
MATARAM, QOLAMA.COM | Berdasarkan pantauan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB yang bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam program Monitoring Center for Prevention (MCP) Korsupgah KPK, kinerja pencegahan korupsi tahun 2019 di Nusa Tenggara Barat (NTB) masih mengkhawatirkan.
Rilis FITRA yang diterima Qolama.com menyebutkan, dari 10 Kabupaten/Kota dan Propinsi di NTB, Kabupaten Lombok Timur bahkan termasuk Kabupaten paling buruk dalam pencegahan korupsi karena masih berada di angka 42 persen.
“Pantauan kami, Lotim dalam kondisi paling buruk diantara 10 Kabupaten / Kota yang ada NTB, dia masuk di zona kuning” Ungkap Jumadi peneliti Fitra NTB
Namun begitu, tiga daerah lain di NTB terlihat cukup menggembirakan dan berhasil masuk zona Hijau. Daerah-daerah tersebut antara lain Kota Mataram dengan nilai 79 persen, Lombok Tengah 72 persen dan Pemprov NTB dengan nilai 82 persen.
Sementara untuk daerah lainnya seperti Sumbawa Barat dalam kondisi mengkhawatirkan karena masih berada diangka 53 persen, Bima 57 persen, Kota Bima 59 persen, Lombok Utara dan Lombok Barat 60 persen, Dompu 62 persen, dan Kabupaten Sumbawa 65 persen.
“Tujuh daerah ini kami ingatkan agar lebih giat lagi dengan meningkatkan kinerja dan memperkuat sistemnya dalam pencegahan korupsi” Ungkapnya.
Dalam melakukan pantauan ini, FITRA NTB menjelaskan ada delapan area intervensi yang dilakukan KPK untuk mendapatkan progresifitas pencegahan korupsi di Indonesia.
Delapan hal itu antara lain, perencanaan dan penganggaran daerah, pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu, kapabilitas APIP, managemen ASN, Optimalisasi pendapatan daerah, menejemen aset daerah, dan tata kelola dana desa.
“Untuk Lombok Timur kenapa mendapatkan nilai terendah karena hampir di semua area intervensi tersebut nilainya kurang dari 65 persen” Tambahnya.
Karena kondisi ini, Lombok Timur menjadi Fokus program yang dikerjakan Fitra. Beberapa yang menjadi fokus pantauan adalah area optimalisasi pendapatan daerah, managemen ASN yang berada di angka 11 persen, tata kelola dana desa 33 persen, kapabilitas APIP 33 persen, dan pengadaan barang dan jasa yang nilainya hanya 37 persen.
“Lotim memang banyak PR, misalnya dalam managemen ASN, tata kelolanya buruk sekali sehingga membuka peluang korupsi dan nepotisme begitu pula tata kelola dana desanya,” Ungkapnya.
Khusus area tata kelola dana desa, sebenarnya tak hanya Lombok Timur yang mengkhawatirkan, tetapi semua daerah di NTB. Dalam pantauan didapati, laporan pertanggung jawaban dana desa rata-rata sangat rendah. Padahal pemerintah pusat telah mengatur mekanismenya dengan sangat baik.
“KPK sangat intens masalah dana desa ini, sehingga belakangan banyak kepala desa dan aparaturnya ditangkap karena kasus korupsi dana desa. Saya kira ini menjadi warning untuk kita agar lebih serius memperbaiki sistenya pencegahannya” pungkas Jumadi.