnya menjaga lisan sehingga keselamatan diukur dari sejauh mana kita kreatif memandu lisan. Maka demikian, perlu kiranya sebuah pemahaman dan sudut pandang yang luas dan keluhuran untuk membiasakan sebuah penerimaan.
Sehingga keberadaan lisan mampu privatif dalam diri sendiri lalu mengantarkan kita pada sebuah kebijaksanaan. Akibatnya, sekitar merasa nyaman dan mampu menjalin relasi tanpa membangga-banggakan diri lalu memandang yang lain dibawah kita.
Sebab dengan menjaga lisan, tensi dalam menggeser penghakiman kepada diluar kita akan lebih tegak dan mantap. Sebab sekitar adalah akibat dari sejauh mana lisan, sikap, dan prilaku kita dimuarakan.
Dengan menjaga lisan, kita akan terbiasa memposisikan kebenaran semata-mata hanya milik-Nya. Sebab kita sekedar berupaya berjalan di jalan yang kita yakini benar, tanpa harus fanatik mempersalahkan jalan orang lain yang tak dijalan kita.
Dengan menjaga lisan, kita tidak kemudian terdikti oleh komentar-komentar siapapun. Sebab esensi penghambaan tak lain belaka bersimpuh sebagai ciptaan yang sekedar diperintah untuk berbuat baik tanpa harus membalas tiap-tiap kejahatan siapapun diluar kita.
Dengan menjaga lisan, kita sadar bahwa prilaku keji tak belaka hal yang harus dipandang buruk. Tapi menundukkan kepala lalu memberi contoh, akan lebih baik dari pada mencabik-cabik sisi kemanusiaan mereka dengan membiasakan membangun persepsi dan justifikasi buruk atas mereka.
Dengan menjaga lisan, esensi maaf-memaafkan adalah puncak dari permenungan mendalam yang sangat esensial dalam mengutamakan kedamaian dan memantapkan ikatan persaudaraan antar sesama ciptaan.
Maka menjaga lisan (yasmuth–diam) berarti mengalihkan ruang larangan-larangan (tidak baik) kepada ruang anjuran-anjuran (baik) sebagaimana yang telah ditelandankan para pendahulu (asaabiquunal awwalun). Rupanya perintah untuk mengikutkan kebaikan dalam keburukan, serta menggauli manusia dengan adab yang baik, telah jelas diseru dan diperintakan, bukan? (HR. Tirmidzi).
* Gus Afif | Founder Padepokan Nyai Surti. Imam Besar Penyeru #AntiReuni212 yang ditulis di Badean Bondowoso, 03 Desember 2019