Flash NewsHeadlineTokoh

TEBUIRENG YANG SELALU SAYA KENANG, PAK UD YANG SELALU SAYA INGAT

Memang sulit mendefinisikan apa dan bagaimana kyai itu. Yang berlama-lama ”mengkyaikan diri”, ternyata tidak mendapat pengakuan sebagai kyai. Tetapi sebaliknya: yang tidak siap-siap jadi kyai, malah jadi kyai.

Oleh : Abd. Muchith Muzadi
(Wakil Rois Aam PBNU)

Tebuireng memang sesuatu yang penuh kenangan bagi saya. Lima tahun saya menghuninya, merasakan segala yang terjadi di dalamnya. Pada tahun 1937, saya mulai nyantri di Tebuireng setelah dua tahun mondok di Pesantren Kulon Banon Kajen Pati dan menjadi murid Madrasah Matholi’ul Falah.

Ketika itu, di pondok Tebuireng ada 3 Gus Besar dan 3 Gus Kecil. Tiga Gus Besar adalah : Gus Wahid (KHA Wahid Hasyim yang sudah mulai menjadi tokoh Nasional); Gus Kholik (KHA Kholiq Hasyim) dan Gus Karim (KHA Karim Hasyim). Tiga Gus kecil adalah : Gus Dul (Abdul Haq bin Kyai Idris); Gus Muh (Muhammad bin Kyai Baidlawi) dan Gus Ud (yusuf Hasyim bin Hadratus Syaikh KHM Hasyim Asy’ari). Dua Gus pertama adalah cucu Hadratus Syaikh. Jadi keponakan dari Gus Ud. Karenanya, dua gus pertama memanggilnya Pak Ud dan ditirukan oleh para santri dan alumni sampai sekarang, masih banyak orang yang memanggil Pak Ud, disamping panggilan KH Yusuf Hasyim.
Dengan Gus Wahid, saya tidak kenal secara pribadi karena beliau sudah banyak terlibat urusan di luar pesantren, baik di Nahdlotul Ulama’ maupun di Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) atau urusan perjuangan Islam dan nasional Indonesia. Sedang saya hanyalah santri kecil yang “Bethik”(baca: mbeling). Gus Wahid sering mengadakan pembinaan kader-kader tetapi yang boleh ikut hanyalah snatri-santri senior dan guru-guru. Saya belum boleh ikut serta. Saya hanya mendapat “bocoran-bocoran” apa yang disampaikan kepada para peserta kaderisasi itu.

Saya kenal baik dengan Gus Kholiq, meskipun sebagai “santri cilik” saya harus tahu diri dengan beliau, putera kyai. Perkenalan dengan Gus Khaliq trsambung setelah terjadi pemberontakan G30S/PKI, ketika beliau mendapat sebuah Jeep Wilis dibawa keliling ke mana-mana, termasuk ke Bojonegoro, Tuban dan lain-lain. Saya sempat diajak. Beliau yang mengemudikan dan saya menjadi penumpang di sampingnya, padahal beliau membawa surat perintah jalan yang ditandatangani Panglima Besar Sudirman. Tidak heran, ketika mobil diberhentikan oleh penjagaan yang banyak pada saya. Dikiranya, yang Letnan Kolonel adalah saya. Sedang Gus Kholiq dianggap sopir saya.

Saya juga terkenang dan terkesan dengan Gus Karim. Gus Karim memiliki mesin tulis yang pada masa itu merupakan barang mewah. Saya boleh menggunakannya belajar mengetik. Ketika pulang ke kampung saya sudah besa mengetik, meskipun belum mempunyai mesin katik. Baru beberapa waktu kemudian, saya punya mesin ketik. Bisa mengetik pada masa itu merupakan ketrampilan yang hebat, menaikkan martabat.
Dengan tida Gus kecil, saya kenal baik. Yang paling akrab dengan Pak Ud, Gus Yusuf Hasyim. Jadi perkenalan saya dengan KHM Yusuf Hasyim sudah berlangsung sejak tahun 1937, kemudian berlanjut sampai di luar pondok.

Tetap Akrab di Luar Pondok
Saya pulang (istilah pondoknya: boyong) ke kampung Bangilan Tuban pada tahun 1942 dan Pak Ud sudah ke mana saja, saya tidak jelas. Tahu-tahu, pada tahun 1950_an sesudah merdeka, TNI Batalyon Condromowo dengan komandannya Mayor Munasir Ali dengan kepala Staf, Hasyim Latif, bertugas di Tuban. Empat kompinya, masing-masing dikomandani oleh : Muhammad Baidlowi (Gus Muh dulu), Si Pur, Syakir dan Pak Ud (KHM Yusuf Hasyim). Sesudah batalyon tersebut pindah dari Tuban, batalyon tersebut terkena reorganisasi sehingga sebagai kesatuan, balayon tersebut bubar. Anggotanya pun dipencar-pencar. Ketika Almaghfiroh KHA Wahid Hasyim wafat-kalau tidak keliru tanggal 19 April 1953, saya sempat katut rombongan KH Fathurrahman Kafrawi, mantan Menteri Agama dana KHM Mustain, Bupati Tuban, untuk ta’ziah menjemput jenazah di lapangan terbang Kemayorang (belum Juanda) Surabaya serta mengantarnya hingga ke tempat pemakaman di Tebuireng. Di Tebuireng, saya bertemu – tepatnya “melihat” – Pak UD diantar oleh beberapa orang CPM, konon dia punya masalah.

Hubungan selanjutnya terjadi ketika Pak Ud menjadi salah satu Ketua PP GP Ansor. Suatu ketika, beliau menghindari Konferensi Wilayah GP Ansor Jawa Timur yang antara lain memutuskan permohonan agar PB Partai NU menolak pembubaran perlemen hasil Pemilu 1955 dan pembentukan DPR GR. Konferwil GP Ansor juga mengutus beberapa orang untuk menyampaikan keputusan itu kepada PB Partai NU. Saya termausk di dalam utusan ini, mewakili karisedenan Bojonegor. Permintaan Jawa Timur ternyata tidah berhasil. Bung Karno tetap membentuk DPR GR. Tapi, Pak Ud tegas menolak ditunjuk menjadi anggota DPR GR bersama KH. M. Dachlan.

Bertemu lagi dengan Pak Ud pada tahun 1960 saat Kongres Pemuda di Bandung, dimana situasi mulai memanas, terutama antara Islam – khususnya Ansor-dan komunis PKI. Utusan ke Kongres dari Kabupaten atau kota madya, masing-masing 3 (tiga) orang. Padahal, rata-rata di daerah ada 4 (empat) organisasi pemuda yang besar, yaitu Ansor, GP II, Pemuda Demokrat (PNI) dan Pemuda Rakyat (PKI). Jadi, mulai di daerah sudah terjadi rebutan karena salah satu organisasi akan tidak diikutsertakan dalam delegasi. Dalam menentukan 3 dari 4 orang ini, peran KODIM sangat menentukan, di tingkat pusat, bahkan lebih panas lagi. Kongres Pemuda bukan forum “bersatunya” pemuda seperti Kongres Pemuda tahun 1928, tapi merupakan “perang dingin antara kelompok muda”. Terutama, antara Ansor dan Pemuda Rakyat. Pak Ud yang menjadi pimpinan delegasi Ansor memberi instruksi: “Kalau sesuatu terjadi atas diri saya oleh PKI, maka jangan urus jenazah saya. Tetapi, cepat lakukan balasan, bunuh Pemuda Rakyat”. Memang, dalam sikap anti komunis, Pak Ud paling Pol, dari dulu sampai sekarang, ketika beberapa tokoh nasional, bahkan Islam termasuk NU, sudah mulai luntur. Sebagian “kecil” bahkan sudah menyalahkan NU, membenarkan PKI, memuji-muji “korban 1965”.

Pertemuan yang sangat mengesankan ialah saat acara peresmian IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada tahun 1965. beliau duduk disamping saya. Nyeletuk, beliau berkata:”Khi (singkatan dari Ya Akhi), kiamat sudah dekat”. Saya terkejut. “Ada Apa?”, kata saya balik tanya, “Ente tahu siapa dan bagaimana saya. Beberapa hari yang lalu, rapat keluarga memutuskan, saya menjadi penerus Pengasuh Tebuireng”. Saya menjawab: “Putra Hadratus Syaikh harus mau, mampu dan berani mengemban tugas ini”. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kata-kata beliau. “Bantu saya. Sampeyan kembali ke Tebuireng, menjadi pembantu utama saya”. Dalam keterkejutan, saya menyahut.” Wah, kiamatnya makin cepat, kalau Kyainya Pak Ud dan pembantu utamanya uchit”. Pembicaraan tentang Tebuireng ini terhenti sampai beberapa bulan yang lalu, ketika beliau akan menyerahkan “Keprabon” ini.

Pesantren

Seorang intelektual nasionalis – kalau tidak keliru, Dr Sutomo – pernah berkata bahwa pesantren adalah konservatorium nasionalisme dan patriotisme. Maksudnya kira-kira: seandainya tidak ada pesantren dan seluruh bangsa Indonesia mendapat pendidikan model barat, kira-kira bangsa Indonesia akan kehabisan semangat nasionalisme dan patriotisme serta akan sulit diajak bergerak berjuang merebut kemerdekaan.
Kyai dan pesantren memang suatu yang unik. Seorang tokoh pendidikan nasional, Ki Mangunsarino pada suatu kegiatan diskusi orang-orang pesantren pada kegiatan diskusi orang-orang pesantren pada tahun 1980_an di Kaliurung (dan saya ikut di dalamnya) berkata: ” Saya sangat tertarik pada pesantren. Saya ingin punya pesantren. Kebetulan saya punya dana dan fasilitas. Saya dirikan bangunan-bangunan seperti pesantren. Ada ruang belajar, ada ruang tidur dsb. Tapi ternyata tidak menjadi seperti pesantren. Saya pikir-pikir, mengapa?. Akhirnya saya temukan sebabnya adalah karena saya bukan kyai dan tidak akan bisa jadi kyai”. Memang sulit mendefinisikan apa dan bagaimana kyai itu. Yang berlama-lama ”mengkyaikan diri”, ternyata tidak mendapat pengakuan sebagai kyai. Tetapi sebaliknya: yang tidak siap-siap jadi kyai, malah jadi kyai.

Menurut Pak Ud, pesantren adalah lembaga pendidikan, lembaga perjuangan dan lembaga pelayanan masyarakat. Pendapat Pak Ud ini saya sebarkan ke mana-mana setiap ada kesempatan, bukan sekedar berbangga-bangga tapi sekaligus untuk mengingatkan para pengemban pesantren bahwa pesantren mengemban tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan.

Pesantren Tebuireng membuktikan telah memenuhi tiga tugas tersebut. Tahun-than dimana saya mondok di sana adalah masa meningkatnya gerak perjuangan kemerdekaan nasional. Serikat Islam berdiri, disusul Budi Utomo, Muhammadiyah, ISDP, PKI, NU, PNI, Kogres Pemuda, Partindo dsb. Ketika Partindo bubar dan kader-kadernya semburat ke beberapa daerah, tidak banyak orang tahu bahwa diantara mereka ada yang “masuk Pesantren Tebuireng”. Kebetulan masa itu di Tebuireng sendiri sudah mulai demam perjuangan nasional.

Ketiga lagu Indonesia Raya masih dilarang, di dalam Pesantren Tebiuireng justru malah “mewiridkan”nya di semua kelas, tiap hari Kamis pada jam terakhir menjelang libur Jum’at. Buku-buku yang di luar pondok dilarang, di pondok menjadi bacaan para santri. Majalah dan koran berbagai macam masuk pondok. Mulai Suara Umum, Panji Masyarakat (Hamka), Panji Islam (Z. Abidin Ahmad), bahkan Majalah Roman Dunia Pengalaman dari Medan juga termasuk.

Pesantren memiliki perpustakaan dengan ratusan buku. Bahkan, ada santri yang masih menyewa buku di bibliotik Taman Siswa di Cukir.
Di Tebuireng, kebebasan berorganisasi juga sedang marak. Tiap kelas punya organisasi. Tiap daerah bikin organisasi kedaerahan. Bahkan ada organisasi yang umum untuk semua daerah. Yang saya ingat bernama Raudlotul Isti’natil Mardliyah (RIM) yang dipimpin oleh Almarhum KH. Abu Nasir dari Brebes. Beliau punya kekayaan beberapa hektar tanah, hasil iuran para santri atau murid. Semua kegiatan berorganisasi tersebut dilakukan oleh para santri atau murid tanpa campur tangan guru atau pengurus pondok. Rupanya memang, Tebuireng secara alamiah mempersiapkan santri atau murid untuk menjadi tokoh masyarakat menurut kondisinya masing-masing.

Tebuireng dan Nahdlatul Ulama’
Seingat saya, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari selaku Pengasuh Pesantren tidak pernah “menganjurkan” santri atau murid masuk Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Tapi ternyata, hampir 100 persen alumni menjadi “orang NU”, meskipun ketika di pondok tidak pernah banyak mendapat “pendidikan khusus ke NU an”. Kelihatan aneh, kalau ada alumni Tebuireng, tapi di kampung halamannya, tidak menjadi orang NU.

Pada tahun 1940_an, memang akhirnya para santri sendiri berinisiatif mendirikan Kring (sekarang Ranting) Nahdlatul Ulama’ Pondok Tebuireng, terpisah dari ranting di luar pondok.
Diketahui oleh Abu Nasir dari Brebes, Wakir Ketua Musa dari Tuban dan sekretarisnya Achmad Hamid Wijaya dari Jember yang kemudian menjadi toko besar GP Ansor. Beliau bertiga inilah yang membai’at saya menjadi tokoh NU pada tahun 1941. pembaiatan ini sangar besar manfaatnya. Si anggota ini merasa sebagai “anak buah” yang harus hormat dan taat pada pengurus Ranting. Sebaliknya, Pengurus Ranting menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpi. Tidak seperti sekarang, banyak pengurus ranting yang tida tahu siapa yang diurusinya.

Bahkan, banyak sekali tokoh-tokoh NU yang tidak tahu di ranting mana dia tergabung sebagai orang NU.
Memang, pewarisan nilai-nilai ke-NU_an tida cukup melalui bacaan dan kursus-kursus, tapi harus dilengkapi dengan pewarisan melalui proses keteladanan yang sekarang sudah sangat kurang. Nilai-nilai ke-NU-an hanya direka-reka sendiri, diotak-atik sendiri yang sangar dipengaruhi oleh subyektifitas yang datang dari luar ke-NU_an.
Keberhasilan Tebuireng mencetak kader-kader NU, menurut saya, karena dua faktor utama. Pertama, keteladanan yang diberikan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Kedua, kursus-kursus yang diberikan oleh KH. A. Wahid Hasyim kepada santri-santri senior yang kemudian menular pada santri-santri lainnya. Beliau terkenal sangat jeli dan jitu memilih calon kader yang kemudian dibinanya dengan berhasil seperti KH. Ahmad Shiddiq, KH. Saifuddin Zuhri, dan lain-lain. Sayang, saya tidak termasuk calon kader pilihan beliau. Saya hanyalah penerima ”bocoran” dari calon kader-kader pilihan beliau. Tidak mungkin mencatat keteladanan yang diberikan oleh Hadratus Syaikh kepada para santri dan kepada ummat. Satu saja ditampilkan disini, yaitu ketika CH. Van der Plas, Gubernur Hindia Belanda untu Jawa Timur berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng dan menawarkan jabatan Adviseur voor Indlansche Zaken (Penasehat Urusan Kaum Bumiputera, praktis urusan Kaum Muslimin). Hadratus Syaikh menolak. Bukan hanya menolak, tetapi beliau mengumpulkan para santri (Melalui ”DAWUH”) dimana diuraikan tawaran dan penolakan tersebut disertai ”perintah” supaya para santri berpuasa dan berdo’a semoga beliau Hadratus Syaikh diteguhkan iman untuk tetap menolak tawaran. Luar biasa ”DAWUH” adalah tradisi di Tebuireng, kalau ada hal penting yang harus segera disampaikan langsung oleh Hadratus Syaikh kepada para santri. Biasanya habis Isya’ bel (tanda masuk madrasah) di Masjid dibunyikan, disambung santri yang mendengar bersinambungan ”dawuh, dawuh, dawuh” sehingga santri yang di kamar jauh dari masjid mendengar dan berlarian ke masjid. Komunikasi yang unik

Penutup
Lebih dari setahun yang lalu, Pak Ud menelpon saya tidak hanya sekali minta bertemu dengan saya. Karena kesehatan, saya belum dapat memenuhinya. Akhirnya, beliau mengajak berkompromi. ”Kapan Pak Muchit ke Barat. Surabaya umpamanya, tolong saya diberitahu, saya akan ke Surabaya menemui”. Bulan Desember 2005, saya ada acara di Bangil, maka saya beritahukan kepada Pak Ud. Tercapailah kesepakaran bertemu di Pasuruan.

Dalam pertemuan itu, selain bicara ngalor-bgidul, akhirnya Pak Ud bicara soal Pondok Tebuireng. ”Saya sudah tua. Anak-anak saya tidak ada yang sanggup meneruskan tugas saya sebagai pengasuh pesntren. Bagaimana ini? Siapa yang harus meneruskan tugas saya ini. Sampeyan sebagai alumnus yang (mungkin) tertua saya mintai pertimbangan”. Saya tidak mengira akan diminta pertimbangan mengenai soal seberat ini. ”Menurut saya, suksesi pengasuh pesantren biasanya menjadi urusan keluarga”, jawab saya. ”Ya. Tapi, saya ingin mendapat pertimbangan dari teman-teman yang punya perhatian besar terhadap Tebuireng”.

Pembicaraan berlanjut, tapi tidak sampai pada kesimpulan dan memang tidak mencari kesimpulan. Pembicaraan dilanjutkan dengan beberapa alumni senior di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hasilnya, sama dengan pembicaran Pasuruan: ”Pertama, apa kata keluarga dan kami alumni memberikan pertimbangan”.

Kemudian, saya diundang Pak Ud ke Tebuireng dan ternyata ada rapat keluarga. Dalam rapat tersebut, ada kesepakatan bahwa penerus Pengasuh Tebuireng adalah KH. Ir. Salahuddin Wahid. Saya sebagai salah seorang alumnus mendukung kesepakatan keluarga itu. Tida ada alasan untk berkeberatan. Sayang, pada acara serah terima tugas yang sangat penting ini, saya tidak mampu berangkat lagi ke Tebuireng karena faktor kesehatan.

Yang perlu dicata dalam sejarah kepesantrenan adalah keberanian Bapak KH. Yusuf Hasyim merintis pola suksesi kepemimpinan pesantren dengan cara ”mengundurkan dari dan menyerahkan kepada pengganti atau penerusnya”. Hal ini menunjukkan salah satu bukti kebesaran Pak Ud.

Setelah beliau pindak dari ”rumah dinas” (dalem kesepuhan) ke rumah pribadi, Pak Ud menelpon saya. ”Saya sudah pindah dari rumah dinas. Sekarang terasa kesepian. Kapan anda nyambangi saya?”. belum sempat saya ke Tebuireng lagi, terdengar berita beilau sakit dibawa ke Surabaya dan kemudian dipanggil oleh Allah Yang Maha Kuasa. Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un. Seorang kyai, pejuang yang teguh pendirian, perintis dokratisasi suksesi pesantren telah meninggalkan kita. Semoga segala amal baiknya diterima oleh Allah Swt dan segala kesalahannya diampuni-Nya. Amien.

Dalam kenangan; (Tulisan Allahyarham KH. Muchith Musadi di Buku Sang Pejuang Sejati. Foto; KH. M.Yusuf Hasyim dan KH. Muchith Muzadi)

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button