FeaturesHeadlineIqro'

Sosial dan Agama terhadap Teladan Hukum

“Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan Akhlak” (Muhammad saw.)

Oleh: Tauhid Rahmatullah

S osiologi Pengetahuan berfungsi menjelaskan adanya dialektika (hubungan timbal-balik) antara diri manusia (pikiran/akal budi/realisasi diri manusia secara individu) dengan dunia sosio-kultural (dunia sosial atau masyarakat) yang berlangsung dalam suatu proses yang mengandung tiga hubungan dialektis antara manusia dengan masyarakat, yaitu Eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi.

Melalui externalisasi ini masyarakat menjadi “kenyataan buatan manusia” yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam objektifikasi, yaitu masyarakat dengan segala pranata sosial-nya  akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia lain, dan selanjutnya diserap kembali oleh manusia lain melalui proses internalisasi yang akan membentuk karakter perorangan. Dengan kata lain, dari Externalsasi masyarakat terbentuk, kemudian diterjemahkan oleh objektifikasi yang menjadikan masyarakat saling bersinggungan dengan masyarakat lain, dan selanjutnya melalui internalisasi manusia memiliki karakteristik masing-masing.

Keterkaitan antara Sosial dan Agama sangatlah lekat. Bahkan Sosiologi agama menjadi suatu sub disiplin ilmu dari sosiologi yang mempelajari tentang agama sebagai suatu fenomena sosial, atau fakta sosial yang memiliki peranan dalam masyarakat. Sosiologi agama mencoba menjelaskan keberadaan agama dalam masyarakat serta peranan dan fungsi yang dimainkan agama bagi masyarakat tersebut. Agama dalam hal ini menjadi sub sosial yang bukan hanya sekedar membahas perilaku dengan Tuhan, melainkan memposisikan diri sebagai motor peranata-sosial yang nyata, baik dalam hal politik, kebudayaan, hukum, negara dll. yang langsung menuju objek masyarakat. Agama tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang non-empiris sehingga tidak dapat didekati dari sudut ilmu pengetahuan, tetapi dilihat sebagai sesuatu yang empiris dalam kenyataan sosial sehingga bisa dipelajari.

Apabila kita lihat asal agama sendiri, ahli bahasa memaparkan asal kata agama adalah bahasa Sangsekerta yang terdiri dari rangkaian kata a- gama (a panjang). A artinya cara (the way) dan gama berarti pergi, jalan (to go), sehingga agama dapat diartikan cara-cara berjalan untuk sampai kepada tujuan hidup yang memiliki pedoman dan tuntunan yang dapat dipertanggung jawabkan dan diemban sebagai tatanan hidup seseorang, yang dimana isinya merupakan perintah dan larangan. Sehingga di dalam beragama terciptalah kerukunan yang memiliki wujud pada diri manusia dan mampu mengarahkan manusia menuju kebaikan, ketentraman, ketertiban dan kasih sayang.

Dalam tatanan kehidupan, manusia dituntut memiliki dua sisi yang seimbang, yaitu sosialnya dan keberagamaannya. Karena dengan dua hal inilah manusia mampu menjadikan kehidupan lebih sejahtera. Imam Gazali di dalam kitab Ihya Ulumuiddin pun menerangkan dengan tegas bahwa tujuan dari agama dan pengetahuan adalah Muamalah (Sosial) dan penghambaan (ber-Tuhan) sehingga akan tercapai tujuan hidup yang seimbang. Dari pernyataan Imam Gazali, dapat disimpulkan bahwa agama tidak akan pernah bertentangan dengan kehidupan sosial, bahkan agamalah yang akan mengatur tatanan sosial.

Peter L Berger dalam bukunya Tafsir Sosial Atas Kenyataan menceritakan interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Yang dapat dipahami bahwa, sosial akan baik dan tatanan hukum akan baik apabila seseorang telah memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri melalui sosial yang beragama. Artinya agama pada dasarnya tidak akan lepas dari pranata-sosial dan aturannya pun sesuai dengan kondisi sosial pemeluknya.

Sosial dan agama merupakan dua sumbu yang dianggap seimbang, yang mengatur tatanan kehidupan dengan aturan-aturan yang mampu dilaksanakan oleh setiap masyarakat. Sehingga wajar saja, Prof Abu Yasid menyatakan bahwa tujuan adanya hukum adalah untuk kemashlahatan dan keadilan. Dalam yurisprudensi Islam, tujuan hukum semacam ini dikenal dengan sebutan maqhashidus syariah (Tujuan dari syariat). Sehigga pembahasan hukum terhadap manusia pun sangat strategis, karena manusialah yang menjadi subjek dan objek hukum tersebut. Dalam pembahasan hukum inilah, muncul beberapa madzhab terhadap hukum, baik madzhab rasionalis, tradisionalis, moderat, positivisme, dan juga normativisme.

Madzhab rasionalis pada umumnya memeberikan pemahaman hukum dengan hasil pemikiran mereka, dan selalu menyingkronkan ketetapan agama terhadap hasil pemikirannya. Hal yang berkaitan dengan rasionalis ini di dalam ajaran Islam dinamakan dengan istilah ahlur rayi, yaitu pikiran di dalam hukum yang biasanya menilik hukum Tuhan dengan kondisi sosial. Kemudian madzhab tradisionalis sebenarnya dalam Islam dikenal dengan istilah madzhab Hadits, yang dimana menilik hukum dengan seksama dan tekstual, tanpa harus melihat kondisi sosio masyarakat. Meskipun demikian, madzhab tradisionalis masih sinkron digunakan, lantaran madzhab tradisionals tidak ada yang berentangan dengan sub kultural kemasyarakatan. Madzhab ini, berbeda dengan madzhab rasionalisme, akan tetapi madzhab rasionalis lahir dari madzhab ini. Selanjutnya ada istilah madzhab moderat, sebenarnya madzhab ini menggabungkan antara tradisionalis dan juga rasionalis, yang dimana pada pemikiran ini lahirlah jalan tengah yang mengedepankan aspek sosial. Tiga jenis madzhab ini begitu terkenal dikalangan agama Islam.

Kemudian pada madzhab positivisme, dan normativisme dikenal dengan istilah school of thougt, pemahaman hukum dari Barat. Hukum yang berkembang dengan sebutan alamiah dan tidak bisa lepas dari pengamatan para yuris menyangkut pengelompokan ilmu hukum itu sendiri menurut perspektif filsafat ilmu.

Perlu diketahui bersama, bahwa inilah korelasi antara sosial dan agama dalam membentuk hukum. Sehingga tidak akan ada ketimpangan dalam masyarakat. Charles Cimbal dalam bukunya, mengingatkan kita beberapa hal yang menyebabkan sosial terganggu. Yaitu, karena manusia telah melupakan hakekat dari beragama dan menghamba, sehingga wajar saja apabila agama sebagai patokan bersosial, dan agama pula yang menyesuaikan kondisi sosial terhadap objek agama. Karena agama adalah keadilan dalalam hukum sosial, yaitu menempatkan dan mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Mana yang harus dan tidak harus dilakukan.

Pada akhirnya, keterkaitan antara sosial dan agama sangatlah kental dalam pembentukan hukum. Baik dalam tatanan hukum adat dan hukum formil. Yang dimana keduanya lahir dari kondisi sosial dan agama. Sehingga ketika pelaku sosial telah menyadari tugas dan fungsinya dalam bermasyarakat, maka konflik-konflik sosial, pelanggaran HAM akan hilang dengan sendirinya. Dengan berjalannya waktu, tidak ada lagi pengerusakan atas hak-hak orang lain. Karena inilah Sunnatullah (Ketetapan Tuhan) terhadap manusia, yaitu keanekaragaman sebagai makhluk sosial, dan setiap orang harus menghormati.

Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cek juga
Close
Back to top button