
YUSUF TANTOWI |
Orang NU sendiri banyak yang tidak tahu dan tidak mau tahu cara berpikir kyai, tuan guru dan ulama NU. Apa lagi orang yang bukan NU yang memang tidak suka dengan NU atau memang tidak mau cari tahu dengan cara berpikir orang NU. Tapi itu masih wajar asalkan tidak sebar fitnah tokoh-tokoh NU.
Bila direkap akan panjang daftar pikiran-pikiran yang membuat orang gagal paham tentang NU. Cara berpikir orang NU kadang polos, sederhana, aneh bahkan menghentak. Sesuatu yang tidak dipikir oleh orang, malah dipikirkan oleh orang NU. Sesuatu yang menurut orang sudah umum, lazim – malah di ‘otak -atik’ dalam forum Bathsul Masail NU.
Kalau mau melihat cepat cara berpikir orang NU itu, lihat lah cara berpikir seorang Gus Dur. Pernyataannya kerap kali menghebohkan tapi punya dalil & argumentasi yang kuat. Mulai “Assalamualaikum” boleh diganti dengan ungkapan, “Selamat Pagi”. “Tuhan tidak perlu dibela” yang perlu dibela itu orang-orang lemah dan lain-lain.
Pada Munas NU di Banjar, Jawa Barat kyai-kyai NU mengeluarkan rekomendasi hasil Bathsul Masail untuk tidak menggunakan istilah kafir boleh pada orang non muslim. Menggunakan istilah non Muslim dianggap istilah yang tepat sebagai bahasa komunikasi dengan umat agama lain sesama anak konteks bangsa.
Tindakan itu dianggap upaya preventif solutif untuk menghindari dan mengurangi potensi gesekan antar warga negara yang berbeda agama oleh istilah-istilah yang bisa memancing ketersinggungan, diskriminasi dan segregasi sosial antar anak bangsa. Bagi yang melihat keputusan itu dengan kacamata positif, hal itu dianggap buah ijtihad dari proses pergumulan sosial yang berpikir maju dan berani. Lebih-lebih itu datang dari kelompok yang sering dicap tradisional.
Kebijakan NU yang menolak pembentukan negara Islam Indonesia sampai hari ini alasannya tidak masuk dipikiran banyak pihak termasuk anak cucu para pejuang negara Islam dimasa lalu. Jadi jangankan orang luar, orang NU juga banyak yang tidak paham alasan dan argumentasi wacana itu dimunculkan.
Bagi kelompok lain, banyak yang menganggap itu sebagai bentuk “kekurang kerjaan”nya atau “kenakalan”nya orang NU. Padahal warga NU itu mayoritas tinggal di desa lho, suka tahlilan dan rowah meski kondisi paceklik. Kenapa tidak sibuk nyari kerja, uang aja. Dengan kondisi seperti itu masih sempat-sempatnya melemparkan dan mendiskusikan wacana-wacana nakal yang dilempar kepada publik.
Manusia jenis apa sih orang NU itu ? Kok mereka paling depan tolak ide negara islam, mati-matian bela PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45). Paling berani tolak khilafah dengan simbol bendera meski resiko difitnah & bully dimana-mana – siang malam, pagi sore.
Tauhid orang NU itu dihati, pikiran dan amaliah sehari-hari bukan disepotong bendera. Siang malam zikir, tahlil & tirakat dengan kalimat syahadah. Tidak perlu teriak-teriak – kalimah itu sudah menyatu dalam ibadah, tradisi & budaya orang NU – dari sejak lahir sampai meninggal.
Bagi santri NU, bab tauhid sudah diajarkan pada kitab-kitab dasar dipesantren ketika awal-awal jadi santri. Bersamaan dengan bab thoharoh ( bab tentang membersihkan diri dari berbagai macam nazis ). Hati-hati ngajarin santri tentang tauhid bisa-bisa ditertawakan nanti.
Hari Santri Nasional (HSN) yang ditanda tangani Jokowi tahun 20014 saja ada Ormas besar dan kecil yang nyata-nyata membuat gerakan penolakan kepada presiden. Sampai seorang politisi paling jago bicara bilang, HSN itu ide sinting. Begitu juga Undang-Undang Pesantren yang ditetapkan beberapa waktu lalu, Ormas itu menolak lagi. Mungkin bagi mereka semua yang dilakukan orang NU salah.
Ketika ada kyai, tuan guru dan kader-kader NU yang protes pada komposisi kabinet dari unsur NU non partai, orang-orang itu seperti mendapatkan bahan dan kesempatan besar untuk membully dan mengolok-ngolok orang NU dengan berbagai cara.
Baiknya orang-orang yang sering menjadi orang NU sebagai paham bully-an dan olok-olok – pelajari, pahami dan bertanya terlebih dahulu kepada ustadz, kyai, tuan guru dan tokoh-tokoh NU sebelum berkomentar. Sayangkan tindakan tidak baik itu dijadikan ‘langganan’ dan terekam oleh publik. Bisa jadi para “ahlul bully” itu menunjukkan ketidaktahuan, kebodohan dan ketidakmampuannya memahami – mengikuti alam pikiran orang NU.
“Kita harus tetap bersyukur” kata seorang tuan guru muda yang asyik ditemani diskusi meski beliau agak kesal. Dibully dan diolok-olok masih saja ungkapkan syukur.
Orang-orang NU itu sudah biasa disalah-salahkan dan disalah pahami oleh orang atau kelompok yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti alam pikiran orang NU.Jabatan politis itu paling satu sampai dua periode, cinta warga NU pada agama dan bangsa tidak mengenal yang namanya periode. Itu penting kita sampaikan.[]
*Aktifis dan Penulis Nahdlatul Ulama NTB