Kampung Media & Kopi Wangi-Wangi Isi Ulang
“Saya sendiri mengamati salah satu kunci keberhasilan pengelolaan kampung media terutama diawal-awal kelahirannya – gaya atau strategi pengelolanya mendekati komunitas-komunitas anak muda untuk mau menulis dan berbagi cerita tentang diri mereka.”
YUSUF TANTOWI
Cukup lama tidak bersua dengan founder www.kampung-media.com Fairuz Abu Macell ini. Tiba-tiba ia nelpon sudah pindah diposisi baru sebagai Kabid Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Propinsi NTB. “Suasana dan tantangan baru” katanya pria yang sebelumnya menjabat sebagai Sekdis Kominfo dan Statistik NTB ini.
Portal kampung media memang cukup berhasil “menebarkan wangi” bagi Dinas Perhubungan & Kominfo NTB ditingkat lokal dan nasional – sebelum mekar menjadi dua dinas terpisah. Kampung media juga mendapatkan berbagai penghargaan nasional yang juga diterima gubernur saat itu bahkan sekarang diduplikasi oleh Kementrian Kominfo RI.
Keberhasilan kampung media itu memantik berbagai daerah kabupaten – kota membentuk Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) dengan menggandeng berbagai kemunitas masyarakat.
Pengelola kampung juga beberapa kali diminta presentasi keberhasilan pengelolaan & pengembangan kampung media dihadapan para ahli IT dan media sosial.
Saya sendiri mengamati salah satu kunci keberhasil pengelolaan kampung media terutama diawal-awal kelahirannya – gaya atau strategi pengelolanya mendekati komunitas-komunitas anak muda untuk mau menulis dan berbagi cerita tentang diri mereka.
Komandan kampung media itu kerap kopdar (kopi darat) dengan berbagai komunitas pemuda dan ormas diberbagai kabupaten/kota di NTB. Pertemuan-pertemuannya pun menggunakan pendekatan personal, pertemanan dan jaringan yang dibuat santai sambil nyeruput kopi.
Pendekatan itu menurut saya tidak lumrah dilakukan oleh orang birokrasi dalam mengelola program. Orang birokrasi sering kali mengutamakan aturan birokrasinya ketimbang keberhasilan program. Bukan saja dalam implementasi program tapi juga pola komunikasi dan interaksi dengan masyarakat. Hal itu yang kadang jadi kendala berbagai program pemerintah yang kental dengan aturan dan protokoler birokrasi.
Kampung media juga bagi saya bagian dari gerakan literasi menyongsong dunia digital. Gerakan mengubah kebiasaan lisan menjadi tulisan. “Sampaikan informasi baik itu kepada masyarakat walau itu sepotong ayat” katanya mengulang-ngulang kalimat itu sebagai senjata untuk memotivasi orang menulis dikampung media.
Lalu hubungan kampung media dengan kopi wangi-wangi apa ? Ya, tidak ada hubungan. Kan mereka tidak bisa pacaran, selingkuh apa lagi kawin. Mereka dua entitas yang berbeda – program dan bisnis.
Saya hanya tertarek melihat botol yang diletakkan diatas meja itu. “Sejak kapan ketua PCNU Kota Mataram ini koleksi obat kuat atau minyak oles” pikir saya.
Ee ternyata itu intisari kopi yang diberi brend, Caffe Wangi-Wangi. “Ini kopi produksi lokal, kuwalitas premium” katanya sambil menyodorkan gelas mini ala gelas kurcaci.
Jangan tanya harganya sobat. Satu botol dihargai 15 ribu. Botolnya saja seharga 50 ribu. Kalau sudah punya botolnya, bisa dibawa untuk isi ulang layaknya air galon isi ulang dicafe Hotel Paradiso.
Setahu saya kopi itu diseduh ya sob, ee ini diisi ulang. Seduhnya pakai gelas, bukan cangkur. Lalu rasanya – rasanya tentu rasa kopi. Kopi sekali, bukan rasa air galon isi ulang.[]
*Penulis Muda Nahdlatul Ulama