Iqro'

Konsistensi Gus Dur dan Tuan Guru Haji Lalu Faisal

Beberapa hari setelah wafatnya Tuan Guru Haji Lalu Faisal (70) pada 3 Februari 1995, Gus Dur menulis di Harian Kompas; “Tuan Guru Faisal, Potret Kepribadian NU” (Jum’at, 23 Februari 1998). Dalam tulisan itu, Gus Dur mengakui dan memuji-muji konsistensi Tuan Guru Penggerak NU di Lombok Itu.

Moh. Baihaqy Al Kawi

Diceritakan Gus Dur, saat Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Gus Dur dan Tuan Guru Faisal berdebat mengenai kembalinya NU ke Khittah tahun 1926. Gus Dur berpandangan, Khittah NU sebagai jalan mengembalikan NU secara organisatoris, tidak berpihak kepada kekuatan politik mana pun.

Di forum, Gus Dur menegaskan, tidak mau memilih apa pun, siapa pun, atau memberikan dukungan terbuka karena hal itu bagian dari hak asasinya sebagai warga negara. “Tidak harus mengajak orang lain dan tidak akan memberitahukan kepada orang lain: mana yang saya pilih dalam pemilu dan mana yang tidak,” tegas Gusdur saat itu.

Sementara itu, Tuan Guru Haji Lalu Faisal memiliki perspektif berbeda. Menurutnya, Khittah NU  hanya sebatas tidak boleh merangkapnya warga NU dalam kepengurusan. Karena itu, warga NU boleh saja menunjukkan simpati pada partai politik tertentu asal tidak menjadi pengurus.

Perdebatan berlangsung hingga pagi dan tak ada titik temu. Meski demikian, kedua tokoh NU tersebut sebenarnya ingin mewujudkan keinginan yang sama, mencintai NU sebagai Jama’ah sekaligus sebagai Jam’iyah.

Sebab itulah, Gus Dur menyebut Tuan Guru Faisal potret pemimpin NU sejati. Walaupun berbeda dengan tokoh NU yang lain, Tuan Guru Faisal tetap mengutamakan akhlak dan persaudaraan.

Di NU kata Gusdur, ada tiga jenis persaudaraan yang harus terjalin baik. Pertama Ukhuwah Islamiyah (Hubungan persaudaraan antar umat Islam), Ukhuwah Basyariyah/Insaniyah (persaudaraan antar umat manusia), Ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar negara dan bangsa).

Tuan Guru Faisal telah mempraktikkannya, mencoba bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda, tetapi tetap bersaudara, seperti yang pernah dikatakan oleh K.H Wahab Hasbullah, salah satu tokoh pendiri NU.

Gus Dur semakin kagum pada Tuan Guru Faisal ketika Ulama Lombok tersebut berwasiat kepada keluarganya, kalau dirinya wafat maka orang pertama yang harus dihubungi dan diberitahu di Jakarta adalah Abdurrahman Wahid. “Bukan PBNU-nya”, tulis Gus Dur di esai itu.

Gus Dur pun merasa kehilangan tokoh yang memiliki karekter dan konsistensi yang tak mudah digoyahkan. “Beliau mempunyai sikap konsisten dan menunjukkan kecintaan mendalam pada NU sampai wafatnya,” ungkap Gus Dur.

Mungkin tulisan tersebut adalah salah satu cara Gus Dur mengangkat tokoh-tokoh lokal NU. Meski esai tersebut terbit setelah Tuan Guru Faisal wafat, namun perlu dicatat, Gus Dur dan Tuan Guru Faishal adalah dua tokoh yang pernah terlibat aktif sebagai pengurus partai. Keduanya berjuang lewat politik kebangsaan yang dibingkai dengan pandangan keislaman.

Tuan Guru Faisal seperti yang ditulis Gus Dur bertahun-tahun silam adalah sosok yang menyatu dengan masyarakatnya. Ia rela meninggalkan politik demi NU—yang baginya sebagai, suara umat, titian Jama’ah. NU diposisikannya sebagai cermin sekaligus simbol masyarakat. Baginya, NU semisal kapal yang membawa jama’ah berlayar. NU juga merepresentasikan wajah jama’ah.

Tuan Guru Faisal konsisten dengan pilihannya. Sebagai sosok ulama yang cukup populer di kalangan masyarakat Lombok, Tuan Guru Faisal adalah contoh yang bisa dijadikan pondasi pijak. Ketika terlibat dalam politik ia konsisten berjuang demi cita-cita umat. Itu sebabnya masyarakat punya kepercayaan penuh terhadapnya.

Tuan Guru Faisal adalah representasi umat dan ter-cover dalam organisasinya. Sebab itulah, Tuan Guru harus mempunyai satu wadah bersama, satu tujuan bersama yang kuat, tak mudah goyah oleh tawaran politis praktis. Tuan Guru butuh sebuah ikatan yang merepresentasikan suara jama’ah. Tempat berpegang atas dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Ikatan itu adalah Nahdlatul Ulama.

NU sebagai organisasi yang telah melewati sekian macam badai secara politik maupun secara keagamaan, akan terus melahirkan tokoh-tokoh semacam Gus Dur dan Tuan Guru Faisal. Keduanya bergulat dalam arus yang tak mudah ditempuh oleh banyak kalangan. Mereka berani demikian, karena sudah melampui kepentingan dirinya.

Itu sebabnya kedaunya, punya pendapat dan sikap yang tak mudah digoyahkan. Konsistensi kedua tokoh teladan tersebut patut terus dirawat sebagai bagian dari karakter jamaah NU.[]

*Mohamad Baihaqi Al Kawi, Gusdurian Lombok, Mahasiswa Pascasarjana Pemikiran Islam di UIN Sunan Kalijaga Djogja

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button