AgamaHeadlineTokoh

Kitab Minhajunnassabin, Membongkar Kepalsuan Nasab Baa Alawi Dengan Metodologis

Kitab ini membongkar “kesunyian historis” nama-nama leluhur Ba’alwi dari abad ke-4 hingga ke-8 H. Bahkan figur seperti Faqih Muqaddam yang selama ini dikenal ternyata sama sekali tak pernah muncul dalam sumber sejarah sebelum abad ke-9. Begitu juga Gelar Al-Muhajir untuk Ahmad al-Abah yang ternyata baru ditempelkan setelah abad ke-9, tanpa dukungan dokumen sebelumnya.

Perdebatan soal Nasab Baa Alwi sampai hari ini masih terus berlangsung. KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani bahkan baru baru ini menerbitkan sebuah kitab baru berjudul “Minhajunnassabin Fi Ibthali Nasabi Baalwi Al-Multashiq bil Alawiyyin. Sebuah kitab yang secara metodologis menyimpulkan nasab Ba’alwi batal.

Kitab ini menantang klaim Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Ahmad bin Isa al-Abah. Dengan detail yang rapat, penulis mengutip deretan kitab klasik abad ke-5 sampai ke-9 H—dari Tahdzibul Ansab karya Ubaidili hingga Umdatuttalib karya Ibnu Inabah. Semua kitab sepakat menyebut anak-anak Ahmad al-Abah hanyalah tiga orang: Muhammad, Ali, dan Husain. Tak ada nama Ubed atau Abdullah, sosok yang kemudian dipaksakan sebagai leluhur Ba’alwi.

Kyai Imad melangkah lebih jauh. Ia membongkar “kesunyian historis” nama-nama leluhur Ba’alwi dari abad ke-4 hingga ke-8 H. Figur yang kini diagungkan, Faqih Muqaddam, sama sekali tak pernah muncul dalam sumber sejarah sebelum abad ke-9. Gelar Al-Muhajir untuk Ahmad al-Abah pun baru ditempelkan setelah abad ke-9, tanpa dukungan dokumen sebelumnya.

Kitab ini juga menyorot klaim Ba’alwi di Nusantara. Menurut Kiyai Imad, narasi bahwa Islam masuk Indonesia karena jasa mereka, atau bahwa Walisongo berasal dari garis keturunan Ba’alwi, tak punya dasar ilmiah. Bahkan, Kyai Imad menunjukkan adanya pola pemalsuan manuskrip, baik di Hadramaut maupun di Indonesia, untuk menopang legitimasi sejarah.

Yang juga menarik, barangkali, adalah kesimpulan Kyai Imad menggunakan tes DNA sebagai salah satu cara menetapkan nasab Baa Alwi. Ia mengutip pakar genetika yang menyatakan bahwa haplogroup bangsa Arab adalah J1, sementara hasil tes DNA Ba’alwi menunjukkan haplogroup G. Kesimpulannya lugas: mereka bukan keturunan Nabi, bahkan bukan Arab.

Tak berhenti di situ, kitab ini juga memuat kritik keras soal sejumlah kasus kriminal yang menyeret sebagian Ba’alwi, lalu mengaitkannya dengan pandangan ulama bahwa keturunan Nabi semestinya terjaga dari perbuatan tercela.

Apakah kitab ini menjadi kitab paling paripurna yang membatalkan nasab Baa Alwi atau akan melahirkan bantahan-bantahan baru dari kalangan Baa Alwi untuk menjawabnya juga secara akademik. Mudah mudahan. Tapi yang jelas, publik menyambut positif terbitnya kitab ini, karena melalui kitab ini, Kiyai Imad telah dengan berani membuka gelanggang perdebatan dengan cara yang sulit diabaikan: menghadirkan bukti, meruntuhkan mitos.[]

Adsvertise
Selengkapnya
Back to top button