AgamaFeaturesHeadlineKolomTokoh

Meluruskan Gagal Faham Ziarah Kubur Mizan Qudsiyah

Persoalan ziarah kubur dan juga pemahaman atas hadis yang disampaikannya itu sudah tuntas dibahas pada abad 14 silam. Tidak elok mengungkit-ungkitnya secara sepihak apalagi digunakan untuk menyalahkan orang lain, jelas ini bikin gaduh.

Oleh : Doni Ekasaputra

Beberapa hari ini, viral ceramah salah seorang ustad bergelar Lc dan MA. Ia nampak sangat menggebu-gebu menyalahkan tradisi masyarakat lombok yang hilir mudik melakukan ziarah kubur.

Tradisi ziarah semacam ini tidak hanya ditemukan di lombok, namun juga berbagai belahan dunia. Kalau melihat intonasi dan mimik ceramahnya, ia tidak hanya menyalahkan namun juga ada indikasi “menghina”. Apalagi disela-sela ceramahnya kemudian menyebut salah satu kubur dengan sebutan “kubur keramat tain acong (kotoran anjing)”

Hemat saya, kurang pantas jika ustad dengan gelar Lc dan MA menyampaikan materi ceramah yang membuat gaduh banyak orang. Seharusnya, ahlul ilmi dengan gelar akademik yang mentereng seperti dia menghindari diksi ceramah yang dapat melukai perasaan banyak orang.

Apalagi hadis yang dijadikan pijakan masih multitafsir (dzanni al-dhalalah). Jika ia benar-benar bertanggung jawab atas gelarnya, Seharusnya materi ceramahnya tidak bermuatan “provokasi”semacam itu. Seyogyanya, ia sampaikan dengan jujur bahwa ziarah kubur itu persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat dikalangan ulama).

Tentu hal ini lebih bijak dan kontekstual dengan lapisan masyarakat Lombok yang multimazhab, multimudaya dan adat istiadat. Husnudzan saya, tidak mungkin seorang ustad dengan gelar Lc dan MA tidak memahami beragam pendapat ulama tentang ziarah kubur apalagi jika dikaitkan hadis yang dikutipnya saat ceramah.

Persoalan ziarah kubur dan juga pemahaman atas hadis yang disampaikannya itu sudah tuntas dibahas pada abad 14 silam. Tidak elok mengungkit-ungkitnya secara sepihak apalagi digunakan untuk menyalahkan orang lain, jelas ini bikin gaduh.

Baik sekali apa yang disampaikan oleh Syekh Hasan Yamani,

ان طالب العلم كلما زاد فقهه ونظره فى المذاهب قل انكاره على الناس

Pencari ilmu yang faqih nan berwawasan luas dalam bermazhab (tidak mudah) menyalahkan orang lain.

Qaul ini menegaskan bahwa siapa saja dengan mudah menyalahkan orang lain itu bertanda ilmunya dangkal.

Dalam ceramahnya, ia menggunakan hadis di bawah ini sebagai pijakan bahwa ziarah kubur itu haram

لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِد: المَسْجِدِ الحَرَام، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالمَسْجِدِ الأَقْصَي

Benarkah hadis ini bermaksud melarangan ziarah kubur? Jawabannya tidak. Teramat banyak ulama yang mengatakan seperti ini. Jikapun ada ulama yang berpendapat bahwa hadis tersebut adalah dalil haramnya ziarah kubur maka sudah banyak pula ulama yang menyanggahnya (Baca, mafahim yajibu an-tusahha)

Hadis tersebut terangkai dalam kalam istisna’ (pengecualian). Kata jurumiyah, kalamnya adalah kalam naqis, yaitu Kalam yang hanya menyebut mustasna (pengecualian) saja, yaitu masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan masjid Aqsa’. Adapun mustasna minhunya (yang dikecualikan) tidak disebutkan.

Jadi, untuk memahaminya perlu menakdir mustasna minhu.

Contohnya di kitab Jurumiyah, ما قام الا زيد
“Tidak berdiri kecuali zaid”
Untuk memahami maksud teks ini, maka yang dikecualikan (mustasna minhu) harus di takdir, yakni lafadz “القوم” sehingga redaksi lengkapnya adalah “ما قام القوم الا زيد” (tidak ada sekelompok orang yang berdiri kecuali zaid)

Terus hadis tersebut di atas mengecualikan apa? Jika yang dikecualikan adalah kata “kubur”. Dengan demikian, jika diterjemah seacara utuh maka terjemahnya adalah “jangan kalian menyiapkan kendaraan (untuk bepergian jauh) ke kubur kecuali dengan tujuan tiga masjid, yakni masjid haram, masjid madinah dan masjid aqsa.

Dalam penilaian fashohah kalam, jelas kalam semacam ini tidak shahih. Dawuh Sayyid Muhammad, “mana mungkin nabi yang setiap tutur katanya adalah wahyu mengeluarkan hadis yang isinya tidak nyambung?” Yang dikecualikan “kubur” sedangkan pengecualiannya masjid. Ini jelas tidak maching.

Dalam aturan istisna’, karakteristik dan ragam antara “mustasna” dan “mustasna minhu” harus maching (munasib). Oleh karena mustasna-nya adalah masjid maka mustasna minhu-nya juga harus sejenis, yakni masjid.

Dengan demikian, jika hadis tersebut diterjemah dengan menakdir mustasna minhu berupa “masjid” maka yang benar adalah “ janganlah kalian menyiapkan kendaraan (untuk bepergian jauh) ke masjid kecuali ke tiga masjid yaitu masjid haram, masjib nabawi dan masjid aqsa.

Menakdir kata “masjid” juga lebih relevan dengan konteks hadis diturunkan. Dalam suatu hadits riwayat Ahmad diceritakan bahwa nabi bersabda “ Janganlah bersusah-payah melakukan perjalanan jauh kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Madinah, dan Masjidil Aqsha.” Kemudian Abu Sa’id berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengantar seorang laki-laki, lalu beliau bertanya, “Engkau mau ke mana?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin pergi ke Baitul Maqdis,’ maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh, shalat di masjid ini lebih utama seribu kali shalat dari shalat di tempat lain kecuali Masjidil Haram.” (HR. Ahmad)

Suatu ketika, Sahabat Abu Bashrah pernah menegur Abu Hurairah ketika ia pergi ke gunung Thur untuk shalat di sana.

‎عن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ قَالَ لَقِيَ أَبُو بَصْرَةَ الْغِفَارِيُّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَهُوَ جَاءٍ مِنْ الطُّورِ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ قَالَ مِنْ الطُّورِ صَلَّيْتُ فِيهِ قَالَ أَمَا لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهِ مَا رَحَلْتَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, berkata bahwa Abu Basrah al-Ghifari berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari Bukit Thur, lantas ia bertanya, ‘Dari mana engkau?’ ‘Dari Bukit Thur, aku shalat di sana,’ jawab Abu Hurairah. Abu Bashrah berkata, ‘Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, niscaya engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah pelana itu diikat kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul dan Masjidil Aqsha’.” (HR. Ahmad).

Oleh karena konteks hadis berbicara perihal pemilihan tempat salat maka pemahaman hadis yang lebih tepat adalah hadis tersebut sedang menjelaskan keutamaan masjid Haram, masjid Nabawi dan masjid Aqsa jika dibandingkan masjid-masjid yang lainnya. Itulah sebabnya, hadis tersebut di dalam kitab-kitab shahih dimasukkan di bab keutamaan masjid nabawi dan masjid haram.

Dari hadis tersebut, seakan nabi ingin mengatakan, “kamu gak perlu bersusah payah pergi jauh-jauh untuk mencari tempat salat sementara ada masjid nabawi, masjid haram dan masjid aqsa yang keutamannya tidak kau temukan di tempat yang lain.

PENULIS :

Doni Ekasaputra
Santri tanpa gelar Lc dan MA

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Cek juga
Close
Back to top button