Resensi Buku: Tuan Guru Organik Dakwah Sosial Datok Lopan di Tanah Sasak.
Oleh : Lamuh Syamsuar
Sesuai dengan judul resensi ini, saya membayangkan bahwa isi buku setebal 112 halaman ini, sekiranya dapat menjembatani atau memfasilitasi masyarakat luas dengan latar belakang yang beda-beda.
Mulai dari masyarakat awam seperti saya, buku ini cukup baik untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang riwayat hidup dan perjuangan TGH. Lalu Moh. Soleh. Bagi kalangan akademisi, buku ini berpotensi untuk mengembangkan penelitian tentang jaringan keulamaan Sasak.
Lebih lanjut buku ini juga sangat mungkin dimanfaatkan sebagai diskusi awal untuk membaca perkembangan, situasi Lombok pada era Datok Lopan, dan menghubungkannya dengan situasi Nasional.
Tradisi Ziarah ke Makam Datok Lopan.
Saya masih ingat semenjak kecil, saya sering diajak utuk berziarah ke makam Para Wali atau orang alim di Tanah Sasak. Pada umumnya, jika masyarakat mendapatkan rizki, kesuksesan atau dimudahkan segala urusannya, masyarakat akan mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah SWT dengan Roah (tasyakuran dengan menyelenggarakan zikiran atau tahlilan di rumah).
Selain Roah, tidak sedikit masyarakat merangkainya dengan acara ziarah ke makam-makam wali atau ulama-ulama Lombok. Dari semenjak dahulu sampai sekarang, rute ziarah masyarakat di tempat saya, relatif tetap. Dimulai dari Makam Wali Nyato’, Makam Ketak (Makam Datok Lopan), Makam Loang Baloq, dan kalau cukup waktu kadang diakhiri di Makam Bintaro.
Biasanya ziarah dilakukan pada hari rabu, karena Makam Wali Nyato’ hanya boleh diziarahi pada hari rabu.
Meski tidak selalu, akan tetapi sering terlintas di pikiran saya untuk mencari tahu lebih jauh tentang riwayat atau kisah perjalanan hidup wali-wali yang saya ziarahi makamnya itu. Namun sejauh ini refrensi tertulis berupa buku, nyaris tidak pernah ada.
Praktis pengetahuan tentang riwayat hidup orang-orang alim tersebut, hanya bisa diakses melalui penuturan-penuturan masyarakat yang sangat terbatas, karena penuturan dari masyarakat itu berdasarkan potongan-potongan ingatan yang mereka warisi dari generasi ke generasi.
Bagi masyarakat umum seperti saya yang memiliki pengalaman empiris berziarah ke makam Datok Lopan. Tentunya, dengan terbitnya buku yang berjudul: “Tuan Guru Organik Dakwah Sosial Datok Lopan di Tanah Sasak” yang ditulis oleh Moh.
Baihaqi dan Syuaib Quri ini, meurupakan sebuah kabar yang menggembirakan. Karena, mungkin buku ini adalah buku pertama yang menghimpun secara kemprehensif riwayat hidup, silsilah keluarga, petuah-petuah, ajaran-ajaran,
Kiprah dan jasa-jasa Almagfurullah Tuang Guru Moh. Soleh atau Datok Lopan, ketika menginisasi berdirinya masjid, santren, embung, jembatan atau fasilitas umum lainnya, serta cerita-cerita seputar karomah beliau yang dapat menambah ketakziman kami.
Kecintaan kami dan mengobati rasa rindu kami kepada sosok alim ulama, De Side Wali yang pernah menjadi guru orang tua kami, guru papuq-baloq kami.
Di samping itu, penyajian buku ini disampaikan dengan bahasa sastra yang sederhana dan tidak berbelit-belit.
Strukturnya dimulai dari narasi tentang silsilah, riwayat pendidikan, kiprah dakwah (perjuangan), jasa-jasa, hingga karomah-karomah Datok Lopan, semuanya disajikan secara runut sehingga mudah dipahami oleh masyarakat biasa sekalipun.
Dan jika terdapat kosa kata Bahasa Sasak yang sulit dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia, penulis buku ini tidak segan-segan menggunakan bahasa aslinya. Semisal istilah-istilah ini: ijo selem, namatang sembayang, pecut jaran, gayas, jemet, kemalik, seruang, gerubuk, bakek beraq, keliang, sapuq poteq, mbung, jowet dan seterusnya.
Tentunya dengan tehnik penyampaian seperti ini, menjadikan pembaca merasa tidak berjarak dengan apa yang dibacanya. Sebab kosa kata – kosa kata tersebut merupakan istilah yang masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Atlas Pengetahuan bagi Kalangan Akademisi.
Bagi kalangan akademisi yang tertarik meneliti tentang ulama atau Tuan Guru Lombok, buku ini sepertinya cukup berpotensi sebagai jembatan atau pijakan awal untuk pengembangan pembahasan ke arah sana. Sebab, sangat sedikit literatur yang menyinggung peran atau perjuangan alim ulama yang berasal dari Lombok.
Sejauh ini, buku-buku yang mendomenasi dan dianggap otoritatif berbicara tentang tokoh-tokoh lokal di Lombok, terbatas pada buku-buku yang ditulis oleh orang luar wabilkhusus sarjana-sarjana Barat yang tentu saja tidak pernah memuaskan.
Oleh karena itu, sekiranya ada kalangan akademisi yang serius ingin meneliti jaringan keulamaan Lombok dan relevansinya dengan masa kini, saya kira buku ini cukup tepat jika hendak dijadikan sebagai “atlas pengetahuan” tentang jaringan ulama Lombok.
Sebab dalam buku ini, penulis menyinggung tokoh-tokoh lain yang menjalin relasi dengan Datok Lopan, baik dengan ulama-ulama Nusantara dari daerah lainnya, maupun ulama yang berasal dari Lombok. Seperti misalnya, ketika belajar di Makkah, Datok Lopan menjalin relasi dengan TGH Umar Kelayu (guru beliau).
Kemudian TGH Ali-Sakra, TGH Muhammad Sidik-Karang Kelok, TGH Ibrahim-Tanjung Luar dan TGH Muhammad Arysad-Mertak Tombok Praya (rekan-rekan Datok Lopan belajar kepada TGH Umar Kelayu, yang berasal dari Lombok).
Kemudian adik tingkat Datok Lopan dari Lombok yang sama-sama berguru kepada TGH Umar Kelayu seperti: TGH Guru Moh. Rais-Sekarbela, TGH Muh. Saleh Hambali-Bengkel, TGH Abdul Hamid-Pejeruk, Tuan Guru Abdul Karim-Praya, TGH As’ari-Sekarbela, TGH Malin-Pagutan, TGH Syarafudin-Pancor, TGH Zaenudin-Tanjung, TGH Badrul Islam- Kelayu dan lainnya (hal. 14).
Di samping itu, buku ini juga sagat mungkin menjadi rujukan awal untuk melihat “keruwetan” persoalan mengenai “Islam Watu Telu”, dari perspektif yang agak berbeda dengan kajian-kajian yang lain.
Sebab, jika penulis lain lebih melihat fenomena “Islam Watu Telu” dengan perspektif syariat Islam, berdasarkan hasil-hasil kajian sarjana-sarjana luar atau Barat (sebagai refrensinya), yang lebih cenderung menilai ajaran-ajaran watu telu sebagai ajaran “sinkretik”.
Sedang penulis buku ini lebih memilih jalan yang sedikit berbeda. Kalau saya tidak salah tangkap, penulis buku ini lebih cenderung menganalisis persoalan “Islam Watu Telu” dengan kerangka tasawuf dan pengetahuan kosmologi Sasak.
Ajaran tasawuf yang cukup rumit itu kemudian, oleh masyarakat Watu Telu digiring ke ranah syariat, sehingga menimbulkan kerancuan pemahaman, dan disitulah Datok Lopan mengambil peran, meluruskan kesalahpahaman tersebut melalui jalur dakwah (hal. 17-21).
Membaca Situasi Politik Nasional dari Lombok.
Indonesia memang dihitung berdaulat sebagai sebuah negara kesatuan pada tahun 1945, setelah Founding Father memproklamirkan kemerdekaan. Tapi sebelum peristiwa proklamasi kemerdekaan, daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Kolonial Belanda merupakan cikal bakal dari wilayah Indonesia.
Maka saya kira tidak berlebihan jika sedikit menyinggung mengenai situasi politik di daerah lain guna mencari korelasinya dengan pembahasan dalam buku ini.
Pada abad ke-19, setelah memadamkan perlawanan Pangeran Diponogoro yang lebih dikenal dengan istilah “Perang Jawa” (1825-1830).
Di Jawa, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan dua kebijakan penting yakni Sistem Tanam Paksa dan membentuk Lembaga Kajian Budaya Jawa yang bernama Javanologi.
Jika tanam paksa tujuannya untuk menutupi kerugian Pemerintahan Kolonial Belanda, akibat perang. Maka Pembentukan Javanologi lebih cenderung ditafsirkan oleh sebagian peneliti, sebagai “politik pengetahuan” atau upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memisahkan Elit Jawa (kalangan keraton) dengan Islam (baca: ulama-ulama Jawa) dan masyarakat Jawa.
Karena Kolonial menilai “Perang Jawa” yang merugikan kedua belah pihak itu didukung oleh faktor persatuan Elit Jawa dan Masyarakat Jawa yang melakukan pemberontakan di bawah “Panji Islam”. Oleh sebab itu, mereka merasa perlu memisahkan Elit Jawa, Masyarakat Jawa dan Pemahaman Islamnya.
Mereka lalu mendatangkan sarjana-sarjana filologi dari Eropa untuk mempelajari seluruh aspek kebudayaan Jawa. Mulai dari manusianya, tradisi budayanya, peradabannya, agamanya dan aspek-apek penting lainnya.
Melalui lembaga Javanologi, pihak Kolonial Belanda menjadi pihak yang paling otoritatif berbicara mengenai Jawa. Mereka mengumumkan bahwa Jawa hanya pernah mencapai peradaban “adiluhung” baik di dunia sastra, tradisi budaya dan agama pada masa pra-Islam, dengan kakawin dan parwa-parwa sebagai maha karyanya.
Sedangkan karya-karya yang dipengaruhi oleh Islam, dinilai memiliki mutu yang rendah, imitasi dan tak “asli” Jawa. Belanda memandang bahwa, pengaruh Islam terhadap masyarakat Jawa, tidak lebih dari sekedar atau hanya selapis tipis kulit luar dari kebudayaan Jawa atau kejawen yang lebih cenderung sinkretik.
Narasi tentang kejawen ini tidak pernah berhenti diproduksi oleh Pihak Kolonial Belanda bahkan setelah kemerdekaan Indonesia. Pada paruh pertama abad ke-20, P.J. Zoetmulder menulis disertasi berjudul PANTHEISME EN MONISME In De Javaansche Soeloek-Litteratuur, yang diterjemahkan ke dalam buku berbahasa Indonesia, dengan judul Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa.
Dalam buku ini sepertinya Zoetmulder hendak menegaskan bahwa seluruh karya sastra suluk Jawa adalah naskah yang terpengaruh dan atau mengandung ajaran Pantheisme-Monisme sebagaimana Pantheisme-Monisme yang terdapat dalam ajaran Hindu-Budha.
Baik itu naskah Jawa yang ditulis pada zaman Kerajaan Hindu-Budha maupun naskah-naskah suluk yang ditulis pada masa kerajaan Islam. Lebih lanjut, pada tahun 1960, Clifford Geertz menerbitkan buku berjudul The Religion of Java. Dalam buku tersebut, Geertz membedakan agama masyarakat Jawa menjadi tiga bagian yakni Santri, Priyai dan Abangan.
Satu pembahasan yang menarik perhatian saya dalam buku ini, ketika Datok Lopan mengungkapkan kekecewaanya setelah lepas dari cengkraman kekuasaan Kerajaan Karang Asem dan beralih ke cengkraman Kolonial Belanda dengan ungkapan: “lepas langan cucuk bawi, tama ojok dalam cucuk acong” yang terjemahan bebasnya kira-kira: “keluar dari mulut babi, masuk ke dalam mulut anjing” (halaman 55).
Saya kira, kekecewaan Datok Lopan terhadap Pemeritah Kolonial Belanda, terlahir setelah menyaksikan dan mengalami penderitaan yang dialami oleh masyarakat Lombok, yang tidak berbeda jauh dengan penderitaan rakyat di bawah kekuasaan Kerajaan Karang Asem.
Kejadian tersebut sepertinya beririsan dengan politik pengetahuan yang berlangsung di Jawa, sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya. Di sisi lain, berkembangnya stigma negatif terhadap komunitas “Islam Watu Telu”, waktunya kira-kira bersamaan dengan produksi pengetahuan tentang stigma negatif terhadap citra “Islam Kejawen” di Jawa.
Lalu apakah stigma negatif terhadap “Islam Kejawen” ini memiliki hubungan yang erat dengan kasus “Islam Watu Telu” yang ada di Lombok? Atau peristiwa ini hanya kebetulan saja? Saya kira harus ada pembacaan dan pengkajian lebih lanjut yang mengarah ke sana, supaya ada solusi atau upaya rekonsilasi terhadap persoalan yang berlarut-larut ini.
Mengingat pada masa-masa itu, pihak Kolonial sedang menarapkan politik devide et empire atau politik pecah-belah (hal. 54) dan jika dicermati lebih mendalam, antara fenomena “Islam Kejawen” dan “Islam Watu Telu” memiliki akar permasalahan yang sama. Yakni sama-sama menggugat persoalan “ortodoksi” Agama Islam.
Terakhir saya ingin katakan, betapapun masih terdapat banyak kesalahan pengetikan (typografi) dalam buku ini, namun saya pribadi mendukung penuh peningkatan kajian-kajian sejarah tentang tokoh-tokoh lokal seperti Datok Lopan. Karena, sependek pengetahuan saya, literatur sejarah tentang tokoh-tokoh lokal Lombok, masih sangat terbatas.
Adapun upaya penulis buku ini, untuk menghimpun ingatan kolektif masyarakat tentang sosok ulama yang dicintainya, merupakan sebuah usaha yang patut mendapat apresiasi yang setinggi-tingginya. Supaya ingatan masyarakat itu bisa terawat, tidak menguap, tidak menjadi milik mitos, betapapun mungkin cerita tentang karomah-karomah Datok Lopan misalnya, cukup asing bagi generasi Sasak zaman sekarang ini. Seasing istilah “Tuan Guru Organik” bagi saya. Wallahualam!
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Yogyakarta, jurusan Filsafat.
Komentar