Ads
EkbisFeaturesHeadlineHukum dan KriminalLombok Timur

Kapling Laut Sekaroh Menunggu Kebijakan Gubernur Baru Dr. Iqbal

Ketegasan Prabowo atas pengkaplingan laut di Perairan Banten, seharusnya juga bisa diterapkan di NTB atas “Kedzoliman” PT. Autore Pearl Culture Di Laut Sekaroh Lombok Timur.

QOLAMUNA

Pengkaplingan laut di berbagai wilayah Indonesia semakin memperlihatkan ketimpangan antara kepentingan korporasi dan hak masyarakat pesisir. Kasus yang terjadi di Perairan Segui, Desa Sekaroh, Lombok Timur, adalah bukti nyata bagaimana lautan yang seharusnya menjadi sumber penghidupan nelayan justru diklaim sebagai wilayah eksklusif oleh perusahaan. PT Autore Pearl Culture, perusahaan asal Australia yang bergerak di bidang budidaya mutiara, telah memasang pembatas yang membatasi akses nelayan lokal, membuat mereka kehilangan ruang gerak dan kesulitan menangkap ikan.

Kasus ini bukan yang pertama, dan sayangnya, bisa jadi bukan yang terakhir. Di berbagai wilayah, praktik serupa terus terjadi: laut yang harusnya menjadi ruang publik justru dikapling dan dikontrol oleh perusahaan dengan dalih investasi dan pengembangan ekonomi dan pariwisata. Di Lombok Utara, kejadian serupa juga pernah terjadi, di mana perusahaan budidaya mutiara bentrok dengan nelayan karena akses terhadap laut semakin dipersempit.

Regulasi yang Lemah dan Keberpihakan Negara Pada Korporasi

Masalah utama dari fenomena ini bukan hanya soal konflik kepentingan antara nelayan dan perusahaan, tetapi juga lemahnya pengawasan dan regulasi dari pemerintah. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung rakyat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah daerah dan pusat sering kali lebih berpihak kepada korporasi dibandingkan masyarakat pesisir yang telah turun-temurun bergantung pada laut.

Kasus di Sekaroh semakin memperjelas bagaimana perizinan lahan dan perairan bisa menjadi alat permainan kepentingan. PT Autore Pearl Culture disebut telah menduduki wilayah Segui secara ilegal sejak 2013 hingga 2023, tanpa izin resmi. Wilayah tersebut sejatinya masuk dalam izin lahan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) PT ESL, satu-satunya investor yang mendapat izin untuk pengembangan wisata bahari di sana. Namun, melalui berbagai manuver, PT Autore Pearl Culture justru mendapatkan rekomendasi izin atas lahan yang seharusnya bukan milik mereka.

Terlepas dari perseteruan antara dua perusahaan ini, fakta bahwa negara membiarkan praktik semacam ini terus berlangsung adalah cerminan buruk dari tata kelola pemerintahan. Jika dibiarkan, lautan akan semakin dikuasai oleh segelintir orang, dan nelayan kecil akan terus termarginalkan.

Harapan Baru pada Gubernur Terpilih: Evaluasi dan Tegakkan Keadilan

Terpilihnya Dr. H Lalu Muhammad Iqbal menjadi Gubernur NTB pada pilkada baru lalu membawa harapan baru bagi masyarakat yang menuntut keadilan. Kedekatannya dengan Presiden Prabowo kita harapkan bisa memantik keberanian Gubernur Baru untuk menindak perusahan-perusahaan perusak lingkungan ini seperti juga yang berani dilakukan di Perairan Banten.

Paling tidak, setelah beliau dilantik nanti, bisa langsung gaspool melakukan evaluasi dan mengaudit izin-izin yang telah diberikan kepada semua perusahaan yang selama ini diberikan pemanfaatan lautan dan daratan ada di NTB. Jika ditemukan pelanggaran, izin tersebut harus dicabut.

Kedua memastikan hak hak nelayan terlindungi tertutama akses terhadap laut dan sumber daya perikanan yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.

Ketiga terapkan regulasi yang ketat untuk memastikan, aktivitas budidaya dan bisnis di darat dan laut yang dilakukan korporasi apapun di tanah NtB tidak merusak lingkungan, merugikan rakyat dan ekosistem laut.

Keempat, wajib dilakukan Penegakan Hukum, Jika ada unsur kongkalikong antara korporasi dan oknum pemerintah dalam pemberian izin pengkaplingan itu, maka pihak-pihak yang terlibat harus ditindak secara hukum.

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, keberpihakan pada rakyat harus lebih ditegaskan. Apa yang berani dilakukan pemerintah di Perairan Banten, di mana negara tegas terhadap pengkaplingan laut, seharusnya juga diterapkan di NTB.

Jika negara terus membiarkan praktik ini berlanjut, bukan hanya nelayan yang kehilangan penghidupan, tetapi ekosistem laut juga akan semakin rusak. Investasi dan pengembangan ekonomi serta pariwisata tidak boleh mengorbankan hak rakyat atas laut. Negara harus hadir untuk melindungi mereka, bukan menjadi alat bagi korporasi untuk merampas hak-hak masyarakat pesisir.[Redaksi].

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button