HeadlineIqro'

Somad dan Minusnya Akhlak Berbangsa

MOHAMAD BAIHAQI ALKAWI

USTAD ABDUL SOMAD. Hmm….saya fikir ceramah-ceramahnya cukup menghibur. Mungkin bagi anda yang suasana hatinya lagi marah-marah atau lagi susah karena pacar terus minta quota pulsa, hmm….nonton Ustad satu ini pasti pas!. Tirulah saya, susah-susah dikit pasti nonton Somad. Dan untuk anda tau, Selain channel Andre, Sule dan Cak Lontong, salah satu Channel yang saya Subcribe dan saya sukai ya…Channel Ustad Somad.

Cuma akhir-akhir ini saya agak heran, ustad lucu ini kok tiba-tiba kayak Panadol, tak peduli itu Sakit Migrain, Sakit belakang Leher atau sakit kepala lainnya, semua jenis sakit kepala dijawabnya dengan panadol.

Mungkin maksud Ustad Somad baik. Menunjukkan kepada ibu-Ibu majelis ta’lim dia jagonya merespon pelbagai persoalan. Tapi ini kan bukan acara Mario Teguh Golden Ways. Ini soal agama, jadi tak cukup hanya dijawab sebaris dua baris kata-kata.

Kasus “Setan Kafir dibalik Salib” Contohnya. gara-gara dijawab ustad ini, isunya jadi mengalir kesana-kemari. Yang kemarin nunggu-nunggu momen akhirnya berkesempatan buat demo lagi. Mengkhawatir rusaknya kerukunan antar agama, antar warganegara, antar sesama manusia di negara Indonesia. Kata seorang teman, Somad jauh-jauh belajar ke Mesir tapi gagal belajar soal kepekaan soal dan akhlak. Mungkin teman saya berlebihan, tapi saya tak sepenuhnya juga salah.

Akhlak Dan Perilaku Sosial Berbangsa

Islam menganjurkan umatnya untuk memberi kasih dalam berdampingan dengan siapapun. Jangankan manusia, dengan binatang dan seluruh alam juga demikian. Bahkan sama jin sekali pun, bila bisa. Itulah kenapa pemaknaan secara sosial tak cukup hanya dimaknai hubungan antar sesama manusia. Tapi juga dengan seluruh alam. Kata orang, peradaban kita sudah bergeser dari antroposentris menuju ekosentris.

Makanya Nabi Muhammad dalam setiap ajarannya selalu menekankan pentingnya menjaga keharmonisan secara sosial. Hal itu tampak misalnya dari contoh yang paling lazim yakni hadirnya Piagam Madinah. Bahkan saat perang nabi dengan tegas melarang pasukannya menebang pohon atau merusak lingkungan.

Itu sebabnya Nabi Muhammad tidak pernah ingin membangun monumen fisik. Melainkan membangun monumen sosial yang diwujudkan dalam nilai-nilai hidup dan ajaran-ajaran yang menjunjung tinggi kehidupan sosial untuk melawan sikap asosial dan dehumanisasi.

Salah satu perilaku asosial adalah ketakutan untuk mengaku kesalahan dan menghindari permohonan maaf. Itu semua lahir karena arogansi. Arogansi lahir karena monopoli kebenaran kelompok. Tanpa melihat kelompok lain.

Dalam kehidupan sosial bukankah kita dituntut peka. Hati yang keras hanya akan menimbulkan konflik dimana-mana. Kalau sudah begitu banyak orang mengernyitkan dahi jadinya. Akhirnya ribet begini. Jadi urusan negara pula. Main lapor sana-sini, padahal soalnya bisa diselesaikan dengan kerendahan hati.

Cuma karena Somad tak punya kerendahan hati akhirnya malah menyatakan sikap arogan yang berbahaya bagi kehidupan sosial. Berbahaya bagi kesatuan Bangsa. Dan mengancam toleransi yang telah terbangun lama sebagai corak eksistensi Bangsa kita.

Ceramah agama yang muasalnya untuk memberi gambaran pentingnya menjaga tatanan sosial akhirnya berujung mudharat. Parahnya di tengah kondisi bernegara macam ini, tak sedikit pihak memanfaatkan momen seperti ini dengan agitasi-agitasi feodal. Demi aqidah lah, bela ulama lah. Tapi ulama macam apa yang dibela-bela itu.

Soal monopoli kebenaran itu tadi memang menjadi gejala yang menghantui tatanan sosial kita. “Cuma agama saya yang benar,” adalah pernyataan yang tak sepenuhnya keliru. Hanya saja monopoli semacam itu berbahaya dan berdampak pada sikap sosial kita dalam wadah yang plural ini.

Kalau ditilik lebih jauh, kita tahu, Islam adalah salah satu agama samawi yang punya relasi kuat dengan tradisi agama samawi lainnya. Bahkan secara spritual semua agama punya dimensi dan tujuan yang sama. Hanya jalan kita yang berbeda menuju Tuhan dalam persepsi masing-masing.

Pandangan dasar di atas tentu saja sudah lazim kita dengar. Sudah banyak ditentang pula sih. Tapi ya, yang nentang mungkin orang yang belum ingin paham bagaimana sejarah agama-agama ini secara sosial. Istilah kerennya sosiologi agama.

Makanya sudah sewajarnya hal-hal ini bisa diketahui dengan baik. Baru bisa ceramah ke sana ke mari. Tidak cuma membuat jamaah menertawakan orang juga perlu diajarkan bagaimana menertawakan dirinya sendiri. Melihat laku personal yang seperti kerikil. Kecil tapi membahayakan.

Ternyata yang diuji sekarang bukan kecepatan menjawab soal dan pertanyaan, melainkan ketepatan merespon masalah kepekaan sosial dengan akhlakul karimah.

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button