Ads
AgamaFeaturesHeadlineQolamuna

Sya’ban dan “Rowah Kembiyan”

Di Jawa, Bulan Sya’ban dikenal dengan Bulan Ruwah, sementara di Lombok mirip-mirip, namanya Bulan Rowah. Mengiringi nama ini, di Lombok  dikenal tradisi Rowah Kembiyan. Sebuah tradisi baik yang sampai kiamat harus kita pertahankan.

Almagfurlahu KH. Maemun Zubair (Mbah Moen), pernah menjelaskan istilah “Ruwah” sebetulnya berasal dari Bahasa Arab “Arwah” yang berarti roh atau arwah. Ini menunjukkan, bulan ini erat kaitannya dengan tradisi mendoakan arwah leluhur. Murid Mbah Moen, Gus Baha juga menegaskan Bulan Sya’ban atau Bulan Ruwah disebut sebagai bulan arwah karena pada bulan ini bisanya masyarakat Jawa punya tradisi mendoakan arwah para leluhur mereka. Tradisi ini dikenal luas sebagai ruwahan, sebuah kegiatan spiritual yang menjadi bagian dari persiapan menyambut bulan suci Ramadhan.

Tradisi ini tidak hanya di Jawa. Di Lombok bahkan masyarakat mengenal tradisi Rowah Kembiyan. Kegiatan yang melibatkan keluarga dan masyarakat kampung untuk berkumpul di rumah mereka. Di Undang dzikir bersama, tahlil, dan pembacaan doa untuk para arwah keluarga yang sudah duluan meninggal dunai. Usai dzikir, biasanya tuan rumah menyajikan makanan sebagai sedekah dan ungkapan syukur kepada para peserta Dzikir yang hadir.

Lebih dari sekadar dzikiran, Rowah Kembiyan bahkan belakangan menjadi sarana mempererat silaturahim, memperkuat ikatan keluarga serta menumbuhkan semangat kebersamaan dalam masyarakat Sasak.

Mengiringi Rowan Kembiyan, biasanya masyarakat sasak mengadakan ziarah kubur. Persis seperti di jawa tengah ada tradisi nyekar, atau tradisi kosar di Jawa Timur, dan tradisi munggahan di Tatar Sunda. Meski berbeda nama, esensi dari tradisi ini tetap sama: mendoakan arwah leluhur sebagai bentuk penghormatan dan persiapan spiritual menyambut Ramadhan. Tradisi ini juga sering dikaitkan dengan ajaran tentang pentingnya menghormati orang tua dan leluhur, sebagaimana diajarkan dalam banyak hadits Nabi Muhammad SAW tentang keutamaan mendoakan orang yang telah meninggal dunia.

Lebih dari itu, tradisi ini mencerminkan kedalaman filosofi Islam Nusantara. Mendoakan arwah bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga bentuk refleksi diri atas keterhubungan kita dengan generasi sebelumnya. Ada kesadaran kolektif bahwa hidup ini adalah rangkaian estafet spiritual yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Sayangnya, ada sebagian pihak yang memandang tradisi ini secara sempit, bahkan mengharam-haramkannya tanpa memahami konteks budaya dan nilai keagamaannya. Padahal, tradisi seperti Ruwahan atau Rowah Kembiyan justru mencerminkan harmoni antara ajaran Islam dan budaya lokal. Tradisi ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang menekankan pentingnya mendoakan orang yang telah wafat. Seperti dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (HR. Muslim)

Islam di Nusantara berkembang dengan penuh kearifan lokal. Para ulama terdahulu tidak memaksakan homogenisasi budaya, melainkan mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi masyarakat setempat tanpa mengurangi esensi ajaran agama. Inilah yang membuat Islam di Nusantara tampil dengan wajah yang ramah, moderat, dan penuh kasih sayang. Dakwah Walisongo, misalnya, berhasil mengislamkan Nusantara dengan pendekatan budaya, sehingga ajaran Islam diterima tanpa paksaan, melainkan dengan penuh cinta dan penghargaan terhadap tradisi lokal.

Menjaga tradisi seperti Ruwahan atau Rowah Kembiyan bukan sekadar melestarikan budaya, tetapi juga merawat nilai-nilai spiritual, kebersamaan, dan penghormatan terhadap para leluhur. Tradisi ini adalah cermin dari dakwah Islam yang penuh rahmat, menghargai sejarah, dan menghormati kearifan lokal.

Jadi, ketika kita menyambut Bulan Sya’ban, mari kita hayati maknanya lebih dalam. Bulan ini bukan sekadar penanda waktu menjelang Ramadhan, tetapi juga momen untuk merefleksikan hubungan kita dengan para pendahulu, memperkuat silaturahmi, dan meneguhkan identitas kita sebagai umat Islam Nusantara yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai luhur.[Redaksi]

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Cek juga
Close
Back to top button