HeadlinePertanian

HTN, Kebijakan Penguasaan Lahan di NTB Masih Terjadi Ketimpangan.

LOMBOK BARAT – QOLAMA.COM | Banyaknya terjadi konflik dan penguasaan lahan atas nama investasi dan pembangunan yang lebih menguntungka kaum pemodal daripada petani, buruh tani, nelayan di Provinsi Nusa Tenggara Barat membuktikan masih terjadinya ketimpangan atas penguasaan lahan.

“Kalau kita saksikan, kebijakan atas penguasaa lahan di NTB masih lebih untungkan pemodal dan pengembang, sehingga hak – hak petani, terutama kaum perempuan atas sumber pangan terkesan diabaikan” kata Ketua Solidaritas Perempuan Mataram, Eli Sukemi melalui siaran persnya, memperingati Hari Tani Nasional (HTN), Minggu 27 September 2020.

Banyaknya alih fungsi lahan untuk pengembangan bisnis perumahan dan pertokoan oleh para pengembang semakin menempatkan petani, buruh tani, nelayan dan kaum perempuan pada posisi termarginalkan.

Atas persoalan tersebut SP Mataram mendesak Pemerintah NTB, mewujudkan kedaulatan pangan rakyat dan melaksanakan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang sampai hari ini masih diabaikan.

“Karen terbukti, alih-alih mengurai permasalahan mendasar agraria dengan melaksanakan mandat UUPA, pemerintah justru lebih mengutamakan agenda investasi para pemilik modal yang akhirnya semakin memperparah ketidakadilan dan ketimpangan akses dan kontrol atas sumber-sumber agraria” terangnya.

Dikatakan, sumber pangan, tanah sawah produktif, sumber mata air bersih dan benih/bibit lokal telah tergantikan dengan bibit rekayasa genetik yang telah sejak lama di kuasai nvestor, didukung lahirnya regulasi tandingan yang diproduksi atas nama reforma agraria, telah secara nyata tidak berpihak kepada rakyat, khususnya perempuan dan produsen pangan.

Ijin untuk pembangunan perumahan komersil menggusur lahan sawah produktif dipermudah. Banyak kebijakan yang tidak pro rakyat, baik secara nasional maupun lokal, seperti : RUU Pertanahan, RUU Omnibuslaw (Cilaka),

Kebijakan mempermudah ijin untuk pembangunan, Perda RT RW yang mendukung kebijakan investasi, seluas luasnya yang berdampak pada peminggiran hak-hak dan mendiskriminasi perempuan.

“Masifnya alih fungsi lahan menjadi perumahan petani, buruh tani terancam dan merasa resah kehilangan sumber hidup”

Sebab ketika lahan habis, maka tidak ada lagi tempat bercocok tanam, melakukan proses produksi bahan pangan sehat sesuai kebutuhan keluarga dan bahan pangan lokal. Dengan situasi tersebut, SP Mataram sendiri, sejak 2004 melakukan pendampingan dan mengorganisir, kampanye dan advokasi bersama kelompok perempuan petani, buruh tani dan produsen pangan di daerah pedesaan seperti desa Kekeri Lombok Barat.

Hak-hak perempuan atas pangan, straegy melawan alih fungsi lahan yang terus terjadi melalui adanya inisiatif pribadi maupun kolektif yang terbangun melalui diskusi yang di perkuat oleh SP Mataram. Perempuan petani, buruh tani dan produsen pangan terbangun kesadaran kritis bergerak dan berjuang bersama.

“Mengorgansir yang lain untuk untuk mengembangkan inisiaif kolekif untuk melawan alih fungsi lahan agar bisa merawat sumber pangan yang ada”

Lahan sawah yang masih ada supaya tidak tergusur jadi BTN dengan mendorong pemeintah desa untuk menyusun kebijakan, awalnya mendorong adanya awiq awiiq tata kelola ruang desa yang mengatur terkait perlindungan lahan pertanian bekelanjutan dan.

Mendorong dan mendesak pemdes membuat aturan legal berupa Perdes untuk perlindungan lahan sawah di pedesaan, yang mengatur pengelolaan pertanian yang menekankan pada kearifan lokal, menanam produk lokal sesuai kebutuhan dan konsumsi masyarakat setempat.

“Pertanian yang tidak merusak alam, menjaga kebersihan dari sampah, membangun nilai gotong royong, keadilan dan kesetaraan, bahan kuliner yang di jual bersumber dari pertanian yang di produksi di desa Kekeri” tutupnya.

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button