AgamaFeaturesHeadlineIqro'

Gak Usah Tegang, Kebenaran Fikih itu Relatif!

Oleh karena kebenaran fikih itu relatif maka seyognya kita toleran atas penganut mazhab lainnya, jangan merasa benar sendiri

Topik bahasan seputar relatifitas kebenaran fikih bisa ditilik dari definisi fikih itu sendiri. Secara definitif, dengan sendirinya fikih sudah menunjukkan bahwa dirinya relatif. Setidaknya, lebih dari 80 literatur usul fikih saya eksplorasi, saya menemukan empat macam bentuk redaksi definisi fikih. Dari empat macam definisi tersebut, tiga diantaranya diawali oleh kata “العلم بالأحكام الشرعية” dan satunya lagi di awali dengan redaksi “مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ”.

Secera redaksional, empat definisi fikih tersebut berbeda, namun substansinya sama. Menurut empat definisi di atas, fikih adalah ilmu tentang hukum syari’ah-furu’iyah yang diproduksi dari dalil-dalil partikular melalui proses ijtihad.

Mencermati empat redaksi definisi di atas, relatifitas fikih ditunjukkan oleh kata “العلم/المعرفة”. Meskipun redaksinya menggunakan kata “العلم/المعرفة”, secara substansi maksud dari kata tersebut bukanlah “العلم/المعرفة”, melainkan bermakna “الظن”.

Penjelasan ini, salah satunya disampaikan oleh Imam Zakaria al-Anshari (w. 926 H) dalam “Ghayah al-Ushul”. Penjelasan serupa juga bisa ditemukan dalam “Syarh al-Luma'”, “al-Bahrul Madid”, “Qawati’ al-Adillah”, dan “Mukhtashar Muntaha”. Lebih lengkap, Prof. Ismail Muhammad Ali Abddurahman menulis:

ولا يراد بالعلم هنا حقيقته وهى الاعتقاد الجازم المطابق للواقع عن دليل, وانما هو ادراك يشمل الظن لان غالب الاحكام الاجتهادية مبنية على الظن

Substansi makna ilmu adalah pengetahuan yang relevan dengan realita, (namun) definisi ini tidak di maksud di sini. Akan tetapi makna yang dimaksud adalah pengetahuan yang bersifat praduga (dzan) karena fikih adalah finishing dari proses ijtihad yang lebih dominan di bangun atas sebuah dugaan.

Jelas! kata al-makrifah atau al-ilm berbeda substansinya jika dibandingkan dengan kata “al-dzan”. Perbedaan kedua term ini dijelaskan oleh Muhammad Hasan Hitu. Hematnya, secara kuantitas kedua term tersebut memiliki perbedaan.

Jika al-ilmu validitas prosentase kebenarannya 100% benar dan tidak ada kemungkinan lainnya, maka prosentase kebenaran dzan maksimal 99% dan kemungkinan salahnya minimal di angka 51%. Jadi, kebenaran pengetahuan yang dibangun atas sebuah praduga (dzan) berada pada rentang 51%-99%.

Lebih lanjut, Syekh Ahmad ibn Abdul Latif al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1334 H) dalam karyanya “Hasyiah al-Nafahat” mengurai bahwa tolak ukur kebenaran dzan bersifat personal (relatif-subyektif). Satu ulama sah-sah saja mengklaim pendapatnya lebih kuat versi taksirannya sendiri, walau belum tentu versi ulama lainnya.

Masih menurut al-Khatib, itulah pentingnya kata “عند المجويز” disisipkan oleh Imam Haramain al-Juwaini (w.463 H) ketika menjelaskan defisnis dzan. Dengan sisipan tersebut, Imam Haramain ingin menunjukkan bahwa klaim rajih atau marjuh dalam fikih menjadi otoritas personal mujtahid.

Riak perbedaan pendapat para imam mujtahid dalam merespon belbagai persoalan fikih bermula dari realitas semacam ini. Realitas bahwa fikih dibangun atas taksiran interpretasi subyektifitas ulama atas dalil-dalil hukum Islam. Perbedaan latar belakang sosiol, kebudayaan dan juga kapasitas keilmuan berkonstribusi besar dalam menciptakan subyektifitas tersebut. Subyektifitas inilah yang nantinya akan berbuah hukum yang beraneka ragam.

Terlebih, dalil-dalil partikular yang menjadi landasannya adalah multitafsir dari aspek dalalah (dzani al-dalalah) atau dari aspek wurud (dzani al-wurud). Itulah sebabnya satu dalil bisa menghasilkan berbagai produk hukum yang berbeda-beda. Jangankan antar mazhab, satu imam saja bisa memiliki pendapat yang berbeda dalam satu persoalan yang sama. Contoh paling masyhur adalah qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i.

Watak fundamen fikih memang begitu, ia sangat kaya akan perbedaan pendapat. Kekayaan inilah yang membuat fikih bisa survive dalam menghadapi dinamika kehidupan manusia lintas generasi.

Taksiran atas dalil-dalil yang multitafsir tadi mengharuskan output hukum dari para mujtahid bisa berbeda satu sama lain, dan itu logis. Fikih itu identik dengan khilafiyah karena ia lahir dari proses ijtihad atas dalil-dalil partikular yang multitafsir tadi.

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan ada fikih yang muttafaq alaih, walau ini sangat sedikit sekali. Hal ini tidak menjadi soal karena yang paling penting ia lahir dari proses ijtihad. Keputusan hukum yang lahir tanpa melalui proses ijtihad maka tidak bisa disebut fikih. Begitu statemen yang ditulis oleh Imam Haramain (w.463 H) dalam “Syarh Waraqat”.

Walau fikih dihasilkan dari sebuah dugaan (dzan), para ulama tetap menggunakan redaksi “al-ilmu” atau “makrifat” dalam definisi fikih karena kemungkinan erornya hanya satu persen. Ia adalah bentuk final proses kreatif para ulama yang sudah mencapai level mujtahid maka wajar jika kebenarannya lebih dekat disebut “al-ilmu”.

Sudut pandang lain ditawarkan oleh Syamsuddin al-Asfihani (w. 749 H). Hemat dia, fikih disebut ilmu (bukan dzan) karena yang sudah pasti (qat’i) dari fikih adalah keharusan untuk mengamalkan apapun bentuk hukum-hukum yang dihasilkan oleh fikih.

Lebih lanjut, walaupun fikih menjadi ruang besar tempat terciptanya beragam pendapat, hebatnya fikih mampu mengakomodir dan mengapresiasi beragam pendapat yang berbeda-beda itu menjadi sebuah keputusan yang sama benarnya. Atas apresiasi baik ini, Imam Jalaluddin Suyuti (w.911 H) menulis:

أن المذاهب كلها صواب وأنها من باب جائز وأفضل، لا من باب صواب وخطأ

Semua pendapat mazhab itu benar. (Perbedaan pendapat di kalangan imam madzhab) itu bukan soal salah dan benar, tetapi lebih pada diperkenankan dan lebih utama…

Apresiasi yang sama juga disampaikan oleh Imam Sya’roni (w.973 H) dalam mukaddimah “Mizan al-Kubra”. Ia menulis;

فإن الشريعة كالشجرة العظيمة المنتشرة واقوال العلمائها كالفروع والأغصان فلا يوجد لنا فرع من غير اصل ولا ثمرة من غير غصن كمالايجد أبنية من غير جدران

Sesungguhnya syariat itu laksana pohon besar yang menjuntai, (sementara) kalam ulama ibarat dahan dan batangnya sehingga tidak mungkin ada dahan tanpa batang dan buah tanpa tangkai sebagaimana tidak mungkin ada bangunan tanpa tembok

Di tempat yang sama, Sya’rani yang dikenal sebagai sufi dan diakui sebagai wali quthub pada zamannya juga mengibaratkan beragam pendapat ulama yang sangat banyak itu seperti samudera luas, dari sisi mana saja kita meneguhnya maka ia satu.

Walau kemungkinan ijtihadnya eror sangat sedikit, sebagai bentuk sebuah ketawadu’an, para ulama tidak menutup diri dari kritik dan mereka dengan penuh kelapangan hati menerima kebenaran dari ulama lainnya.

Imam Abu Hanifah misalnya. Ia tidak pernah mengklaim pendapatnya paling benar, dan pendapat yang lain salah sama sekali. Ia selalu mengatakan ;

قولنا هذا رأي وهو أحسن ما قدرنا عليه، فمن جاء بأحسن من قولنا فهو أولى بالصواب منا”

Apa yang aku sampaikan ini adalah sekedar pendapat. Ini yang dapat yang aku usahakan semampuku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini ia lebih patut diambil.

Keterbatasan sebagaimana jamak terjadi pada manusia tidak dilupakan begitu saja. Sebagaimana ulama lainnya, Imam Abu Hanifah selalu bersedia mencabut atau meralat pendapatnya jika kemudian diketahuinya keliru dan ia menyampaikan terima kasih kepada yang mengkoreksinya. Ia tak merasa harga dirinya jatuh karena mengakui hal itu.

Konsekuensi positif atas banyaknya kemungkinan jawaban yang benar dari pihak lainnya, para ulama kemudian menegaskan bahwa tidak ada kewajiban untuk amar makruf dan nahi mungkar terhadap persoalan-persoalan yang mukhtakaf ‘alaih (fiqh).

Salah satu dari tiga syarat menegakkan amar makruf dan nahi mungkar adalah kemungkaran yang terjadi bukanlah wilayah ijtihadiyah. Atas ikhtisar kitab “Ihya’ Ulumiddin”, Jamaludin al-Qasimi menulis:

أَنْ يَكُونَ كَوْنُهُ مُنْكَرًا مَعْلُومًا بِغَيْرِ اجْتِهَادٍ، فَكُلُّ مَا هُوَ فِي مَحَلِّ الِاجْتِهَادِ فَلَا نُكْرَانَ فِيهِ، فَلَيْسَ لِلْحَنَفِيِّ أَنْ يُنْكِرَ عَلَى الشَّافِعِيِّ مَا هُوَ مِنْ مَجَارِي الِاجْتِهَادِ، يَعْنِي الْمَسَائِلَ الْمُخْتَلَفَ فِيهَا بَيْنَ الْأَئِمَّةِ؛ إِذْ لَا يُعْلَمُ خَطَأُ الْمُخَالِفِ قَطْعًا بَلْ ظَنًّا، فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ الْمُنْكَرُ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ.

(Syarat ketiga amar makruf nahi mungkar) adalah kemungkaran yang terjadi bukanlah persoalan ijtihadiyah. Oleh sebab itu, setiap problem yang berada dalam ruang lingkup ijtihadiyah tidak ada kemungkaran di dalamnya. Hanafiah tidak boleh (menganggap) mungkar (pendapat) Syafi’iah atas masail ijtihadiyah yang masih diperselisihkan oleh para imam karena tidak dapat dipastikan adanya kesalahan secara pasti, tapi masih bersifat praduga. Dengan demikian, syaratnya harus kemungkaran yang muttafaq ‘alaih.

Kebenaran fikih yang relatif ini menjadi karpet merah bagi penganut mazhab tertentu untuk mengaktulisasikan keyakinan mazhab yang dianutnya. Pengikut mazhab lainnya tidak berhak untuk mengusiknya. Pun juga atas relatifitas ini, orang lain tidak berhak mengapling surga untuk kelompoknya sendiri.

Tabik,
Doni Ekasaputra

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button