
4 Tahun Memperbudak Seks Anak SD, LBH GP Ansor NTB Minta Mansur Alias Gecung Dihukum Kebiri
LBH GP Ansor NTB menuntut pelaku ditahan segera, dihukum seberat-beratnya bahkan jika perlu dihukum kebiri
Mataram – Bayangkan seorang anak perempuan, masih kecil, yang seharusnya bermain, belajar, dan tumbuh dengan aman, harus menanggung mimpi buruk setiap hari. Korban, yang kini duduk di bangku kelas 2 SMP, telah menjadi sasaran kekerasan seksual selama empat tahun lamanya, sejak duduk di kelas 5 SD. Pelakunya: Mansur alias Gecung.
Selama bertahun-tahun itu, hidupnya seperti dipenjara dalam tubuhnya sendiri. Setiap hari, ketakutan dan luka menjadi teman yang tak terucap. Keluarga korban, yang berjuang melaporkan kejahatan ini, bahkan ditekan oleh oknum aparat agar mencabut laporan. Hingga akhirnya mereka meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Mataram Namun mereka menolak.
LBH Gerakan Pemuda Ansor NTB, yang mengawal kasus ini, menyoroti kejanggalan penanganan aparat hukum. Ketua LBH, Abdul Majid, S.H., menceritakan:
“Sejak penyidikan awal, kami melihat ada perlakuan istimewa bagi tersangka. Saat kami mendatangi Polres Lombok Tengah, penyidik justru terlihat mencari alasan agar perkara ini tidak berlanjut. Pelaku tidak ditahan, sementara korban terus menderita.”
Puncak keanehan terjadi pada 25 September 2025, ketika pelimpahan kasus dari polisi ke kejaksaan dan pengadilan dilakukan dalam satu hari—dan pelaku tetap bebas. Dalam kasus serupa, termasuk pelaku penyandang disabilitas atau pimpinan pesantren, aparat hukum bertindak tegas: pelaku langsung ditahan dan dihukum.
LBH GP Ansor NTB menegaskan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pun tidak diterapkan dalam kasus ini, meski berkali-kali diminta.
“Korban ini anak kecil. Hidupnya telah dirampas empat tahun. Negara harus berdiri di pihaknya, bukan membiarkan pelaku bebas,” ujar Abdul Majid.
LBH GP Ansor NTB menuntut pelaku ditahan segera, dihukum seberat-beratnya bahkan jika perlu dihukum kebiri. Mereka juga menyerukan masyarakat, tokoh agama, dan pegiat perlindungan anak untuk tidak diam, karena setiap pembiaran adalah kekerasan kedua bagi korban.[]