FeaturesHeadline

MAAFKAN KAMI PBNU, JIKA DALAM HAL INI KAMI TELAH LANCANG UNTUK MELAWAN TUAN-TUAN !!

Maafkan jika kami sekarang ini mulai lancang, itu demi kehormatan para Kiai di kampung-kampung, demi kehormatan suku-suku yang ada di Nusantara yang sangat kami cintai, jika tuan-tuan bersikap demikian maka, terpaksa tuan-tuan semuanya kami lawan !!

Oleh : Haji Raden Ahmad Suranagara

Penulis masih ingat kegarangan seorang Kyai Haji Abdurahman Wahid atau yang sering kita sebut Gus Dur pada suatu kesempatan di tahun 1999 saat beliau masih menjabat sebagai Presiden RI memerintahkan supaya salah satu oknum keluarga Baklawi bernama Habib Abdurahman dan rekannya yaitu Tommy Soeharto untuk ditangkap karena telah melakukan keonaran yang menjurus makar dan akan mengancam kedaulatan RI. Kegarangan seorang Gus Dur bukan hanya beliau saat menjadi Presiden, karena masih terngiang dalam ingatan penulis pernyataan Gus Dur dalam sebuah ceramah bahwa sejatinya ketua FPI adalah seorang “bajingan atau preman bersorban” dan pemerintah saat itu harus segera membubarkan FPI.

Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya sudah memberikan pelajaran kepada masyarakat terutama warga nahdiyin bahwa kita harus menempatkan hukum di atas segalanya, bahwa kepentingan masyarakat harus lebih diutamakan diatas kepentingan kelompok, bahwa hukum tidak mengenal ras. Gus Dur telah melampau batas tradisi mayoritas para Kiai NU dimana saat berhadapan dengan keluarga Baklawi rata-rata para kiai akan terlihat lemah oleh karena para Habib tersebut mengkalim mempunyai garis nasab langsung kepada Rosululloh SAW sehingga para kiai tadi dibuat tidak berdaya karena secara tidak langsung akan berhadapan dengan Rosululloh SAW.

Tetapi pernyataan-pernyataan Gus Dur tadi, kotradiksi dengan sikap Gus Dur di tahun 1994, dimana pada tahun 1983 ketua MUI saat itu KH Hasan Basri melontarkan di surat kabar Terbit, “ Tidak ada anak keturunan Rasulullah SAW di Indonesia bahkan di Dunia, karena sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein”. Sontak pernyataan dari ketua MUI tadi menimbulkan kegaduhan, kegaduhan tadi bisa reda dimana pada tahun 1994 memberikan pembelaan pada sebuah acara di ponpes Al Fachriyah Cileduk Tangerang.

Jika kita menyimak pernyataan KH Hasan Basri, dimana beliau menolak akan adanya zuriyat Rosululloh SAW, sebenarnya pernyataan tersebut tidak ditujukan kepada keluarga Baklawi saja, tetapi penolakan tersebut ditujukan secara menyeluruh kepada semua keluarga yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Rosululloh SAW. Hanya dikarenakan keluarga Baklawi merasa paling sahih sudah barang tentu kelompok yang paling kepanasan.

Adapun pembelaan Gus Dur jika mengacu kepada konteks dari pernyataan ketua MUI saat itu sudah bisa dipastikan bahwa Gus Dur tidak sedang membela para Habib akan tetapi membela semua klan zuriyah Rosululloh SAW termasuk keturunan Walisongo didalamnya.

Akan tetapi sehubungan keluarga Baklawi terlalu “kege’eran” maka moment pembelaan Gus Dur dianggap sebagai pembelaan yang hanya ditujukan kepadaklan Baklawi, lebih parahnya lagi oleh keluarga Baklawi moment tadi dipandang dengan sudut pandang lain, dimana pembelaan Gus Dur dari beberapa tulisan yang penulis dapatkan, dipandang sebagai bentuk “mahabbah”nya seorang Gus Dur terhadap merekai. Artinya keluarga Baklawi semakin merasa ras paling tinggi lalu mereka meminjam nama besar Gus Dur untuk memperkuat legimitasi dan propaganda mereka, dilain pihak sosok Gus Dur mereka rendahkan secara tidak langsung, dimana sekaliber Gus Dur pun tetap mereka anggap sebagai budak yang sepantasnya seorang budak untuk membela majikannya !

Hal yang serupa telah dilakukan oleh para pendiri NU misalnya KH Wahab Hasbullah dimana pada masa kemerdekaan, beliau meminta kepada pemerintah Indonesia saat itu, tepatnya kepada Presiden Soekarno untuk mengakui para imigran Yaman diakui sebagai bagian dari penduduk pribumi Indonesia, yang saat itu posisi mereka ( keluarga Baklawi ) selepas dari penjajahan Belanda yang dilanjutkan oleh Jepang sudah sangat terpuruk. Akan tetapi, lagi-lagi keluarga Baklawi “over kege’eran”, dimana perjuangan kesetaraan yang dilakukan oleh petinggi NU untuk semua warga saat itu, diartikan sebagai bentuk mahabbah dari para pendiri NU terhadap mereka, atau lebih jelasnya pengabdian para budak terhadap majikan. Mereka tidak merasa kaum minoritas di negeri orang, justru sebaliknya mereka lebih merasa “ Tuan Besar” yang wajib ditaati dan di hormati sebagai ras yang paling tinggi di negeri ini.

Perlu diingat, Gus Dur dan para pendiri NU terdahulu dikenal dengan keberaniannya tampil ke muka untuk selalu membela kaum yang lemah, membela kaum yang terpojokan dan terpinggirkan lalu dibawa ke permukaan pada pentas kesetaraan antar manusia. Dengan demikian tidak mengherankan jika pada moment-moment krusial Gus Dur mengikuti para pendahulunya yang selalu tampil ke depan sehingga baik Gus Dur maupun KH Wahab Hasbulah juga KH Hasyim As’ari adalah sosok – sosok yang mewakili semua golongan terutama golongan lemah ataupun kaum minortas yang terzalimi.

Sekarang ini muncul sebuah gugatan terhadap keabsahan nasab klan Baklawi yang dimotori oleh KH Imaduddin, pertanyaannya, apakah klan Baklawi terzalimi !? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penting kiranya untuk sedikit mengurai sejarah kedatangan kaum Imigran Yaman khusus keluarga Baklawi yang rangkum dan sarikan dari berbagai literasi di beberapa media juga buku-buku yang penulis dapatkan tetapi bisa dipetanggung jawabkan.

Keluarga Baklawi yang di datangkan oleh Belanda ke Nusantara pada abad ke-19 M, secara jumlah jelas adalah kaum minoritas, dimana jumlah mereka tidak sampai 2 % dari jumlah total penduduk Nusantara pada saat itu. Adapun tujuan pemerintah Belanda mendatangkan imigran Yaman yang didominasi oleh keluarga Baklawi disamping sebagai buruh juga untuk lebih memperokoh kedudukan politik Pemerintahan Belanda dimana saat itu tengah bergejolak perlawanan dari pribumi, sehingga pemerintah Belanda memandang perlu juga untuk mendatangkan para tokoh Baklawi yang faham akan agama Islam.

Pemerintahan Belanda juga saat itu telah memberikan kenyamanan dan dukungan penuh terhadap keluarga Baklawi dengan mendudukan mereka sebagai ras lebih tinggi di atas penduduk pribumi serta memeberikan berbagai fasilitas, baik fasilitias ekonomi juga politik misalnya dengan mengangkat salah satu tokoh Baklawi menjadi Mufty Batavia. Dengan dukungan tersebut, para imigran Yaman khususnya keluarga Baklawi telah menjelma menjadi kekuatan baru penyokong utama dari kekuatan lama yaitu Pemerintahan Belanda. Kekuatan Baklawi terdukung oleh dua aspek, yaitu aspek politik dan idiologi dimana mereka terus mempropagandakan secara gencar bahwa mereka adalah keturunan Nabi yang suci.

Dengan klaim sepihak sebagai keturunan Nabi, merekapun secara leluasa bisa memperlakukan penduduk local sama persis dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Belanda, yaitu memperlakukan penduduk setempat tak ubahnya sebagai budak-budak mereka.

Akan tetapi kedudukan politik, ekonomi serta pamor sebagai zuriyah Nabi menjadi sangat lemah dan terpuruk dimasa pemerintahan Jepang, apalagi pada masa awal-awal kemerdekaan. Mereka tidak dipandang sebelah mata oleh para pemimpin di negeri ini, hal tersebut membuat posisi mereka makin terpinggirkan dan terpojok. Dan pada saat itulah KH Wahab Hasbullah sebagai pembela kaum minoritas tampil ke muka, dengan permohanan kepada Presiden RI untuk mengakui kesetaraan mereka dengan pribumi lainnya.

Ternyata masalah kesetaraan yang telah mereka dapatkan hasil dari kerja keras petinggi NU tidak membuat mereka merasa puas. Mereka ingin tetap diperlakukan sebagai ras paling tinggi sebagaimana di masa pemerintahan Belanda, mereka ingin semua penduduk yang beragama Islam menghormati mereka. Dengan demikian merekapun berupaya untuk memporkokoh kedudukan seperti tadi dengan menyebarkan cerita-cerita mitos yang mereka bawa dari negerinya ataupun yang mereka ciptakan saat berada di Nusantara sesuai dengan kebutuhan mereka seperti misalnya :

• Seorang Syarifah haram untuk menikah dengan pribumi dan itu sama dengan perbuatan zina
• Seorang Baklawi walaupun seorang yang bodoh tetap lebih utama derajatnya dibanding dengan 70 Kyai pribumi yang alim
• Semua keluarga Baklawi dipastikan akan masuk surga walauapun melakukan dosa besar sekalipun, dan mereka akan membawa semua para pecinta mereka ke surga lewat jalan tol yang disiapkan hanya untuk mereka dan para muhibbin mereka
• Seorang tokoh pemuka Baklawi mi’raz bertemu dengan Alloh SWT 70 X dalam sehari
• Seorang pribumi bisa selamat di alam barzakh karena malaikat penjaga kubur dikasih surat oleh seorang tokoh Baklawi
• Pelayan atau khoddam seorang tokoh Baklawi tidak ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir
• Dan lain-lain

Begitu banyak cerita mitos lainnya yang mereka karang dan sebarkan, tidak peduli cerita tersebut melabrak hukum syara ataupun tidak, yang penting kedudukan mereka jangan sampai goyah di masyarakat. Cerita-cerita mitos tadi, mereka sampaikan tidak dihadapan para intelektual NU karena sudah dipastikan akan mendapat tentangan keras, tetapi mitos tadi mereka sebarkan di akar rumput terutama di perkampungan-perkampungan dengan mengatas namakan hadist Nabi dan kitab para ulama terdahlu dan ulama yang mereka maksud sudah barang tentu ulama golongan mereka.

Upaya mereka patut mendapatkan acungan jelmpol, dikarenakan dampak dari mitos-mitos yang mereka sebarkan bermunculan kejadian-kejadian yang membuat kita menjadi miris dan sebagai warga prbumi kita merasa terhinakan, misalnya :

• Di Subang seorang Habib Baklawi menikahi peremuan adik kakak sekali gus, dan ayah dari si perempuan tadi tidak bisa berbiat apa-apa dikarenakan takut kwalat dan takut tidak diakui sebagai ummat Rosululloh SAW
• Di Bandung Barat, ada seorang wanita dinikahi seorang Habib hanya 3 hari, setelah 3 hari ditinggal begitu saja, seperti meninggalkan barang najis atau membuang sampah yang tidak artinya
• Seorang Kiai di Limbangan harus pulang ke Cianjur dikarenakan ia dikejar-kejar hutang oleh tetangganya, ia berhutang dikarenakan sering didatangi para Habib dan meminta uang yang jumlahnya besar untuk ukuran Kiai dan ia terpaksa meminjam uang kepada tetangga. Akhirnya pesantrennya bangkrut karena ia harus mencari uang untuk membayar hutang.
• Dan lain –lain

Sebenarnya masih banyak kejadia yang serupa baik yang terjadi di Jawa maupun luar Jawa, dan seandainya fenomena tersebut dibiarkan untuk beberapa tahun ke depan, secara mental ataupun aqidah maka bangsa ini dipastikan akan semakin parah dan rusak dikarenakan bangsa ini khususnya warga nahdiyyin mereka kondisikan seperti onta yang akan selalu manut kepada majikannya.

Adalah benar sebuah pepatah mengatakan : “ Bila mitos telah menjelma menjadi keyakinan dan tak lagi dikritisi, masyarakat dengan mudah diperdaya oleh kekuasaan ” dan itu benar-benar mereka praktekan dimana cerita mitos yang mereka “karang” telah menjelma menjadi keyakinan masyarakat level bawah, sehingga mereka dengan bebas memperlakukan apapun yang mereka mau dengan mengatas namakan cinta kepada keluarga Nabi.

Setelah kajian ilmiah KH Imaduddin Usman begitu viral, dengan metode klasik kaidah ilmu nasab yang sebenarnya paling mendasar, dimana seorang tokoh historis yang muncul setelah lebih dari 200 tahun dari masa tokoh yang disebut, maka keberadaan tokoh tadi patut dipertanyakan. Bahkan jika terdapat pengklaiman nasab sebuah tokoh setelah berabad-abad kemudian, akan tetapi terbukti tidak sesuai dengan kitab primer, maka jelas pengklaiman nasab tersebut tertolak secara ilmiah, apalagi nasab tersebut berawal dari sebuah asumsi seseorang. Keluarga Baklawi begitu kaget dan terperangah, mereka berhaburan seperti nyamuk yang terkena gebukan. Mereka sedikitpun tidak mengira dari awalnya akan adanya seseorang yang berani mengusik keberadaan nasab mereka yang masih bias.

Sebenarnya masyarakat menantikan jawaban dari kelompok Baklawi sebuah jawaban yang seimbang dimana kajian ilmiah dijawab dengan kajian yang ilmiah pula. Akan tetapi keluarga Baklawi tidak mempunyai hujjah yang sepadan, mereka membalas penelitian Kiai Imad dengan berbagai pertujukan “lawakan” yaitu dengan menebar cerita-cerita dusta atau marah-marah seperti orang kesurupan di media social. Mereka tetap menebar mitos untuk menak-nakuti masyarakat. Ada pula dari mereka yang memposisikan diri sebagai kelompok yang terzalimi, disamping melontarkan berbagai tuduhan kepada KH Imaduddin dan yang sepaham dengan beliau sebagai kelompok pembenci zuriyah Rosul.

Akan tetapi terdapat pertunjukan yang jauh lebih lucu dibanding dengan pertunjukan yang dipertontonkan keluarga Baklawi, yaitu pertunjukan yang ditampilkan oleh sebagaian pengurus PBNU. Semula penulis berharap para pemuka PBNU akan menyikapi persoalan nasab Baklawi dengan bijak misalnya mengadakan bashul masail sehingga kedudukan nasab dari klan Baklawi semakin terang benderang. Akan tetapi sebalikanya, sebagaian dari pemuka PBNU yang di ikuti para sebagian tokoh NU lainnya tersebut justru bertindak sebaliknya, mereka mencoba membangun kembali marwah keluarga Baklawi yang dibangun atas dasar cinta buta yang salah sasaran dan juga atas dasar klaim sepeihak dengan menyerang KH Imaduddin secara subjecitive serta memojokannya, tanpa melihat pokok persoalan yang sedang berkembang.

Sepertinya para tokoh NU tadi tidak pernah turun ke bawah sehingga tidak mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi di akar rumput warga Nahdiyin itu sendiri. Mereka tidak merasakan bagaimana hidup dalam tekanan spiritual yang dilakukan para oknum Baklawi terhadap para kiai yang tinggal di perkampungan. Atau mungkin para sebagaian tokoh NU tadi tidak mau tahu dengan apa yang terjadi tersebut demi kepentingan tertentu. Atau bisa jadi mereka hanya melihat secara kasat mata dimana sekarang ini keluarga Baklawi benar-benar sedang terpojok sehingga mereka menganggap hal tersebut perlu mereka bela tanpa melihat apa yang melatar belakanginya.

Dalam pemahaman sebagaian para tokoh NU yang membela Baklawi mungkin juga mereka sedang bertindak sebagai Gus Dur atau pendahlu NU lainnya. Jika berfikir seperti itu amatlah sangat disayangkan, berarti kecerdasan para pemuka NU sekarang memang jauh dibawah para pendahulunya, misalnya Gus Dur yang tahu persis siapa yang menzalimi dan yang dizalimi.

Ketahuilah kami bagian dari masyarakat yang tinggal di perkampungan yang selamanya bergaul dengan para kiai-kiai kampung merasa terwakili oleh keberanian KH Imaduddin Usman Al Bantani, dengan demikian kami harus tegaskan bahwa kami sekarang ini mendukung penuh para pejuang kesetaraan seperti Gus Fuad Plered, KH Nur Ihya, Tb Syarif Nurfadil Al Husaini, Gus Arya dan lain-lain. Yang kami tuntut selama ini adalah lepaskan diri kami dari pembodohan warisan dari para penjajah dan tempatkan diri kami pada porsi yang sejajar dengan suku dan ras apapun di dunia !

Tuan-tuan yang terhormat para petinggi NU, jika Tuan-Tuan sekarang ini membela klan Baklawi tanpa didasari oleh kajian yang lebih mendalam atau membela secara membabi buta, ketahuilah tuan-tuan tidak sedang menjadi Gus Dur, tidak sedang menjadi KH Wahab Hasbullah dan juga tidak sedang menjadi KH Hasyim As’ari, tetapi tuan-tuan sebaliknya sekarang ini sedang membela kelompok yang telah lama membodohi serta menzalimi kami. Berarti tuan-tuan secara tidak langsung saat ini sedang menjadi penerus Ratu Wihelmina dimana sekelompok minoritas telah tuan-tuan biarkan melakukan penjajahan secara spiritual yang berkesinambungan kepada kami semua.

Maapkan jika kami sekarang ini mulai lancang, itu demi kehormatan para Kiai di kampung-kampung, demi kehormatan suku-suku yang ada di Nusantara yang sangat kami cintai, jika tuan-tuan bersikap demikian maka, terpaksa tuan-tuan semuanya kami lawan !!

Penulis adalah Sekertaris KWS ( kumpulan wargi sukapura ) korwil Tasikmalaya dan juga pengurus KBC ( keluarga besar cikelepu ) Limbangan Garut

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Cek juga
Close
Back to top button