
LBH GP Ansor NTB Sebut Ada Kejanggalan Sistematis dalam Kasus Kekerasan Seksual Anak di Lombok Tengah
Mataram – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Nusa Tenggara Barat (NTB) menduga ada kejanggalan sistematis dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Lombok Tengah. Tiga institusi hukum — kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan — disebut terlibat dalam pola perlakuan istimewa terhadap pelaku.
Ketua LBH GP Ansor NTB, Abdul Majid, SH, mengatakan sejak tahap penyidikan sudah tampak ada perlakuan istimewa terhadap pelaku. Bahkan, kata dia, ada oknum polisi yang diduga aktif meminta keluarga korban mencabut laporan.
“Sejak tahap penyidikan kami sudah melihat ada yang aneh dalam penanganan perkara ini. Penyidik terlihat sangat menspesialkan pelaku. Bahkan menurut informasi dari klien kami, ada oknum polisi yang sangat aktif meminta agar keluarga korban mencabut laporan. Tapi keluarga korban tegas menolak,” ujar Abdul Majid dalam keterangan pers, Jumat (18/10/2025).
Majid menyebut, penyidik juga terkesan mencari-cari alasan untuk tidak melanjutkan perkara dan tidak melakukan penahanan terhadap pelaku. Kejanggalan makin mencolok ketika Kejaksaan Negeri Praya mengeluarkan rilis pers yang menunjukkan koordinasi tiga institusi hukum dalam satu hari.
“Pada 25 September 2025, proses pelimpahan perkara dari kepolisian ke kejaksaan dan dari kejaksaan ke pengadilan dilakukan dalam satu hari, dan terdakwa tidak ditahan. Ini jelas menunjukkan adanya upaya meringankan pelaku,” tegasnya.
LBH GP Ansor NTB juga menyoroti tidak digunakannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), meski tim penasihat hukum korban sudah berulang kali meminta.
“Ini bukan hanya kelalaian, tapi bentuk nyata keberpihakan terhadap pelaku. Kami tidak bisa diam melihat hukum dipermainkan seperti ini,” lanjut Majid.
LBH GP Ansor NTB pun menyampaikan empat tuntutan:
- Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI, Kejati NTB, dan Ketua PT NTB diminta memberi perhatian serius pada perkara ini.
- Pelaku harus segera ditahan dan dihukum maksimal.
- Aparat penegak hukum yang diduga berpihak pada pelaku harus dievaluasi dan ditindak.
- UU TPKS wajib digunakan untuk melindungi korban.
“Korban adalah anak kelas 2 SMP yang disetubuhi pelaku sejak kelas 5 SD. Negara seharusnya melindungi korban, bukan membiarkan pelaku melenggang bebas,” tegas Majid.
LBH GP Ansor NTB menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan sepenuhnya.