
Kualitas konstruksi bangunan di Pesantren-pesantren di Indonesia sering tidak memenuhi standar ideal. Bukan karena pihak pondok tidak peduli keselamatan santrinya, tetapi karena mereka tidak mampu. Negara selama ini apakah peduli pada mereka?
Runtuhnya musholla Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga cermin rapuhnya perhatian negara terhadap pesantren. Korban jiwa berjatuhan, luka-luka menganga, dan trauma mendalam menyelimuti para santri serta keluarga mereka. Namun di tengah duka itu, muncul komentar sinis: “Tiangnya kecil, bangunannya besar, pantas roboh.”
Ungkapan seperti ini jelas tidak simpatik. Benar, mungkin ada kelalaian teknis dalam konstruksi. Tetapi mari jujur: tidak ada satu pun kiai atau pengurus pesantren yang dengan sengaja membangun gedung yang berisiko menimpa santrinya. Justru sebaliknya, mereka berjuang mati-matian, dengan segala keterbatasan, agar santrinya mendapat ruang belajar dan ibadah yang layak.
Pesantren dan Keterbatasan Struktural
Pesantren berbeda dengan sekolah negeri. Sekolah negeri dibiayai APBN dan APBD, dilengkapi anggaran pembangunan, serta diawasi ketat oleh instansi teknis. Pesantren? Mereka harus membangun dengan swadaya. Dari infak jamaah, sumbangan wali santri, atau hasil iuran seadanya. Maka wajar bila kualitas konstruksi sering tidak memenuhi standar ideal. Bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka tidak mampu.
Negara Tidak Bisa Lepas Tangan
Dalam kasus Al-Khoziny, pemerintah daerah buru-buru menyebut bahwa bangunan itu tidak berizin. Pernyataan semacam ini justru menambah luka. Seakan-akan masalah selesai hanya dengan stempel “tak punya IMB.” Padahal izin hanyalah soal administrasi. Pertanyaannya: apakah dengan izin bangunan otomatis aman? Tentu tidak. Keamanan konstruksi ditentukan oleh perhitungan teknis, kualitas material, dan pengawasan profesional.
Di sinilah negara seharusnya hadir. Jika pesantren diwajibkan mengurus izin, maka negara juga wajib memberi fasilitas: bantuan dana pembangunan, tenaga konsultan, dan pengawasan konstruksi. Tidak adil bila negara hanya menuntut, tanpa memberikan dukungan yang memadai.
Masalah Sistemik, Bukan Individual
Tragedi ini bukan sekadar “kelalaian pondok tertentu.” Ia adalah gejala dari persoalan sistemik: pesantren dibiarkan berjalan sendiri dalam urusan pembangunan. Negara sering memuji peran pesantren dalam mencerdaskan bangsa, tetapi ketika bicara soal infrastruktur, pesantren ditempatkan di pinggir.
Padahal, mari kita lihat fakta: jutaan anak bangsa tumbuh di pesantren. Mereka belajar agama, etika, bahkan keterampilan hidup di sana. Pesantren adalah bagian integral dari pendidikan nasional. Jika negara serius menjadikan pendidikan sebagai prioritas, mengapa pesantren masih dianggap kelas dua dalam soal fasilitas?
Momentum Perubahan Kebijakan
Musibah Al-Khoziny seharusnya menjadi momentum. Negara harus merumuskan kebijakan komprehensif terkait pembangunan pesantren. Tidak cukup hanya dengan program bantuan simbolis, melainkan kebijakan nyata:
Alokasi anggaran khusus untuk infrastruktur pesantren. Pendampingan teknis oleh tenaga ahli konstruksi dalam setiap pembangunan. Pengawasan reguler terhadap keamanan bangunan yang digunakan santri. Penyederhanaan perizinan yang disertai fasilitasi, bukan sekadar beban administratif.
Tiang yang kecil di Al-Khoziny runtuh bukan hanya karena lemahnya beton, tetapi karena lemahnya sistem yang membiarkan pesantren membangun sendiri. Beban yang berat itu tidak seharusnya ditanggung oleh pondok sendirian. Negara punya kewajiban moral dan konstitusional untuk hadir, memastikan setiap anak bangsa belajar di tempat yang aman.
Karena pada akhirnya, pertaruhan dari setiap tiang yang tegak di pesantren bukan sekadar soal bangunan. Di atasnya ada masa depan generasi bangsa.[]