
Fenomena ini memperlihatkan betapa gampangnya teknologi digital dipakai untuk menyebarkan hoaks. Hanya dengan aplikasi sederhana, siapa pun bisa membuat konten palsu yang terlihat meyakinkan. Wajah bisa diganti, suara bisa disalin, bahkan pernyataan bisa direkayasa.
Beberapa hari terakhir, publik dibuat geram oleh beredarnya potongan video Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam video itu, ia disebut-sebut melontarkan kalimat “guru beban negara”. Ucapan itu sontak memicu amarah, sebab dianggap merendahkan profesi guru.
Masalahnya, video tersebut bukanlah rekaman asli. Itu hasil manipulasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Potongan itu dipelintir sehingga menimbulkan kesan seolah-olah benar diucapkan oleh Sri Mulyani. Inilah yang kini populer disebut deepfake.
Fenomena ini memperlihatkan betapa gampangnya teknologi digital dipakai untuk menyebarkan hoaks. Hanya dengan aplikasi sederhana, siapa pun bisa membuat konten palsu yang terlihat meyakinkan. Wajah bisa diganti, suara bisa disalin, bahkan pernyataan bisa direkayasa.
Kasus “guru beban negara” mestinya menjadi peringatan keras. Jika tokoh publik sekaliber menteri bisa dengan mudah dijadikan sasaran manipulasi, bagaimana dengan orang biasa? Bukan tidak mungkin, suatu saat kita atau keluarga kita yang akan menjadi korban.
Di sinilah pentingnya literasi digital, khususnya literasi AI. Literasi ini bukan hanya soal bisa menggunakan ponsel pintar atau media sosial, tapi juga kemampuan memahami cara kerja teknologi, termasuk risikonya.
Guru, dalam konteks ini, memegang peranan vital. Mereka adalah pendidik sekaligus pengawal akal sehat generasi muda. Guru yang memahami seluk-beluk teknologi akan lebih siap menghadapi banjir informasi palsu. Sebaliknya, jika guru mudah terjebak hoaks dan ikut menyebarkannya, maka murid pun akan kehilangan rujukan yang benar.
Kita tidak menuntut semua guru menjadi pakar teknologi. Namun, setidaknya ada bekal dasar: tahu apa itu deepfake, paham bahaya voice cloning, dan bisa melakukan verifikasi sederhana sebelum percaya atau menyebarkan informasi.
Era AI sudah di depan mata. Teknologi ini bukan hanya hadir dalam aplikasi belajar atau hiburan, tapi juga ikut membentuk persepsi publik. Karena itu, literasi AI bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan mendesak—setara dengan kemampuan membaca dan menulis.
Kemarahan publik atas hoaks “guru beban negara” jangan berhenti pada kecaman semata. Ia harus menjadi momentum untuk memperkuat daya kritis masyarakat. Dan guru, dengan perannya yang strategis, seharusnya berada di garis depan.
Jika para pendidik mampu membedakan mana yang asli dan mana yang rekayasa, mereka bukan hanya menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga membekali murid dan lingkungannya. Sebaliknya, jika guru lengah, maka hoaks digital akan terus menjadi senjata yang memecah belah.
Hoaks berbasis AI adalah tantangan baru. Menghadapinya butuh ketenangan, literasi, dan kesadaran kolektif. Guru, sebagai tiang penopang pendidikan, harus tampil sebagai benteng terakhir agar masyarakat tidak mudah diperdaya.
Sebab jika guru sendiri tidak berdaya menghadapi manipulasi digital, bagaimana mungkin kita berharap generasi muda bisa lebih tahan terhadap tipu daya zaman?.[Editorial]