HeadlineIqro'Kolom

Hanya Orang Bodoh yang Menganggap Kitab “Tsabat Ibnu Hajar” Mengisbat Nasab Kaum Habaib

Oleh: KH. Abdul Ghalib Syahuri Nur
(PP Salafus Shalihin, Batuampar, Pamekasan)

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami telah memberikan pernyataan tegas dalam kitabnya bahwa setiap pengakuan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW haruslah dicurigai dan diverifikasi kebenarannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak sembarang orang bisa mengklaim dirinya sebagai dzurriyyah (keturunan) Nabi SAW tanpa dasar yang sah.

ينبغي لكل احد ان يكون له غيرة في هذا النسب الشريف وضبطه حتى لا ينتسب اليه صلى الله عليه وسلم احد الا بحق
“Sebaiknya bagi seseorang memiliki kecemburuan terhadap nasab yang mulia ini dan memverifikasi setiap orang yang mengaku memiliki nasab tersebut, agar tidak sembarangan orang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW kecuali dengan bukti yang sah.”
(As-Shawa’iqul Muhriqoh, Jilid 2, hal. 537)

Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa seseorang yang benar-benar memiliki nasab bersambung kepada Rasulullah SAW tidak mungkin terjatuh dalam kekufuran, kemurtadan, bahkan dosa besar sekalipun.

Dengan demikian, sangat relevan jika nasab kaum Habaib perlu diverifikasi secara serius. Sebab, kenyataannya terdapat sejumlah pihak yang mengaku sebagai keturunan Nabi, tetapi menunjukkan penyimpangan besar dalam keyakinan maupun perilaku, seperti:

• Tomas Riwu As-Segaf (Kristen, Tangerang)
• Umar Syahab, Bakir Muhammad Al-Habsyi (IJB), Ahmad Al-Idrus, Ahmad Ba-Ruqbah, dan Abdullah Al-Haddad (PP Al-‘Ithroh) — kelompok Syiah pencela sahabat Nabi
• Muhammad Ali Hinduan, Yusuf Al-Qadri — pelaku pemerkosaan dan pembunuhan
• Klaim sesat leluhur seperti:
• Allah menampakkan diri di Hadramaut saat lahirnya Al-Faqih Al-Muqaddam (Al-Burqatul Musyiqoh, hal. 110)
• Habib Abu Bakar bin Salim bersekutu dengan Allah dalam keraton-nya (Al-Waraqot, hal. 303)
• Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad mengatur alam semesta (Qurratun Nadzir, hal. 294)
• Al-Faqih Al-Muqaddam mengaku sebagai Allah (Al-Masyrour-Rowi, hal. 112, manuskrip)
• Habib Ahmad Al-Habsyi menghalalkan yang haram seperti memencet payudara (Kunuzus Sa’adah, hal. 237)

نعم: الْكفْر إنْ فرض وُقُوعُه لأحدٍ من أهل الْبَيْت وَالْعِيَاذ بِاللَّه، هُوَ الَّذِي يقطعُ النِسْبةُ بَين مَنْ وَقع مِنْهُ وَبَين شرفه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم…
“Jika terjadi kekufuran pada seseorang yang mengaku dari Ahlul Bait, maka itu menandakan terputusnya nasab dengan Rasulullah SAW. Saya mengatakan ‘jika’ karena saya meyakini bahwa kekufuran sejati tidak akan terjadi pada seseorang yang benar-benar memiliki nasab bersambung kepada beliau.”
(Al-Fatawa al-Haditsiyah, Ibnu Hajar, hal. 199)

Mengapa Kitab “Tsabat Ibnu Hajar” Tidak Layak Dijadikan Landasan Pengisbat Nasab Habaib?

Pertama, redaksi dalam “Tsabat Ibnu Hajar” (hal. 212–214) tidak bisa dinisbatkan secara sah kepada Imam Ibnu Hajar Al-Haitami karena:

1. Tidak disebutkan sanad yang menghubungkan beliau dengan Syekh Abu Bakar bin Abdullah Al-Aidarus. Padahal, Abu Bakar Al-Adni wafat tahun 914 H, sedangkan Ibnu Hajar lahir tahun 909 H. Sangat tidak mungkin beliau menerima ijazah langsung saat usia dini.

2. Teks dalam kitab itu identik dengan yang ada dalam Al-Juz’ul Lathif. Jika demikian, kemungkinan besar hanyalah salinan tanpa verifikasi.

3. Ulama Ba’alawi sepakat bahwa tasawuf mereka dimulai dari Syekh Muhammad bin Ali Al-Faqih Al-Muqaddam melalui Abu Madyan, bukan jalur Imam Ibnu Hajar.

Kedua, kitab ini diduga merupakan tambahan dari dua muridnya: As-Saifi dan Al-Faqihi, yang menisbatkan kitab ini kepada guru mereka secara sepihak.

Empat Alasan Kitab “Tsabat Ibnu Hajar” Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Nasab

1. Penyebutan silsilah dalam kitab itu bersifat tabarruk (mengambil berkah), bukan sebagai pengakuan sahih atas nasab:
وإنما اثبت هذا هنا تبركا بذكر الصالحين…
“Saya tulis nama-nama ini untuk mengambil berkah dari orang-orang saleh, bukan untuk menetapkan bahwa nasab tersebut sah.”
(Tsabat Ibnu Hajar Al-Haitami, hal. 168)

2. Kitab tersebut tidak dimaksudkan untuk pengesahan nasab, melainkan semata-mata tabarruk.
كل مكتوب ليس لمقصوده اثبات النسب…
“Setiap catatan yang bukan ditujukan untuk mengesahkan nasab, maka tidak boleh digunakan untuk tujuan tersebut.”
(Fatwa Imam As-Subki)

3. Pengakuan dalam kitab itu bersifat dugaan, bukan penetapan, sehingga tidak sah digunakan sebagai bukti nasab.
ويثبت النسب بالعلامات الواضحات…
“Nasab hanya bisa ditetapkan dengan tanda-tanda dan bukti yang jelas, bukan dengan dugaan atau keserupaan.”
(Rasa’il Fi ‘Ilmil Ansab, hal. 101)

4. Kitab ini termasuk kategori kitab tabik (penyalin) yang perlu diverifikasi sumbernya karena berpotensi memuat kebohongan.
ومن مظان الوضع والكذب في الأنساب كتب التصوف…
“Kitab tasawuf, sejarah, dan kisah yang bukan bagian dari ilmu nasab berpotensi mengandung kebohongan dan tidak layak dijadikan sumber nasab.”
(Rasa’il Fi ‘Ilmil Ansab, hal. 164–165)

Hasil penelusuran juga menunjukkan bahwa kitab ini hanya menyalin dari Al-Juz’ul Lathif karya Abu Bakar bin Abdullah Al-Aidarus. Dijelaskan dalam halaman 20 bahwa sumber aslinya tetap dari Syekh Ali bin Abu Bakar As-Sakran.

لايحتج بكثرة المصادر إذا كانت كلها تنقل من أصل واحد
“Tidak bisa dijadikan hujjah banyaknya sumber apabila semuanya bersumber dari satu asal yang tidak valid.”
(Muqaddimat Fi ‘Ilmil Ansab, hal. 85)

Penutup

Kaidah umum yang disepakati para ulama adalah:

إن ما كان تابعاً لغيره في الوجود لا ينفرد بالحكم، بل يدخل في الحكم مع متبوعه
“Segala sesuatu yang mengikuti lainnya dalam keberadaannya, maka hukumnya mengikuti yang diikutinya.”
(Al-Wajiz, hal. 331)

Maka jelaslah bahwa kitab “Tsabat Ibnu Hajar” tidak memiliki kekuatan dalil untuk menetapkan atau mengesahkan nasab para Habaib. Apalagi ketika kitab rujukan utamanya seperti Al-Burqatul Musyiqoh sudah nyata mengandung kebohongan.

إذا عرف الواضع وعرفت علة الوضع الجارحة انتفى الإستدلال
“Jika diketahui siapa yang meletakkan (nasab palsu) dan cacatnya jelas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukum.”
(Muqaddimat Fi ‘Ilmil Ansab, hal. 85)

Wassalam.

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button