Dengan kata lain, secara simplisitis budaya Sasak dapat bermakna, seluruh bentuk usaha orang-orang Sasak (baik itu jalan lahir maupun jalan batin) menjemput derajat kemuliaan yang dianugrahkan oleh Tuhan untuknya.
Beberapa bulan yang lalu, secara tidak sengaja saya mendapati jagad maya facebook tengah dihebohkan dengan perdebatan mengenai eksistensi kecimol di Lombok. Kecimol merupakan instrument musik, pengiring iring-iringan pengantin menuju pelaminan (nyongkolan), menggunganakan alat-alat musik yang lebih mirip modifikasi instrumen perkusi, ditambah beberapa biduan yang yang menyayikan lagu hasil aransemen dari lagu-lagu dangdut dan sebagian lagu-lagu berbahasa Sasak lainnya, lengkap dengan sound syistem moderennya yang dapat memekakan telinga.
Eksistensi kecimol, yang mendapat penolakan oleh sementara kalangan – yang berujung tuntutan kepada pemerintah daerah agar segera menerbitkan peraturan daerah (perda) berisi larangan pementasan kecimol secara total – setidaknya disebebkan beberapa alasan. Diantaranya, karena kecimol dinilai bukan bagian dari musik tradisional Suku Sasak, oleh sebab itu, kecimol dianggap tidak pantas menjadi instrument pengiring acara “sakral” seperti nyongkolan (Untuk alasan ini, kecimol selalu dibanding-bandingkan dengan Gendang Beleq).
Kemudian saat perform, kecimol dikecam karena kerap menampilkan beberapa remaja, baik laki-laki maupun perempuan berjoget di depan umum. Aksi inilah yang dinilai sangat tidak pantas menurut norma kesusilaan maupun norma agama, dan berpotensi merusak moral generasi muda. Alasan lainnya, karena kecimol kerap dipentaskan, menggunakan badan jalan umum, meskipun kenyataannya hanya sebagian dari badan jalan, namun kecimol tetap dianggap mengganggu kenyaman masyarakat pengguna jalan.
Sementara, pihak pendukung kecimol, yang terdiri dari kalangan masyarakat biasa (non-bangsawan), anggota personilnya, dan pemilik alat musik, menilai tuntutan pembubaran atau pelarangan kecimol dianggap terlalu berlebihan. Mereka menggunakan alasan ekonomi. Bagi pihak pemakai jasa, mereka merasa punya hak untuk memperoleh hiburan yang tersedia, sebagai penyerta momen kebahagiaan keluarga mereka. Selain itu, mereka juga beralasan bahwa dana yang digunakan untuk menyewa jasa kecimol adalah uang pribadi mereka, bukan dana yang diberikan oleh pihak-pihak yang menolak.
Di sisi lain, bagi pemilik atau penyedia jasa, karena kecimol melibatkan setidaknya belasan bahkan sampai puluhan personil (pemain), tuntutan pelarangan atau pembubaran kecimol sama saja dengan menyumbat salah satu sumber penghasilan mereka. Karena bagi mereka penyewaan kecimol merupakan ladang nafkah untuk mendapatkan penghasilan (uang) dengan cara yang normal.
Berangkat dari gambaran singkat mengenai peristiwa perselisihan di atas, entah mengapa saya merasakan ada suatu getaran kecil dan kompleks dalam situasi penuh paradoks yang melingkupi kehidupan masyarakat Sasak dewasa ini. Saya merasa bahwa, ada yang keliru mengenai cara masyarakat memahami hakikat budaya. Alih-alih memaknai fenomena budaya sebagai entitas yang menyatukan dalam suasana guyub dan rukun, dengan adanya polemik di atas, budaya lebih cenderung nampak dengan wajah yang suram dan lemah (tidak berdaulat), budaya juga nampak terengah-engah, berhadap-hadapan dengan persoalan ekonomi dan persoalan agama sekaligus. Apa sesungguhnya yang terjadi?
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan di atas. Saya juga tidak bermaksud untuk terlibat, mengomentari, mendukung ataupun menolak salah satu pendapat tentang keberadaan kecimol. Karena saya tidak punya kapasitas untuk memberi nilai terhadap permasalahan yang sama sekali, tak saya pahami. Namun, dari tulisan ini, saya hendak menyodorkan definisi budaya yang saya pandang paling cocok sebagai bahan refleksi dan otokritik, untuk menilai fenomena sosial yang berkembang hari ini. Redefinisi budaya ini saya pinjam dari rumusan yang dibuat oleh Irfan Afifi dalam bukunya yang berjudul “Daulat Kebudayaan”. Kendati redefinisi budaya ini berasal dari lanskap pengetahuan, atau tradisi sastra Jawa, namun saya pikir definisi budaya ini, sangat relevan untuk memahami problem-problem sosial yang sering muncul di Lombok saat ini.
Melalui penalaran sederhana, istilah budaya ini bisa dipahami sebagai “budi daya” atau “mendayakan budi”, yang berarti juga “mengolah budi”. Kata “budi” itu sendiri bisa dimaknai sebagai bentuk karsa (raga atau kehendak), cipta, jiwa, dan rasa manusia. Dengan demikian, budaya bisa dipahami sebagai proses mengolah karsa, cipta, jiwa, dan rasa manusia agar manusia bisa mengenali fitrah kediriannya sebagai hamba yang hanif (cenderung pada kebaikan). Di sisi lain “mengolah budi” ini juga bisa dipahami sebagai upaya untuk mengolah seluruh aspek terdalam dari diri manusia, yang dalam bahasa agama (Islam) sering disebut sebagai aspek ruhani (ilahiah), untuk mencapai derajat kemanusiaan yang paling tinggi, sebagai khalifah di muka bumi ini.
Dari definisi singkat ini, nampak sekali antara budaya dan agama sebenarnya memiliki hubungan yang erat, atau setidaknya memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama sebagai petunjuk dalam mengolah potensi ilahiah manusia, sehingga manusia dapat meningkatkan derajat kemuliaan yang dimilikinya, sebagai jalan pengenalan jati dirinya, dan bahkan jalan mengenali Tuhannya. Karena itulah, maka tak heran dalam tradisi Jawa, pengolahan 4 fakultas kedirian manusia ini – kendati itu bagian dari pengertian budaya – sering ditambahkan dengan istilah sembah (sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa). Penalaran ini juga sepertinya menemukan signifikansinya dengan skema atau konsep 4 tangga spiritualitas dalam Islam (tasawuf) yakni Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat.
Dengan definisi ini, saya pikir sudah seharusnya budaya dapat menampung seluruh (lahir dan batin) pergulatan manusianya dalam upaya pencarian jati dirinya yang sekaligus merupakan petunjuk ruhani mendekati Tuhannya. Dan jika definisi ini dikontekstualisasikan dengan struktur pandangan dunia masyarakat Suku Sasak, maka budaya Sasak berarti, gerak ontologis yang mencerminkan karsa, cipta, jiwa dan rasa orang-orang Sasak (lokalitas) dalam upaya mencari jati dirinya untuk menggapai derajat kemuliaan paling tinggi dengan berbekal potensi ilahiah (universal) yang dimilikinya. Dengan kata lain, secara simplisitis budaya Sasak dapat bermakna, seluruh bentuk usaha orang-orang Sasak (baik itu jalan lahir maupun jalan batin) menjemput derajat kemuliaan yang dianugrahkan oleh Tuhan untuknya.
Dengan pengertian ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa budaya mestinya dipahami sebagai sebuah proses (kata kerja), bukan hanya sebagai hasil atau produk, seperti yang diajukan oleh Koentjaraningrat yang menyebut budaya sebagai hasil cipta, karsa, dan rasa manusia. Jika budaya dipandang hanya sebagai hasil, maka pemaknaan kita terhadapnya akan terpecah-pecah. Inilah alasan mengapa budaya sering dianggap berlainan atau terpisah dengan agama (spiritualitas masyarakat), ekonomi, bahkan ilmu pengetahuan, karena budaya tidak dapat dipahami dengan pendekatan logis, selaras dengan pendekatan yang diterapkan dalam cara pandang moderen yang serba materialistis dan positivistik.
Lalu, mengapa pandangan terhadap budaya ini bisa berubah? Perubahan ini tidak lepas dari sejarah penjajahan yang pernah dialami oleh masyarakat kita. Sebagai contoh, penjajahan Belanda tidak hanya berfokus pada eksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga berusaha memperkenalkan pandangan dunia yang rasional, ilmiah, dan positivistik. Akibatnya, pemahaman terhadap segala sesuatu diukur dengan takaran benar dan salah, yang membuat pandangan kita terhadap budaya menjadi terfragmentasi dan kehilangan keutuhan maknanya. Hal inilah yang membuat masyarakat cenderung bingung manakala merumuskan dan mendefinisikan ulang budaya sesuai dengan perspektif mereka sendiri. Kendati, tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan kelemahan ini, untuk memenuhi kepentingan (ambisi) pribadinya atau kelompoknya dengan mengatasnamakan budaya.
Sebagai penutup, perdebatan mengenai eksistensi kecimol di Lombok ini, meskipun muncul dengan dinamika yang kompleks dan penuh dengan pro-kontra, sebenarnya peristiwa itu juga mencerminkan sebuah fenomena yang lebih besar tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, memahami dan menghayati budaya. Kultur yang seharusnya menjadi landasan untuk menyatukan dan mengharmoniskan kehidupan sosial malah seringkali terjebak dalam pertentangan yang membuat kita terpecah-belah. Namun, dengan mendalami kembali hakikat budaya sebagai proses pengolahan karsa, cipta, jiwa, dan rasa, kita seperti diajak untuk menyadari bahwa budaya seharusnya menjadi media untuk menggali potensi terdalam manusia, yang pada akhirnya mengarahkan kita pada pengenalan jati diri dan Tuhan. Mungkin sudah saatnya kita meninjau kembali dan menghidupkan pemahaman budaya dengan kesadaran yang lebih holistik, agar tidak terjebak dalam fragmentasi yang hanya menambah kebingungan kita. Dalam konteks ini, budaya harus mampu menjembatani antara aspek lahir dan batin kehidupan manusia, yang tak hanya berfungsi sebagai, semata hiburan atau penggambaran suatu identitas masyarakat saja, tetapi sebagai pedoman hidup yang membimbing kita menuju kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat.
*Lamuh Syamsuar adalah ketua LESBUMI PCNU Lombok Tengah