Sebuah Resume atas Pemikiran Andi Rosa dalam Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual al-Quran
Oleh: Ahmad Moehdor al-Farisi*
Membaca artikel Mohammad Andi Rosa Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual dalam Kajian Teks al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw. (Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02 (Juli-Desember) 2015) mengingatkan saya pada gagasan Quraish Shihab perihal Membumikan al-Quran (2000).
Sebelum buku sakti itu muncul ke permukaan yang kemudian ramai diperbincangkan, kita sudah beberapa kali berbenturan dengan logika Immanuel Kant dalam pembuktian yang ia anggap sangat lemah mengenai wujud Tuhan meskipun ia sendiri sepenuhnya percaya akan adanya sesuatu yang transendental. Filsuf yang memilih jalan hidup membujang seumur hidup ini mengembangkan filsafat kritisisme, sebuah pendekatan untuk menolak nilai-nilai dogmatis yang diusung oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Menurutnya ‘penampakan objek’ bukanlah ‘objek’.
Kemampuan subjek menerima representasi objek adalah sensibilitas atau kemampuan mengindrai. Wujud ‘penampakan’ objek dari hasil pengindaraannya itu dibangun oleh unsur materi (a posteriori) dan unsur bentuk (a priori). Dari situlah Kant menguji kesahihan pengetahuan, karena menurutnya tidak seluruh pengetauan berasal dari pengalaman, akan tetapi dibentuk oleh intuisi. Yang ditangkap sebagai ‘penampakan’ adalah sintesis objek terhadap subjek, yang tampak hanya kelihatannya sebagai pengetahuan atas benda, padahal sebenarnya dia sudah ada dalam diri benda itu sendiri (das Ding an Sich). Inilah dasar mengapa Kant ingin menguji kesahihan metafisika dengan memunculkan pertanyaan apakah metafisika bisa memberikan pengetahuan yang pasti mengenai Tuhan? Dan mungkinkah metafisika bisa memperluas pengetahuan kita tentang kenyataan? (Budi Hardiman, 2004: 131-138).
Kemudian, bagaimana dengan al-Quran, apakah ia suatu ‘benda’ atau konsep yang memanifestaikan dirinya ke dalam wujud bunyi? Untuk hal ini Inayat Khan punya pandangan yang menarik. Menurutnya bunyi itu muncul dari ruh, hati dan pikiran. Inayat Khan menggunakan media menyanyi atau berbicara sebagai studi kasusnya. Sebelum seseorang menyanyi atau berbicara, di dalam pikirannya sudah ada keinginan untuk bernyanyi atau berbicara. Andai saja seseorang tidak punya pikiran itu, maka dia tidak akan menyanyi atau berbicara. Dan sebenarnya pikiran untuk menyanyi atau berbicara sebelumnya sudah dibangun oleh perasaan yang menyebabkan timbulnya pikiran tersebut (Hazrat Inayat Khan, 1996: 21). Dalam hal ini, al-Quran yang diucapkan Muhammad saw. kepada umatnya waktu itu apakah ia muncul tiba-tiba begitu saja, atau sebelumnya ada perasaan yang membangun pikirannya untuk melafalkan ayat-ayat yang kemudian dinisbahkan sebagai kitab suci dalam Islam? Jika ada perasaan yang mendasarinya untuk mengucapkan ayat-ayat tersebut, lantas apa atau siapa yang membangun perasaan Muhammad saw. itu? Saya kira kita sama-sama tahu bagaimana jawabannya jika kita berlandaskan pada pemikiran Kant di atas, dan ini menarik untuk dikaji melihat posisinya yang sebagai konsep tetapi juga bersifat dogmatis.
Memang al-Quran yang datang untuk membuka lebar-lebar mata manusia tidak ditemukan satu ayat pun yang menguraikan bukti wujud Tuhan. Kalaupun ada, pembuktiannya hanya sebatas penguraian keesaan-Nya belaka. Sekadar media untuk mengetuk hati manusia supaya menyadari hakikat keberadaannya di muka bumi. Pada posisi itu al-Quran mengajak manusia untuk berpikir sekaligus menawarkan penafsiran setiap simbol yang nampak pada setiap ayatnya. Sebuah tawaran yang menantang, karena di samping secara tidak langsung menampar manusia yang gemar tepuk tangan atas keberhasilan akalnya dalam pembuktian wujud Tuhan yang sejatinya pembuktian itu juga dapat ditolak oleh akal pula, al-Quran juga memberikan tawaran atas nama keselamatan berupa petunjuk yang terdapat dalam setiap larik kalimatnya.
Tidak jarang saya sendiri mendengar pernyataan yang sekaligus menjadi semacam kepastian bahwa mempelajari al-Quran merupakan kunci sukses di dunia dan akhirat. Bagimana tidak, lanjut yang menyatakan tadi, semua problematika hidup semuanya sudah dibahas tuntas oleh al-Quran. Bahkan, al-Quran memberikan petunjuk atas semua problematika yang ada di dunia. Terlepas percaya atau tidak, sebenarnya ada sesuatu yang luput untuk disampaikan yang tidak jarang membuat saya sendiri kadang merasa bingung. Sebagai jebolan sarjana susastra sedikit banyak saya mempelajari ilmu majas. Betapa rumitnya untuk memecahkan sebuah makna yang terselubung dalam simbol kata. Dan bukankah al-Quran adalah sekumpulan kata-kata yang dipenuhi misteri simbol-simbol yang suci. Bagaimana pernyataan di atas bisa melesat begitu saja ke khalayak tanpa dibarengi pemahaman atas setiap ayatnya, tanpa dibekali ilmu tafsir yang memadai dalam proses pemaknaan pesan-pesannya. Lebih-lebih pernyataan itu sering disampiakan oleh sekelompok orang yang baru kemarin sore memanjangkan jenggot sebagai legalitas kesalihannya. Saya kira inilah salah satu penyebab mengapa kaum Muslim tidak lagi tergerak untuk membaca lebih dalam dan belajar tafsir dengan serius.
Mereka lupa bahwa masyarakat tidak hidup dalam lingkaran kecil keluarganya saja. Lebih-lebih kaum akademisi yang tidak sekali dua kali keyakinanya goyah setiap kali akal dan pikirannya dibenturkan dengan kajian kontekstual mengenai Tuhan dan firman-Nya. Itulah yang disayangkan, semestinya pernyataan-pernyataan semacam itu disertai pula dengan kajian yang serius, paling tidak menyinggung salah satu metode tafsir sebagai rujukan sah sebagai pertanda apa yang disampaikannya bukan sekadar jual-beli retorika belaka.
Pencarian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertinggi memang sukar untuk tidak ditarik ke ranah proposisi-proposisi matematik Sang Pencipta yang tak terhingga. Karena pada hakikatnya eksistensi fisik tidak dapat diakarkan pada sesuatu yang terhingga. Kepercayaan bahwa ketakterhinggaan bersifat paradoksal bukan hanya menyandera pemikiran kaum pemikir Muslim, melainkan juga para pemikir kepercayaan di luas Islam. Sebut saja misalnya Plotinus, pemikir Kristen yang menyatakan bahwa Tuhan adalah tidak terhingga dalam hal apapun. Begitu juga dengan Aquinas yang juga mengakui bahwa Tuhan adalah ketakterhinggan yang memiliki lebih dari sekadar eksistensi potensial yang bertentangan dengan eksistensi aktual (Paul Davies, 1992: 229-230). Pertanyaannya kemudian, jika hakikat ketakterhinggan Tuhan dapat ditangkap atau bahkan dimanipulasi oleh pemikiran rasional, apakah ini merupakan jalan untuk sampai pada pemahaman atas benda-benda tanpa membutuhkan pendekatan mistisisme?.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mircea Eliade (1987) bahwa, dalam pandangan manusia yang beragama alam hanyalah kodrat yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan, yang kemudian memunculkan pemahaman bahwa kosmos adalah ciptaan Tuhan, sebuah “firman” yang suci. Hal ini bukan semata-mata kesakralan belaka seperti halnya suatu tempat atau benda yang disucikan. Tuhan memanifestasikan sesuatu yang mistis dalam struktur dunia dan fenomena kosmik sehingga dalam merenungkannya manusia beragama mampu menemukan banyak nilai-nilai dari kesakralan dan makna keberadaan. Dunia ini ada dan mempunyai struktur, ia bukanlah sebuah “kekacauan” melainkan sebuah kosmos yang menandakan bahwa dirinya sebagai ciptaan. Sebagai karya Tuhan yang transparansi, yakni secara tidak langsung menyingkapkan berbagai aspek kesucian. Sebagaimana langit, secara alamiah ia mengungkapkan jarak yang tidak terbatas, mengungkapkan transendensi ketuhanan. Begitu juga dengan bumi, ia menampilkan dirinya sebagai ritme kosmik dalam wujud keteraturan, harmoni, dan kesuburan. Kosmos secara keseluruhan adalah suatu organisme yang nyata, hidup, dan sekaligus mengungkapkan keberadaan sesuatu yang mistis. Pertemuan antara ontofani dan hierofani (Mircea Eliade, 1987: 116-117).
Andai alam semesta ini adalah output komputasional tertentu, mungkin kita bisa melacak secara program atau melalui algoritma tertentu untuk mengetahui dari mana deskripsi tentang dunia dapat diperoleh, lengkap dengan numerik atas kuantitas fisik yang dapat diukur. Mengenai hal ini Donald B. Calne (1999) mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak mampu dijawab secara rasional: Mengapa kita di sini? Mengapa kita menderita? Mengapa kita mati? Ada apa setelah mati? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mampu disentuh oleh metode pengujian apapun dengan bukti (verification). Tidak satu pun dari pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab sebagaimana jawaban yang dipakai untuk memahami bagaimana dunia bergerak. Agama bisa bertahan karena mampu memberikan kepuasan atas serangkaian keinginan melalui penegasan-penegasan bahwa kita sanggup mengubah masa depan dengan doa. Dari sinilah agama akan memberikan kebahagiaan (happiness) kepada banyak orang dan ekstase (ecstasy) pada orang tertentu. Sumber dari semua itu dalah iman yang di dalamnya meliputi intuisi, ilham dan wahyu yang dituliskan jadi ayat-ayat yang memberikan kekuatan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Untuk memanifestasikan semua itu, para ahli agama kemudian menggunakan nalar untuk menjalankan praktik keagamaannya, hal itu untuk menjaga supaya agama tidak ketinggalan zaman (Donald B. Calne, 1999: 148-149). Manusia dapat menyempurnakan cara-caranya dalam menangkap realitas, menunjukkan sifat-sifat realitas, dan mencari sebab-sebab suatu realitas. Manusia tidak terbatas menemukan sesuatu, tetapi juga mempertanggungjawabkan penemuanya dengan dasar-dasar. Dengan demikian pengetahuan belumlah disebut ilmu jika tidak disertai pandangan, penelitian yang logis, kritis dan sistematis. Fakta bahwa manusia megerti akan makna kemengertiannya itu juga dapat menjadikan manusia mampu “memandang” objek yang tidak material. Manusia dapat berpikir tentang pikirannya, dapat menyelidiki caranya berpikir, bahkan dapat menyelidiki sampai ke hukum-hukum, bentuk-bentuk, pun prinsip-prinsip pikiranya sendiri. Pada mulanya terdapat keyakinan bahwa semua itu dapat dimengerti, tapi lama-kelamaan semakin disadari bahwa pengertiannya itu hanya mampu menyuguhkan model tertentu, belum sampai pada sesutau yang nir-Akhir (Poespoprodjo, 1999: 28-29). Dari sinilah ada semacam sentilan pada sekelompok orang yang bisa dengan mudah mengklaim bahwa dirinya sudah memenuhi kriteria keilmuan yang absah untuk dijadikan rujukan. Lebih-lebih dalam hal keimanan terhadap sesuatu yang metafisik.
Dalam kehidupan umat beragama, keberadaan dakwah memang sebuah keharusan. Bahkan, dalam Islam dakwah merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada pemeluknya. Perwujudan dakwah bukan semata-semata usaha meningkatkan pemahaman atas agama dalam ranah sempit tingkah laku dan prinsip hidup, melainkan lebih menyeluruh ke berbagai aspek kehidupan.
Sukses tidaknya dakwah bukan diukur dari ketangkasan pendakwah dalam menguraikan ayat-ayat yang dihafalnya, bukan pula diukur dari riuhnya tepuk tangan atau gelak tawa jemaahnya, apalagi ratap tangis menyimak petuah-petuahnya. Bukan. Kesuksesan dakwah bisa dilihat dari seberapa kuat bekas (atsar) yang ditinggalkan dalam jiwa pendengarnya yang kemudian tercermin dalam laku hidup mereka setelah menyimaknya (Quraish Shihab, 2000: 194).
Di zaman sekarang, pengafiran pada sekelompok orang menjadi sesuatu yang wajar. Belum lagi pelabelan siapa ke surga siapa ke neraka, sepertinya sudah menjamur di kalangan masyarakat modern masa kini. Bagaimana makna agama secara esensi akan dipahami jika oleh-oleh yang diterimanya setelah pulang dari pengajian menjadi sebegitu bringasnya? Belum lagi yang berujung pada permusuhan atas nama golongan. Saya kira inilah akibat yang akan diterima atas kemalasan kajian yang lebih mendalam mengenai makna-makna ayat yang sering dihunjamkan di mimbar-mimbar dengan jubah agama itu.
BERSAMBUNG…
Ahmad Moehdor al-Farisi, penulis dari Rembang, Jawa Tengah. Kini menetap di Tangerang. Mengajar di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza. Penulis buku Malam pun Menyetubuhiku (2011), Intelektualitas, Agama, dan Karya (2014), Kesaksian sebagai Isyarat (2019), Meminjam Cerita Ayah (2020), Risalah Kehilangan (2022), dan FaNa (2023). Tulisan-tulisannya tersebar di beberapa media massa baik lokal maupun nasional.