AgamaHeadlineIqro'PendidikanSejarah IslamTokoh

Pesantren Al-Khoziny Buduran: Warisan Satu Abad Keikhlasan dan Keilmuan

Dari Kiai Khozin Sepuh hingga KHR Abdus Salam Mujib, Pesantren Al-Khoziny Buduran menjadi saksi perjalanan panjang tradisi keilmuan dan spiritualitas Islam di Jawa Timur.

Di sebuah jalan kecil yang tenang di Desa Buduran, Kecamatan Buduran, Sidoarjo, berdiri sebuah pesantren tua yang telah menjadi saksi perjalanan panjang keilmuan Islam di tanah Jawa. Namanya Pondok Pesantren Al-Khoziny, terletak di Jalan KHR Moh Abbas I/18.

Pesantren ini bukan sekadar lembaga pendidikan Islam, tetapi juga jejak keikhlasan dan perjuangan ulama Nusantara dalam menanamkan nilai-nilai ilmu, adab, dan pengabdian.

Nama Al-Khoziny diambil dari pendirinya, KH Raden Khozin Khoiruddin, yang dikenal masyarakat sebagai Kiai Khozin Sepuh. Beliau merupakan menantu KH Ya’qub, pengasuh Pesantren Siwalan Panji di periode ketiga.

Dalam jurnal Peranan KH Abdul Mujib Abbas dalam Membaca Pesantren Al-Khoziny Buduran Sidoarjo (1964–2010), disebutkan bahwa Kiai Khozin Sepuh memiliki kontribusi besar dalam melanjutkan tradisi keilmuan Siwalan Panji.

Dari pesantren Siwalan Panji inilah lahir para ulama besar seperti KH M. Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH Nawawi (Pendiri Pesantren Ma’had Arriyadl Kediri), KH Usman Al Ishaqi (Al-Fitrah Surabaya), hingga KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo).

Jaringan keilmuan mereka terhubung erat dengan Buduran, menjadikan Al-Khoziny bagian penting dari sejarah keulamaan di Jawa Timur.

Lebih Tua dari yang Diduga

Banyak tulisan menyebutkan bahwa Pesantren Al-Khoziny berdiri sekitar tahun 1926 atau 1927. Namun, KHR Abdus Salam Mujib, pengasuh generasi ketiga sekaligus Rais PCNU Sidoarjo, menjelaskan bahwa pesantren ini sudah ada sekitar tahun 1920, bahkan mungkin lebih awal.

Kiai Salam Mujib pernah menerima rombongan satu bus dari Yogyakarta yang sowan ke Pesantren Buduran. Ketua rombongan itu adalah anak dari santri pertama KHR Moh Abbas bin KHR Khozin Khoiruddin.

Dari kisah itu diketahui bahwa sang ayah nyantri antara tahun 1915–1920, sehingga usia pesantren kini telah mencapai lebih dari satu abad.

“Kalau ditarik pada titik tahun 1920, berarti pesantren ini sudah berdiri sebelum santri pertama itu datang. Artinya, Al-Khoziny sudah ada sebelum 1920,” tutur Kiai Salam dalam Haul Masyayikh dan Haflah Rajabiyah ke-80 tahun 2024.

Dengan demikian, Pesantren Al-Khoziny Buduran patut disebut sebagai salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, bahkan di Indonesia.

Jejak Spiritual Para Kekasih Allah

KH Raden Khozin Khoiruddin dikenal sebagai ulama yang zuhud, waro’, dan penuh keikhlasan. Dalam banyak riwayat, beliau memiliki kedekatan spiritual dengan Syekhona Kholil Bangkalan.

Dikisahkan, suatu ketika Syekhona Kholil bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ di Madinah, yang berpesan:

“Sampaikan salamku kepada Kiai Muhammad Hozin di Buduran, Sidoarjo.”

Sepulang dari tanah suci, Syekhona Kholil mencari sosok itu hingga akhirnya menemukan seorang lelaki tua sederhana yang sedang menyapu halaman pesantren.

Ketika ditanya, lelaki itu menjawab,

“Kalau Hozin yang dimaksud Rasulullah di Madinah, akulah orangnya.”

Kisah ini menunjukkan betapa tinggi maqam spiritual Kiai Khozin Sepuh, hingga menjadi bagian dari jejaring kekasih Allah yang saling mengenal lewat nur dan cinta Ilahi.

Diteruskan oleh Ulama-Ulama Berilmu dan Bersahaja

Setelah Kiai Khozin Sepuh wafat, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya, KH Muhammad Abbas, dan kemudian oleh KH Abdul Mujib Abbas.

Kiai Mujib dikenal sebagai ulama yang alim, lembut, dan penuh kasih kepada para santri.

Dalam masa kepemimpinannya, Kiai Mujib menanamkan lima amalan utama yang menjadi karakter santri Al-Khoziny:

Mengaji dan mengajar ilmu agama. Salat berjamaah. Membaca Al-Qur’an setiap hari. Menjaga salat witir. Istiqamah dalam amal dan khidmah.

Beliau wafat pada 5 Oktober 2010. Namun, nilai-nilai keikhlasan dan keilmuan yang diajarkannya tetap hidup dan menjadi fondasi moral pesantren hingga kini.

Pesantren yang Menyala di Tengah Zaman

Kini di bawah pengasuhan KHR Abdus Salam Mujib, Pesantren Al-Khoziny terus bertransformasi. Di tengah derasnya arus digital dan modernisasi, pesantren ini tetap menjaga ruh klasiknya — ngaji kitab kuning, khidmah kepada guru, dan hidup dalam kesederhanaan.

Kiai Salam Mujib mengajarkan bahwa keberkahan ilmu bukan terletak pada kecanggihan metode, melainkan pada keikhlasan hati dan adab kepada guru.

Karena itulah, meskipun sudah berusia lebih dari seratus tahun, Al-Khoziny tetap relevan dan dicintai masyarakat.

Menjaga Warisan Para Masyayikh

Seratus tahun bukan waktu yang sebentar. Di tengah perubahan zaman, banyak lembaga yang hilang arah, tapi pesantren ini tetap teguh berdiri — menjaga nilai yang diwariskan para masyayikh: ikhlas, tawadhu’, dan istiqamah.

Di Pesantren Al-Khoziny Buduran, nilai-nilai itu masih hidup:

dalam suara santri yang membaca Al-Qur’an selepas Magrib,

dalam langkah-langkah kecil mereka menuju langgar setiap subuh,

dan dalam doa yang dipanjatkan diam-diam oleh para kiai di sepertiga malam.

Pesantren ini mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab hanyalah informasi,

sementara ilmu yang beradab akan melahirkan peradaban.

Adsvertise
Selengkapnya
Back to top button