EkbisHeadlinePertanian

PBNU : Kebijaka Impor Beras, Bunuh Jutaan Petani Indonesia.

JAKARTA – QOLAMA.COM | Rencana pemerintah pusat hendak melakukan impor beras dengan alasan memenuhi persediaan beras dalam negeri, dalam waktu dekat dinilai bisa membunuh jutaan petani di seluruh Indonesia

“Impor beras yang akan dilakukan pemerintah dalam waktu dekat ini berarti sama dengan membunuh jutaan petani di Indonesia” kata Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H. Mochammad Maksum Machfoedz sebagaimana dikutif dari situs NU online, Kamis 25 Maret 2021.

Menurutnya, impor memang sangat mudah. Bahkan dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Sebab, harga beras di luar negeri sangat murah lantaran perekonomian di sana baik.

Berbeda dengan di Indonesia, biaya produksi pertanian mahal. Karena mengusahakan suatu kegiatan ekonomi yang skalanya pas-pasan. Karena pas-pasan, pasti mahal. Itu rahasia kalau (harga beras) di Indonesia pasti mahal.

“Tapi apakah petani harus di bunuh dulu, sehingga kepemilikannya nanti besar, baru produksi berasnya bisa efisien. Apa harus seperti itu? Ya tidak, harus punya pilihan. Mau melindungi atau membunuh petani? Kalau mau membunuh petani ya silakan impor saja” katanya.

Tentu pilihan yang baik adalah dengan melindungi dan melakukan proteksi terhadap kehidupan ekonomi para petani. Konsekuensi dari proteksi ekonomi petani kecil itu adalah dengan cara membatasi importasi. 

Mengingat karakter ekonomi pangan di Indonesia pelakunya adalah petani sangat kecil. Tapi jangan lupa, itu jutaan orang yang harus dilindungi.

Lebih lanjut Guru Besar Agroindustri Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut menegaskan, pemerintah mestinya mengambil pertimbangan bahwa impor beras akan menghancurkan kehidupan jutaan rakyat kecil yang butuh hidup dan memproduksi padi, meskipun biaya produksi mahal.

Tidak boleh membangun kebiadaban terhadap petani, kalau lebih memilih proteksi mereka secara ekonomi. Teman-teman bilang, impor saja murah kok, produksi mahal begini. Ya sampean tinggal milih, yang kecil-kecil kita bunuh dulu, baru tata ekonomi atau bagaimana.

Hingga kini, sama sekali tidak ada panduan untuk kebijakan perberasan nasional, kecuali Inpres tersebut dijadikan landasan. Namun di dalam Inpres itu, menurut Maksum, ditetapkan harga yang terlalu rendah dan masih berlaku sampai hari ini. 

“Jadi Inpres itu harus dibijaki. Karena kalau tidak, dinaikkan tanpa mengubah Inpresnya. Jadi sebenarnya kan keliru itu, tidak memperbaiki Inpresnya tapi menaikkan angka-angkanya,” tutur Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini.

Maksum mengaku pernah sampaikan ke Presiden Jokowi bahwa sebelum BPS diputuskan sebagai lembaga resmi yang legal berhak atas data, itu dulu saya punya tiga data. Jadi kalau mau impor ada datanya.

Tetapi kasus impor ini terjadi persilangan data di antara beberapa kementerian. Artinya, data soal beras tidak ada sumber atau acuan yang jelas. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi misalnya, melihat kalau harga beras bakal naik sehingga harus impor dari luar negeri. Sebab, Indonesia bisa-bisa tidak punya cadangan beras jika harga naik dan tidak impor.

“Kemudian disetujui oleh Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto). Ekstremnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (mengatakan) surplus beras kok impor. Itu (perbedaan data dan pendapat) selalu terjadi. Barangnya (beras) sama. Kejadian perekonomian nasional sama. Tapi bisa dimaknai macam-macam,” terang Maksum. 

Sebelumnya, Akademisi Universitas Islam Malang (UNISMA) Supriyanto menyebutkan, dampak paling bahaya jika impor beras benar-benar dilakukan pemerintah Indonesia adalah para petani akan mogok menanam padi.

“Ini dampak yang paling bahaya, petani enggan menanam padi. Kita akan menjadi importir beras dan itu akan memperburuk keuangan kita secara APBN. Jadi kalau pemerintah ekstrem (impor beras), petani akan mogok menanam. Duit negara akan habis hanya untuk membeli beras,” jelasnya.

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button