FeaturesHeadlineKampus

IKA PMII: Dewasa, Tapi Kok Masih Centil Saja!

Kalau IKA PMII NTB ingin tampil keren, jangan tiru struktur komisariat. Jadikan IKA PMII perahu bukan panggung. Yang mengantar orang ke tujuan. Bukan tempat naik selfie lalu turun lupa arah pulang.

Oleh: Choy, Pengurus PW IKA PMII NTB

Dulu sering numpang tidur di sekretariat PMII. Hari ini malah rapat di hotel. Lalu lupa siapa yang dulu rebahan bareng dan makan nasi bungkus dari kotak kardus.
Ya, begitulah. IKA PMII—atau Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia—harusnya bukan tempat bernostalgia saja. Tapi juga tempat belajar menjadi orang dewasa, dengan cara dewasa.

Kenapa disebut alumni? Karena seseorang sudah selesai menjalani proses. Baik di lembaga pendidikan, maupun organisasi pergerakan. Alumni itu bukan lagi siswa. Bukan lagi kader. Bukan lagi penggerak lapangan yang sibuk orasi dan ngurus logistik aksi.
Dia sudah selesai… setidaknya dari fase itu.

Maka, alumni berbeda dengan “purna”, “mantan”, atau “bekas”. Kalau tentara dan polisi bilang dirinya purna. ASN menyebut pensiunan. Pekerja migran bilang purna migran. Nah, alumni bukan gelar istimewa. Bukan simbol elitisme. Hanya penanda: saya pernah berproses di situ, dan sekarang sudah saatnya memberi makna baru.

Sayangnya, banyak struktur organisasi alumni — termasuk IKA PMII — masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Struktur pengurusnya masih meniru organisasi kader:
Ada ketua, lalu deretan wakil ketua. Ada sekretaris, dengan deretan wakil sekretaris. Bidang-bidangnya? Masih seperti di masa mahasiswa: kaderisasi, aksi, advokasi. Kadang malah lebih ramai struktur daripada kerja nyata.
Centil, kadang sangar, tapi seringkali kehilangan arah.

Padahal, semestinya, IKA PMII bicara realitas hidup alumni — bukan romantisme gerakan.
Harusnya bicara soal alumni yang jadi pemborong, dosen, ASN, guru, pemikir, aktivis sosial, perempuan tangguh, atau pensiunan.
Struktur IKA mestinya dibangun berdasarkan profesi dan ruang hidup para alumninya. Bukan lagi dibagi berdasarkan wilayah dan jabatan organisasi.

Lihat organisasi alumni lain — HMI, IMM, dan sebagainya. Banyak yang sama: masih ribut soal struktur, belum tuntas soal fungsi. Mungkin demi menjaga semangat. Tapi semangat tanpa isi hanya membuat alumni seperti pemain bola gendut: masih mau berlari-lari di lapangan, tapi nafasnya ngos-ngosan. Atau seperti pemain ceking: bola yang dia giring malah mempermainkan dirinya.

Kita perlu akui: alumni butuh posisi, jabatan, dan ruang strategis. Itu manusiawi. Tapi yang lebih penting, alumni butuh wadah yang bisa membuat mereka percaya diri, berdaya, dan berkontribusi nyata.

IKA PMII (dan organisasi alumni lain) bisa, misalnya, mengorganisir kelompok profesi: guru, dosen, ASN, P3K, politisi, konsultan, diplomat, pengacara.
Mengorganisir apa? Bukan sekadar seragam dan stempel. Tapi hobinya, humanismenya, bahkan impiannya.

Karena untuk soal kerja dan karier, mereka biasanya sudah terikat pada institusi atau asosiasi profesional masing-masing.

Tugas IKA, atau ikatan alumni apa pun, bukan menyaingi dunia kerja, tapi memastikan tidak ada alumni yang merasa sendirian dan terlantar. Bahwa ada yang peduli. Ada yang menjaga. Ada yang menyapa saat hidup terasa hambar.

Maka, organisasi alumni seharusnya jadi tempat di mana orang merasa hidupnya bermakna. Jadi juru kebaikan. Jadi katalisator perubahan.
Dan kalau dari situ ada yang “panen” jadi legislator, delegator, atau representator masyarakat—ya bagus!, Tapi ingat: IKA PMII bukan agen penyalur kerja. Tapi juga jangan jadi penghalang jalan bagi siapa pun yang sedang berproses menuju kehidupan yang lebih baik.

Maka kalau hari ini IKA PMII NTB ingin tampil keren, jangan tiru struktur komisariat. Jadikan IKA PMII perahu bukan panggung. Yang mengantar orang ke tujuan. Bukan tempat naik selfie lalu turun lupa arah pulang.[]

Adsvertise
Selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button